Bosan Jadi Penerima Daging Qurban

Tahun lalu, seorang sahabat bertandang ke rumah dan mengungkapkan satu keinginan orang tuanya. “Ibu saya bilang sudah bosan menjadi penerima daging qurban. Ibu ingin sekali tahun depan keluarga kami bisa menyembelih seekor hewan qurban, ” begitu lirih sahabat saya.

Saya menyentuh tangannya, memegangnya erat-erat sambil berkata, “kamu bisa mewujudkan keinginan ibumu. Tahun depan itu masih ratusan hari lagi, dan sangat mungkin itu bisa terealisasi, ” saya menepuk semangatnya.

Apa yang terjadi setelah hampir satu tahun kemudian adalah sesuatu yang sudah bisa terduga. Belum lama ia menelepon dan bertanya tentang harga seekor kambing untuk qurban. “Saya punya tabungan delapan ratus ribu, apakah sudah cukup untuk membeli seekor kambing?” tanyanya bersemangat. Tentu saja uang sejumlah itu sudah lebih dari cukup untuk seekor kambing.

Ia pun membawa kabar gembira itu kepada ibunya di rumah dan mengatakan akan segera ada hewan qurban di rumah itu. Semua anggota melonjak kegirangan dan air mata bahagia tak tertahankan tumpah ruah bersamaan dengan datangnya kabar tersebut. Bahwa ia, sahabat saya itu, lelaki satu-satunya di keluarga itu semenjak sang Ayah berpulang sebelas tahun yang lalu, akhirnya bisa mewujudkan mimpi sang ibu untuk berqurban.

Menurutnya, lantaran keluarga mereka termasuk dalam kategori keluarga miskin, maka setiap tahun pula mereka selalu mendapatkan jatah zakat fitrah maupun daging qurban. Bahkan setiap kali ada perayaan hari besar Islam yang menyertakan acara santunan bagi anak-anak yatim piatu, ia beserta ketiga adiknya tak pernah terlewat dalam catatan panitia penyelenggara sebagai penerima santunan. Tidak hanya itu, bahkan sang ibu pun masuk dalam daftar penerima, dengan status janda miskin.

Tahun ini, merupakan tahun paling membahagiakan di keluarga itu. Bayangkan, bukan bermaksud menyombongkan diri jika di hari raya Idul Adha nanti keluarga ini akan menolak kiriman daging qurban dari panitia di masjid. Dengan sedikit bangga mereka akan berkata, “Terima kasih, kami keluarga pequrban. Silahkan berikan kepada yang lain yang lebih berhak”.

Kalimat bangga semacam ini pula yang belum lama ini mereka miliki menjelang hari raya Idul Fitri. Keluarga itu memohon kepada panitia zakat untuk tak memasukkan namanya dalam daftar mustahik tahun ini. Dan luar biasa, hal itu memang mereka lakukan karena keinginan kuat mereka untuk memerbaiki kualitas dan taraf hidup mereka. “Siapa yang mau seumur hidup menyandang status fakir miskin? Kami harus berubah”.

Sepakat dengan semangat keluarga ini. Bagaimana pun hidup dibayangi belas kasihan orang lain tetaplah tidak nyaman. Senikmat-nikmatnya makanan adalah yang dihasilkan dari jerih payah dan hasil memeras keringat sendiri, bukan dari pemberian orang lain, bukan dari usaha tangan di bawah alias meminta-minta.

Si Sulung, sahabat saya ini pun membawa keluarganya pada posisi yang lebih terhormat. Mereka bukan lagi golongan mustahik, melainkan muzakki. Ia senantiasa bersedekah dan berinfak, tak lagi berharap sedekah orang untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya. Dan di hari raya Idul Qurban tahun ini, keluarga ini benar-benar akan mengatakan, “kami bosan menjadi penerima daging qurban”.

Sungguh, berinfak, sedekah, membayar zakat, juga berqurban, tak semata menjalankan perintah Allah. Secara langsung semua aktifitas ‘tangan di atas’ ini serta merta meningkatkan derajat seseorang. Baik derajat ketaqwaan di mata Allah, maupun derajat sosial di mata masyarakat sekitarnya. Wallaahu ‘a’lam (gaw)

***

Berqurban melalui program QURBANKU untuk korban bencana, hubungi ACT 021-7414482