Janji Tak Tertunai

Suatu hari suamiku pernah merasa tak enak badan, tak berselera makan, terasa ada sesuatu yang mengganjal hati padahal tak ada sebab apapun yang terjadi. Setelah kucoba bantu mengingat-ingat, ternyata dia belum melaksanakan janjinya untuk berpuasa dua hari (nazar) atas suatu tugas yang telah selesai dengan lancar. Alhamdulillah, terasa lega seusai berpuasa, ternyata ‘janji hati’ yang belum ditunaikan dapat menyebabkan gangguan pikiran dan berpengaruh pada kesehatan.

Menepati janji adalah akhlaq mulia yang diperintahkan dalam syari’ah Islam. Dalam firmanNya, “(Bukan demikian), sebenarnya barang siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa."(QS. Âli ‘Imrân : 76)

Ibuku mengisahkan salah seorang sahabatnya yang berusia jauh lebih tua dari ibu. Budhe Fulanah, dulunya dia pegawai bank yang sangat disegani masyarakat, penampilan necis, cantik, anggun dan bersuamikan seorang karyawan di perusahaan minyak ternama. Budhe Fulanah ini tak hanya sahabat ibu, ia masih saudara dekat ayah, yang sangat dihormati keluarga besar dan kerabat. Tadinya dia adalah orang yang sangat baik hati, gemar bersedekah dan selalu menolong sesama. Namun Saya jadi kurang menyukainya saat mengetahui bahwa ia pernah meminjamkan uang kepada ibuku, tapi dikenakan bunga alias riba 10%. Istilahnya ‘tega makan saudara sendiri’, padahal kalaupun tak ada bunga, pastilah dibayar lebih oleh ibu, sebagaimana kebiasaan membalas budi baik orang lain.

Tak disangka, dua puluh tahun-an lalu saat ia diwajibkan pensiun dini—akibat likuidasi bank tempatnya bekerja, ternyata awal merosotnya kesejahteraan rumah tangga sampai saat ini. Tadinya beliau berjanji ingin menyumbangkan dana untuk suatu yayasan panti asuhan dan memasukkan uang pensiunnya untuk tabungan haji. Namun kemudian dengan berbagai alasan, hal itu tidak ia tunaikan, apalagi saat suaminya merayu, “nanti aja tabungan hajinya, mi, pada saat papi pensiun kan bisa, sumbangan yayasan kan nanti-nanti juga bisa, sekarang anak-anak perlu uangnya buat jalan-jalan keluarga, kita juga bisa renovasi rumah…” Begitulah, lalu sekitar lima belas tahun lalu si papi juga mengajukan pensiun dipercepat—akibat termakan isu perusahaan saat orde baru hampir tumbang.

Namun kenyataannya si papi tak hanya berkhianat pada Sang Khaliq, janji untuk memasukkan uang ke rekening tabungan haji tetap tak ditunaikannya, bahkan ia juga malah terpergok oleh sang istri : secara nyata-nyata dia berselingkuh dengan janda di dekat rumah, dan ternyata telah berkali-kali berbuat zina, hancur, hancurlah hati Budhe Fulanah, hancurlah ‘cita-cita keluarga’ itu. Tiga anaknya pun mengalami kehancuran—dalam perkuliahan harus out, meniru prilaku sang papi, hingga berstatus mba (married by accident) saat menikah, Astagfirullah, na’udzubillahi mindzaliik.

Dana pensiun si papi telah habis untuk membangun beberapa tingkat rumahnya, menikahkan anak-anaknya, hingga membiayai persalinan para cucu mereka. Curhatnya pada ibuku, "naik haji sekarang sudah tinggal mimpi…" semacam nada putus asa, sebab raganya pun tak lagi sehat, keluar-masuk rumah sakit, kadang harus menggunakan tongkat untuk berjalan, penglihatan pun mulai kabur. Namun yang paling menyedihkan adalah bahwa dia terlalu sayang pada anak-cucu sehingga tak dapat membedakan hal yang benar dan yang salah. Satu persatu saudara kami mengadu bahwa Budhe Fulanah datang ke rumah mereka, meminta bantuan dana untuk berobat kaki, pinggang, dan lain-lain, selalu itu alasannya tapi ternyata si budhe tidak pergi berobat, uang itu malah dikirimkan buat anaknya yang pengangguran, atau bahkan malah dia sendiri yang tertatih-tatih berangkat ke ibu kota demi menjenguk para cucu. Janji dirinya untuk berangkat ke tanah suci bukan saja tertunda-tunda, melainkan sudah tak ada usaha untuk menunaikan ikrar suci itu.

Satu hal yang pasti, ibuku mengingatkan, ambil ibroh dari pengalaman orang lain seperti contoh budhe Fulanah tersebut, “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri.” (QS. Yûnus [10] : 44), adalah introspeksi diri sebagai solusi. Amanah dan janji yang dilanggar pasti berimbas pada kehidupan yang dijalani.

“Dan (sungguh beruntung) orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mukminûn [23] : 8), ayat indahNya mengingatkan kita untuk selalu menunaikan amanah dan janji. Jadi teringat pula nasehat para guruku, "kalau berjumpa teman lama, jangan hanya bertanya kabar atau anaknya sudah berapa…tanyakan juga apakah Saya punya janji yang belum tertunai padamu, wahai teman?" bisa jadi langkah kaki kita makin lancar dalam menjalani alur hidup saat janji tersebut telah tunai.

Sayangnya, para penguasa yang sekarang sedang ‘menikmati’ kekuasaannya di kursi-kursi empuk, banyak yang lupa pada janji-janji, saking kebanyakannya—mungkin mereka bingung mau menunaikan yang mana dulu kira-kira. Akhirnya malah sudah sibuk kasak-kusuk dengan pemilu selanjutnya (yang masih lama, euy!), alasannya "kalau nanti terpilih lagi, kan bisa menunaikan janji dan melanjutkan cita-cita…bla…bla…"Mungkin mereka lupa, "…Dan penuhilah janji; karena janji itu pasti diminta pertanggung-jawabannya." (QS. Al-Isrô [17] : 34)

Contoh kisah pribadi Umar bin Abdul Azis, Sejak di angkat menjadi Khalifah Umar bertekad, dalam hatinya ia berjanji tidak akan mengecewakan amanah yang di embannya. (beliau tau diri bahwa yang menggajinya adalah rakyat, subhanalloh!). "aku memikul amanat umat ini dan aku tangisi orang-orang yang menjadi amanat atasku, yaitu kaum fakir miskin yang lemah dan lapar, ibnu sabil yang kehilangan tujuan dan terlantar, orang-orang yang dizalimi dan dipaksa menerimanya, orang-orang yang banyak anaknya dan berat beban hidupnya. Merasa bertanggung jawab atas beban mereka, karena itu, aku menangisi diriku sendiri karena beratnya amanat atas diriku…"beliau menangis akibat beratnya amanah yang dipikul—bukan malah berpesta dan bersiap dipilih lagi dsb.

Konon semasa ia menjabat sebagai Khalifah, tak satu pun mahluk dinegerinya menderita kelaparan. Tak ada serigala mencuri ternak penduduk kota, tak ada pengemis di sudut-sudut kota, bahkan tak ada penerima zakat karena setiap orang mampu membayar zakat. Keren!

Suatu hari Khalifah Umar bin Abdul Azis mendapat hidangan sepotong roti yang masih hangat, harum dan membangkitkan selera dari istrinya.

"Dari mana roti ini?" tanyanya.

"buatan saya sendiri," jawab istrinya.

"Berapa kau habiskan uang untuk membeli terigu dan bumbu-bumbunya?"

"hanya tiga setengah dirham saja," jawab istrinya.

”Aku perlu tahu asal usul benda yang akan masuk kedalam perutku, agar aku dapat mempertanggung jawabkannya di hadirat Allah SWT. Nah, uang tiga setengah dirham itu dari mana?" lanjutnya.

"setiap hari saya menyisihkan setengah dirham dari uang belanja yang anda berikan, wahai Amirul Mukminin, sehingga dalam seminggu terkumpul tiga setengah dirham. Cukup untuk membeli bahan-bahan roti yang halalan thayyiban," kata istri Khalifah menjelaskan.

"Baiklah kalau begitu. Saya percaya, asal usul roti ini halal dan bersih. Namun, saya berpendapat lain. Ternyata biaya kebutuhan hidup kita sehari-hari perlu di kurangi setengah dirham, agar kita tidak mendapat kelebihan yang membuat kita mampu memakan roti atas tanggungan umat ini," tegas Khalifah.

Dan sejak hari itu, Umar membuat instruksi kepada bendaharawan Baitul Maal untuk mengurangi jatah harian keluarga beliau sebesar setengah dirham.

"Saya juga akan berusaha mengganti harga roti itu, agar hati dan perut saya tenang dari gangguan perasaan, karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi," sambung Khalifah.

Pernah kubaca kisahnya lagi, suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Azis di kunjungi bibinya. Maksud sang bibi, ingin meminta tambahan tunjangan dari Baitul Maal. Ketika itu, Amirul Mukminin sedang makan kacang bercampur bawang dan adas, makanan rakyat awam. Lalu Umar menghentikan makannya, kemudian mengambil sekeping uang logam satu dirham dan membakarnya. Dibungkusnya uang itu dengan sepotong kain dan di berikannya kepada bibinya seraya berkata,"Inilah tambahan tunjangan uang yang bibi minta…”Bibi menjerit kepanasan ketika menyentuh bungkusan berisi uang logam panas itu. Umar berkata dengan yakin,"Kalau api dunia terasa sangat panas bagaimana kelak api neraka yang akan menbakar aku dan Bibi karena mengkhianati amanah dan menyelewengkan harta kaum muslimin?"Sungguh tersentuh nurani membaca kisah teladan seperti ini.

Masya Allah, kenapa pula di zaman ini malah kursi kepemimpinan diperebutkan, malah para penguasa berlomba-lomba mengumpulkan harta agar bisa tercukupi tujuh turunan, mencari-cari alasan "agar rakyat mengeluarkan uang lebih banyak" untuk proyek-proyek "yang aneh-aneh", semacam pengadaan kolam renang, study banding ke benua lain, pengecatan bangunan baru, dana renovasi rumah anggota dewan, sekalian dana nge-laundri baju dan sepatu-lah, lucu! Padahal yang ngasih gaji—alias rakyat masih banyak yang kelaparan, yang di dalam negeri ‘tidak merasakan manfaat langsung dari pajak’, yang di luar negeri ‘ada rasa takut dipungli-in plus dirampok saat memasuki bandara di negara sendiri’.

Duhai Robbi, Tolong bukakan mata hati semua pemimpin dan penguasa negeri, ingatkanlah mereka akan janji-janji membawa kesejahteraan, keamanan bagi rakyat dan meningkatkan pemberantasan korupsi & kolusi yang sudah amat parah itu, dan selamatkanlah kami dari kezaliman-kezaliman mereka, amiin…
Wallahu ‘alam bisshowab…

(bidadari_Azzam, Salam Ukhuwah dari Krakow, 7 jan.2011)