Renunganku: Tari Dan Emak Salamah

“Saya sudah sangat kesal dengan dik Tari ini, mbak… gimana dong mbak? Mbak kebayang khan perasaanku ?”, keluh Kak Sari padaku.

Saya tertunduk lesu, rasanya Saya masih memiliki iman yang rapuh, tak punya kekuasaan apa-apa untuk mengubah prilaku Tari, seorang saudari yang hingga usianya sudah 22 tahun, tingkah lakunya masih seperti anak Es-Em-Pe. Cara bermanjaannya sudah berlebihan, dibangunkan subuh untuk sholat begitu sulit. Saat dinasehati baik-baik oleh orang tua dan saudara-saudaranya, ia dengan mudah melempar jawaban sesuka hati, yang terkadang sangat menyakitkan pendengarnya. Sudah setahun lebih bekerja di tempat yang baru, sebuah café&restoran besar di kota metropolitan, namun tetap tak bisa mengatur waktu dengan baik, orang tua berharap ia bisa seperti kakak-kakaknya yang belajar mengelola jadwal harian, memiliki manajement waktu dengan baik, tidak asal “hilang dan muncul” di rumah tanpa diketahui keluar “maennya” dimana. Dan di off-day kerja, ia pergunakan untuk “pacaran time”, bukannya membantu Sang Emak di tokonya, atau merapikan rumah, atau membantu bapak membersihkan motor yang tiap hari bertugas mengantarnya ke tempat kerja.

Dan Sang Emak makin mengelus dada, “pacaran timenya” bisa berlanjut mengobrol di rumah hingga larut malam, padahal anak-anaknya yang lain tak ada kamus “pacaran” dalam hidup mereka. Semua menikah dengan perkenalan singkat dan tidak memiliki sejarah “pacaran ala Tari”, apakah ciri modernisasi itu begini yah, pikir Emak. Makanya Emak lebih banyak diam dan mengalah kepada si bungsu Tari, takut kalau malah dik Tari sakit hati dan tersinggung dengan perkataan emak yang sebegitu sering diulang-ulang. Lantas Saya berpikir, apakah sudah semakin dekat kiamat, nih yah, kok sekarang malah ortu jadi “berasa takut” menasehati anaknya. Astaghfirrulloh…

Kupikir harapan orang tuanya sangatlah wajar, bahkan itu adalah untuk kepentingan dirinya sendiri, demi masa depan. Usiaku saat 22 tahun sudah mengantar anak bermain di taman, sudah melancong ke negara lain, tak lagi bergelayutan di bawah kenyamanan harta orang tua.

Satu dua bulan terlewati, Emak Salamah, ibunda Tari ternyata dengan tulusnya ngos-ngosan mencucikan pakaian sang anak, sepulang dari rumah sakit. Emak Salamah menelepon kak Sari dan kakaknya yang lain yang berbeda pulau. Mereka harus pulang sebab sang Emak juga sedang lemah, menderita penyakit gula darah, sedangkan suaminya pun masih tidak sehat, usai opname di rumah sakit berbeda, lalu dirawat di rumah dengan kata kunci dokter : harus banyak istirahat. Sebulan itu, keluarga ini sedang diuji-Nya dengan merosotnya kesehatan jasmani.

Kemudian Kak Sari pulang, swing terbang hari itu dengan pesawat, segera menggantikan sang emak, ia jaga dik Tari dengan penuh kasih. Dik Tari tampak begitu lemah, ternyata dokter menjelaskan ada sejenis tumor di ujung ususnya, Tari harus dioperasi, memang perutnya sakit sekali, rintihannya tak kalah menyayat seperti ibu-ibu yang akan melahirkan.

“Dik… sabar yah sayang, ingat-ingat pesan rasululloh SAW, Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit, kesedihan atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahan dan dosa dengan itu. Kamu ingat-ingat juga, sakit di perutmu ini tidak datang tiba-tiba, kamu makan-minum semaunya, sering lupa makan kalau lembur kerja, padahal dalam Islam, nabi kita mengajarkan makanlah sebelum lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang. Kita diingatkan pula bahwa hampir semua penyakit jasmani bersumber dari perut, organ pencernaan ini paling cepat merosot ketahanannya, apalagi jika jika kita tidak memperhatikannya denga baik, …”, nasehat-nasehat yang banyak tak hanya meluncur dari lidah Kak Sari, juga Emak Salamah, serta kakaknya yang lain mengingatkan Tari akan kelalaiannya mengatur waktu.

Apalagi waktu untuk sholat fardhu, poin terpenting dalam riwayat hidup seorang muslim, waktu yang sangat istimewa buat orang-orang beriman, waktu bermesraan bersama Sang Pemilik Jiwa. Sholat adalah tiang agama, tanda seorang muslim telah meneguhkan pondasi di hatinya, bersujud mengakui diri sebagai hamba-NYA yang lemah. Alangkah memalukannya jika seorang hamba hanya “meminta” saat berada di suasana duka, sedih atau sakit, namun di kala sehat dan berwaktu luang, malah melupakan lima waktu yang wajib ini.

Entahlah, Tari meresapi nasehat-nasehat itu atau tidak, sebab hidayah Allah SWT memang khusus dihadiahkan bagi orang-orang yang membuka mata hati untuk senantiasa memperbaiki diri. Selama beberapa jam ia dibius, menjalani operasi ususnya, orang tua dan kakak-kakaknya menanti dengan sabar dan penuh sayang. Dan mereka sangat bersyukur saat Tari sudah sadar, bahkan ia melihat sendiri hasil “daging tumor” yang dibuang dari ususnya saat sudah disimpan dalam sebuah wadah, kala itu dokter sudah memindahkannya ke ruang perawatan. Sang Emak melilitkan kain pada perut Tari agar lebih lancar keluar angin, sang kakak berbagi tugas, menyuapinya makan, memasak di rumah, bergantian menjaga di rumah sakit, dan sebagainya.

Selama seminggu Tari harus istirahat total, tiga minggu ia masih dalam masa penyembuhan di rumah. Dan malam itu tiba-tiba Emak Salamah sesak nafas, tak sadar beliau memegang perutnya yang semakin membesar, Kak Sari yang masih merawat Tari segera membawa Emak ke dokter, ternyata Emak Salamah harus segera dirawat di rumah sakit, ada pembengkakan di jantungnya, “Ibu anda kecapekan…”, kata dokter. Dokter membuat surat rujukan untuk perawatan rumah sakit. Namun setiba di rumah, Emak berbisik, “tak apa Sari…jangan risau, nanti kamu dan adek-adekmu tambah lama ngurusi emak dan bapak, juga dik Tari-mu, biarlah Emak dirawat di rumah saja…”. Emak hanya meminum obat dari dokter, dua hari beristirahat di rumah seraya terus-menerus ke kamar mandi karena pengaruh “obat pengeluar cairan urinenya” yang diberikan dokter.

Keesokan harinya setelah sebulan cuti sakit, Dik Tari masuk kerja lagi, sehingga Kak Sari dan adiknya yang lain dapat pulang ke kota masing-masing, Alhamdulillah suami mereka mengizinkan dengan cepat untuk mudik, saat sang istri harus menemani orang tua dan adik yang sakit.

Emak Salamah dan suaminya harus berobat jalan, sekali dalam dua minggu. Kak Sari sangat lega saat melihat emak dan bapaknya perlahan mulai sehat kembali. Lalu ia berpesan pada dik Tari, “dik, minggu depan kamu ambil off-day kantor, yah, tolong jangan lupa antarkan Emak ke rumah sakit, jadwal ke dokternya tanggal sekian…”, dik Tari mengangguk, lalu mereka berpelukan sebelum pesawat Kak Sari lepas landas menuju rumah suaminya tercinta. Dua hari sekali, ia menelepon orang tuanya yang masih harus berobat jalan dengan teratur.

“Saya sudah sangat kesal dengan dik Tari ini, mbak… gimana dong mbak? Mbak kebayang khan perasaanku ?”, terngiang lagi ucapan Kak Sari padaku. Ternyata penyebabnya tak lain karena dik Tari malah kembali “pacaran time” di off-day-nya! Sore tadi Kak Sari menelepon Emak Salamah, “Emak baru turun dari bus kota, mau naik becak nih…”, kata sang emak.

“Emak baru pulang dari rumah sakit dengan dik Tari kan?”, Tanya kak Sari.

Emak Salamah menjawab, “tidak nak… adikmu tadi subuh susah dibangunkan, semalam dia pergi dengan si fulan, trus ngobrol di rumah sampai jam dua belas malam. Sudah diingatkan, tapi masih tidak berubah, karena bapak dan emak ngantuk yah emak tidur duluan…Emak takut antrian rumah sakit sudah penuh kalau tidak datang pagi-pagi. Jadi Emak sendirian ke rumah sakit…bla..bla…”, Kak Sari langsung kesal mendengarnya, sekaligus sedih akan prilaku si adik kepada orang tua. Kubayangkan pula, kakak-kakaknya yang di luar pulau bahkan luar negeri yang begitu fokus perhatian pada bapak dan emak dengan cara-cara berbeda, sedangkan dik Tari dengan santainya menyibukkan diri “pacaran time”. Bahkan Emak Salamah sempat menyiapkan sarapan pagi terlebih dahulu sebelum berangkat ke rumah sakit, sedangkan saat siang itu Kak Sari menelepon Tari ke ponselnya, “gue sedang di rumah Anggi, kak… maen doank,” katanya, menyebut nama temannya.

“Astaghfirrulloh dek… kamu khan baru aja sembuh, belum juga seminggu mulai kerja lagi, dan hari ini mestinya kan kamu mengantar emak ke rumah sakit ?,”, urai Kak Sari,
“Tapi tadi bangun kesiangan…jadi emak udah berangkat sendirian…,” Tari beralasan.
“Lalu kenapa malah kamu cuek bebek, maen ke tempat teman, ortu sampe gaktau, dek… bukankah sebaiknya masak aja di rumah, siapin makan siang buat emak dan bapak dong dek… Kamu pikirkan orang tua sedang sakit begitu, ya Allah… kamu dikasih akal oleh Allah SWT, buat bersyukur dek…”, sebelum Kak Sari melanjutkan uneg-unegnya, telepon di seberang sudah dimatikan, dan saat ditelepon lagi berulang kali, mailbox tulalit, nomor telepon yang anda tuju sedang tidak aktif, operator bilang begitu.

Dik Tari hanya mau menerima telepon kakak-kakaknya jika sedang memerlukan tambahan dana, alias minta transfer, atau kala sakit.

Kak Sari sebagai manusia biasa, tentu sakit hati bukan main, kesal tak terkira, sekaligus bingung, kenapa tingkah laku adik yang selalu disayangi oleh seisi keluarga itu, malah sungguh paling berbeda dengan yang lainnya. Mungkinkah karena memang “terlalu disayang dan dimanjakan”, atau juga dicampur dengan lingkungan dan “pacaran time” yang sudah jadi kebiasaan Tari ? Wallahu ‘alam. Kak Sari masih terduduk diam di ruang tamu rumahnya.

Sementara itu. Tari pulang ke rumah, “kenapa rumah ramai sekali ?”, kenapa semua kakaknya sudah berkumpul di depan rumah, hatinya terus bertanya, ia pulang sore hari, entah dzuhur dan ashar ia tunaikan atau tidak. Tiba-tiba di ruang tamu rumahnya sudah ada jenazah terbujur, Emak Salamah menutup mata dengan tenang di ujung kesabarannya. Tidak mungkin, bisik hati angkuh Tari.

“Emaaaaaaaak”, teriakan itu adalah teriakan Kak Sari, sekaligus teriakan histeris Tari, dalam mimpi Kak Sari. Bersamaan. Kak Sari tersadar bahwa ia tertidur di sofa dengan gelisah, deringan ponsel yang membuatnya terbangun.

Yang menelepon kala itu adalah diriku, “Kak, maafkan saya… Saya pun tak kuasa menasehati seorang Tari, apalah artinya saya di matanya. (Kesibukan dan jarak yang jauh dengan Tari, membuatnya jarang bercakap denganku, yang juga masih saudarinya) tampak jelas nada suaranya malas dan enggan bercakap denganku jika aku meneleponnya…hmmm, bagaimana jika kita ceritakan mimpi kakak tadi kepadanya, dia masih diberi kesempatan memeluk Emak Salamah dan bapaknya yang masih bernyawa, kita tetap do’akan semoga mata hatinya terbuka dan bisa mengubah akhlaqnya, kak? Kita harus bersabar, iman tidak bisa dijual-beli, tidak bisa diwariskan, tidak bisa otomatis ditularkan antara kaka-beradik, yang bisa kita lakukan hanya berusaha optimal…”, sendu kuutarakan isi nurani.

Kak Sari menjawab, “bagaimana jika engkau tuliskan di oase-iman eramuslim, dan biarlah dia baca untuk mengoreksi dirinya ? Mungkin masih banyak Tari-Tari lainnya yang berprilaku buruk pada emak dan bapak mereka…,”

Akan kucoba, kak, ujarku.

Hadits Rasulullah SAW yang mulia menjelaskannya :
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, bahwasannya seorang laki-laki berkata; “Wahai Rasulullah saya memiliki kerabat yang saya sambung tali silaturahim dengan mereka namun mereka memutuskannya, saya bersikap baik dengan mereka namun mereka berbuat buruk dengan saya. Rasulullah SAW menjawab, “Jika memang engkau seperti apa yang engkau katakan, maka engkau seolah-olah memberi makan mereka dengan abu panas, dan pertolongan Allah tetap akan bersamamu selama kau tetap demikian.” (HR Muslim)

Tetaplah optimis akan pertolongan Allah SWT, duhai saudara-saudariku. Buat dik Tari yang semoga menyempatkan diri membaca tanda cinta ini, siapkah engkau dengan tegar jika mimpi kak Sari menjadi kenyataan ? Kurenungkan buat jiwaku sendiri, dik, memang kasih seorang ibu, sebagaimana emak Salamah berlaku sepanjang masa. Sedangkan kasih anak-anaknya, hanya sepanjang galah. Ya Allah, ampuni kami, didiklah kami selalu.

(bidadari_Azzam, Krakow, 11 feb 2011)