Bingkisan Terindah di Akhir Tahun

Entah sudah berapa kali suami saya mendapat tawaran untuk menjadi khatib sholat Jum’at di masjid Fukuoka. Dan entah sudah berapa kali pula suami saya selalu menolak tawaran tersebut karena merasa bahwa masih banyak yang lebih mampu darinya. Suami saya selalu berkilah bahwa dia hanyalah seorang mu’alaf yang ilmu agamanya masih sangat jauh dari sempurna. Toh, penolakan demi penolakannya tidak pernah menyurutkan semangat para brothers di masjid untuk kembali mengajukan penawaran padanya.

Jujur saja, saya salut dan bersyukur atas kegigihan para brothers di masjid yang seperti tidak pernah bosannya memberikan tawaran dan kesempatan tersebut, meskipun selalu ditolak suami. Sebagai istri, saya pun bahkan sudah nyaris menyerah untuk membujuk dan merayu suami saya agar mau mengambil tawaran tersebut sebagai sebuah kesempatan untuk belajar.

***

Sore itu, kami sedang berbincang-bincang santai di ruang serba guna kami. Sebuah ruang yang setiap saat bisa berubah fungsi seperti ruang keluarga, ruang bermain anak, ruang kerja di musim dingin, ruang tidur bila ada tamu datang, sekaligus ruang untuk menjamu tamu kami. Ditengah perbincangan kami, tiba-tiba suami berkata bahwa dia telah menerima tawaran untuk menjadi khatib sholat Jum’at tanggal 25 Desember nanti. Tentu saja saya sangat terkejut dan sekaligus senang mendengar penuturannya. Berbagai perasaan berkecamuk dihati saya antara haru, cemas dan juga deg-degan bila ternyata nanti suami merasa gagal dan kapok di kesempatan pertamanya.

Sebuah perasaan yang mungkin sangat biasa bagi para istri yang kebetulan suaminya memang seorang muslim dan bukan mualaf; tapi sungguh terasa sangat berbeda buat saya yang bersuamikan mualaf. Pun begitu, saya berusaha keras untuk tidak menampakkan kecemasan yang saya alami didepan suami saya; agar saya tidak mempengaruhi kesiapan mentalnya yang pasti saat itu juga tidak jauh berbeda dengan saya (cemas dan deg-degan).

***

Dua minggu sebelum hari H, kami sibuk berbagi tugas untuk menyiapkan naskah kutbah. Alhamdulillah, saya banyak terbantu dengan tips dan naskah kutbah yang tersedia secara online. Kami bekerja sama mempersiapkan naskah kutbah dalam 2 bahasa (Inggris & Jepang) dan meminta bantuan seorang brother dari Mesir untuk membaca naskah kami. Kami ingin memastikan bahwa semua rukun kutbah sudah terpenuhi.

Hari H yang kami nanti itu akhirnya tiba juga, 25 Desember 2009. Sedari pagi suami saya sudah minta ijin cuti setengah hari dari kantornya. Tadinya saya berpikir bahwa suami akan langsung ke masjid lebih awal tapi dugaan saya salah karena suami malah pergi ketempat kerja saya sambil berlatih menghafal doa kutbah dan menunggu waktu. Saya lihat suami masih asyik duduk disebelah saya sambil mengulang doa yang harus dibacanya sampai menjelang siang.

Saat hari makin siang dan suami belum beranjak juga, saya baru sadar bahwa dia ingin ditemani ke masjid. Saya putuskan mengambil istirahat 1 jam dari tempat kerja. Hari itu juga kebetulan hujan gerimis turun dan saya tidak membawa payung. Akhirnya kami berdua berlarian ke masjid dibawah gerimis hujan dengan satu payung kecil yang biasa dibawa suami di dalam tas kerjanya.

Kami tiba di masjid kira-kira 15 menit sebelum adzan dikumandangkan. Saat adzan dikumandangkan, perasaan saya begitu tegang seolah-olah sayalah yang akan menjadi khatib itu. Begitu suami naik ke mimbar, saya mendengarkan dengan seksama sambil berdoa semoga kutbahnya lancar. Dan Alhamdulillah, sepertinya suami berhasil menyelesaikan kutbahnya dengan lancar. Kebetulan hari itu juga saya sedang tidak sholat, jadi begitu kutbah selesai, saya langsung balik kanan menuruni anak tangga untuk kembali ke kantor.

Saat saya baru turun beberapa langkah dan iqamat dikumandangkan, langkah saya kembali tertahan. Tiba-tiba dada saya berdegup kencang sekali dan kembali ke ruang sholat muslimah di lantai 2. Tiba-tiba saja saya merasa khawatir kalau suami grogi saat mengimami sholat Jum’at hingga sholatnya tidak dua rakaat tapi empat rakaat seperti sholat zduhur biasanya. Sebuah kekuatiran yang mungkin terasa sangat berlebihan dan sangat menggelikan tapi betul-betul saya alami. Akhirnya, saya memutuskan untuk menunggui suami sampai sholat Jum’at selesai sambil mencoba menenangkan diri. Dan Alhamdulillah, kekhawatiran saya tidak terjadi.

***

Di sepanjang jalan kembali ke tempat kerjaku, saya tidak lagi merasakan rintik hujan yang membasahi baju saya karena ternyata derai gerimis dimata saya lebih deras mengalir mensyukuri nikmat Allah yang baru saja saya rasakan melalui keberhasilan suami tersebut. Sebuah nikmat yang membuat saya kembali bersemangat untuk terus saling membantu dalam menggapai dan mengarungi cinta di jalan-Nya. Sebuah nikmat yang bagai mengingatkan saya untuk tidak pernah putus asa dari rahmat dan pertolongan Allah.

Ya Allah, segala puji dan syukurku yang tak terhingga pada-Mu atas nikmat-Mu kali ini yang telah menjadi bingkisan terindah penutup akhir tahun kami, diantara banyak sekali bingkisan indah lainnya yang setiap saat selalu Kau alirkan dalam kehidupan kami.

Fukuoka, Kenangan Akhir Tahun 1430H/2009