Catatan Iedul Fitri: Tentang Peran Lembaga Zakat

Sehari sebelum hari raya Idul Fitri 1428 H, sebuah stasiun televisi swasta nasional menayangkan sebuah berita yang boleh diyakini membuat miris hati siapapun yang melihatnya. Digambarkan di sebuah wilayah di Riau, ribuan kaum fakir miskin berdesakan, saling sikut, saling tarik untuk berebut zakat dan sembako yang dibagikan oleh salah seorang dermawan di propinsi tersebut.

Tidak disebutkan secara persis jumlah fakir miskin yang melakukan aksi saling berdesakan itu, namun sangat jelas disebutkan –bahkan berulang-ulang- nilai uang yang membuat mereka memaksakan diri sikut kanan kiri bahkan rela terinjak-injak orang lain; yakni uang lima ribu rupiah dan paket sembako –tidak disebutkan jenis barangnya- senilai sepuluh ribu rupiah. Untuk seharga itu, tercatat ratusan orang, utamanya para lansia jatuh pingsan kehabisan nafas dan terinjak-injak.

Adegan kedua, masih ditayangkan di televisi swasta lainnya, Gubernur DKI Jakarta yang baru, Fauzi Bowo, membagi-bagikan ‘angpaw’ kepada sekitar 1500 warga Jakarta pada hari raya Idul Fitri. Warga berduyun-duyun mendatangi kediaman Bang Foke –panggilan akrab orang nomor satu di Jakarta itu untuk menerima amplop berisi selembar uang limapuluh ribu rupiah.

Yang menarik, belum selesai uang itu dibagi-bagikan kepada para warga yang sudah membentuk antrian panjang, tiba-tiba dihentikan dan antrian dibubarkan lantaran Wapres Jusuf Kalla datang bersilaturahim ke kediaman Foke. Alhasil, ribuan warga menggerutu, memaki-maki dan menyobek-nyobek kupon yang sudah dibagikan sebelumnya. Dalam berita itu, tidak dijelaskan apakah Foke melanjutkan pembagian amplop kepada warga Jakarta setelah Wapres pulang atau memang benar-benar tidak diteruskan.

Dari dua adegan tersebut, menarik untuk ditilik kembali peran berbagai lembaga zakat yang ada di Indonesia. Ini tidak bermaksud mengukur kinerja lembaga zakat, namun jika melihat apa yang terjadi dari dua tayangan di televisi tersebut bolehlah melayangkan satu pertanyaan; kenapa si dermawan tidak mempercayakan saja dana zakatnya kepada beberapa lembaga zakat, agar tidak perlu repot-repot membagi-bagikannya sendiri. Atau kenapa Bang Foke tidak menyerahkan dana ‘zakat maal’nya yang sekitar tujuh puluh lima juta rupiah itu untuk dikelola sebuah lembaga zakat, dan biarkan lembaga zakat itu yang bekerja.

Beragam alasan tentu saja melatarbelakangi dua kejadian itu. Mungkin saja ini bukan lantaran ketidakpercayaan si dermawan atau Bang Foke terhadap berbagai lembaga zakat. Boleh jadi ada faktor lain yang mendominasi aksi bagi-bagi zakat dan ‘angpaw’ itu. Bisa karena alasan politik atau alasan yang lebih bagus, ingin merasakan bersentuhan langsung dengan kaum dhuafa.

Lebih-lebih, di hari-hari akhir ramadhan dan di hari raya Idul Fitri, yang merupakan saat-saat setiap orang memiliki jiwa berbagi yang tinggi selain faktor kewajiban mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya melalui mekanisme zakat maupun infak, teramat banyak orang-orang yang tiba-tiba menjadi dhuafa, sekonyong-konyong terlihat layaknya kaum fakir yang memanfaatkan moment meningginya semangat berbagi itu.

Berkenaan dengan peran lembaga zakat, jelas tugas yang diemban sudah sedemikian berat –bukan saja mulia. Jadi tak perlu merasa direpotkan dengan sikap beberapa pihak yang lebih senang membagi-bagikan sendiri zakat dan kepeduliannya. Toh, masih jauh lebih banyak para muzakki yang menitipkan zakatnya kepada para lembaga zakat ini. Bagaimana pun, dua adegan di atas hanyalah bagian dari dinamika menuju pengelolaan dan pemanfaatan zakat agar lebih baik lagi di masa yang akan datang. Insya Allah (gaw)