Cinta Putih

isteri4“Ini siapa yang makan kue tidak dihabiskan?” tanya saya kepada isteri malam itu. Di meja makan, terdapat sepotong kue yang tak habis termakan. “Itu potongan untuk Abang. Anak-anak dapat kue dari tetangga siang tadi, tapi mereka ingin membaginya untuk, Abi,” jelas isteri saya. “Ini Hufha, ini buat dede Iqna, ini Ummi, dan ini buat Abi,” begitu katanya setelah memotong empat bagian kue itu. Anak-anak sudah tidur, semoga dalam mimpinya mereka melihat saya menikmati kue yang sengaja disisakannya. Saya selalu ingat setiap kali anak-anak mendapatkan kue atau makanan enak lainnya, mereka tak lupa menelepon saya di kantor untuk sekadar memberitahu kalau saya tak perlu khawatir, karena mereka akan menyisihkannya untuk saya.

Pagi hari, pertanyaan pertama anak-anak adalah, “Kuenya dimakan nggak, bi?”

***

Saya pernah diprotes isteri karena pulang terlambat. Padahal sebelumnya saya sudah berjanji untuk mengajak mereka jalan-jalan ke mall. Setiap akhir bulan, anak-anak sudah hafal betul jadwal belanja bulanan kami. Meski masih terlalu kecil, mudah bagi mereka menandakan waktunya belanja bulanan. Jika persediaan susu mereka sudah menipis, itulah waktunya belanja. Saya menjanjikan akhir pekan ini akan mengajak mereka berbelanja, itu yang membuat mereka rela menahan kantuk tidak tidur siang karena takut ditinggal. Walaupun waktu belanja kami biasanya sesudah maghrib, sejak jam 16.00 anak-anak itu sudah cantik dengan baju pilihan mereka sendiri. Tapi, hari itu saya membuatnya kecewa. Pukul 21.15 malam saya baru tiba di rumah dan mendapati kedua anak saya terlelap di sofa masih lengkap dengan baju bagus, sepatu dan jilbab yang tak lepas.

Pagi hari, mereka tak marah. “Hari ini kerja nggak? Pulangnya jangan malam-malam ya, kan sudah janji mau ke Mall,” Saya tak berani berjanji, tapi saya akan menepatinya. Sungguh.

***

“Mi, nanti kalau abi pulang bangunin ya,” pesan anak pertama saya yang ingin membanggakan lima bintang yang diterimanya hari ini untuk pelajaran melukis di sekolah. Cerita isteri saya, sejak pulang sekolah kertas hasil lukisannya itu selalu dibawa-bawa dan tak boleh disentuh siapapun. Tak satu pun yang boleh melihatnya sebelum saya melihatnya dan mengatakan, “Duuh pinternya cantik abi.” Setelah mandi sore, tercatat sebelas kali ia bertanya jam berapa saya pulang. Selepas Maghrib, entah untuk keberapa kali ia bertanya, “Abi kok belum pulang sih?” tentu saja dengan kertas lukisan masih di tangannya. Ia pun berjaga-jaga di sofa menunggu kepulangan saya, agar apa yang saya dapatkan begitu membuka pintu adalah wajah cerianya sambil menunjukkan lima bintang di kertas lukisannya.

Yang dinanti tak kunjung tiba. Kantuk pun tak kuasa ditahannya, lima bintang pun ikut terlelap dalam dekapannya. Hari masih terlalu dini, ia sudah bangun membawa kertas lukisannya ke kamar saya. Matanya masih terlihat mengantuk ketika ia menggugah saya, “Bi, sudah lihat gambar Hufha? Dapat bintang lima nih.”

***

Pekerjaan saya saat ini banyak menyita waktu yang semestinya merupakan waktu untuk keluarga. Tak jarang mereka protes dengan kalimat, “Kerja melulu, kapan liburnya?” Ya, saya sering merasa bersalah setiap harus pergi untuk urusan pekerjaan di hari libur. Terlebih ketika harus membatalkan acara yang sudah direncanakan jauh hari. Cara mereka mengingatkan saya akan teramat banyak hutang kehadiran saya untuk mereka cukup unik, yakni dengan menyebut jumlah dongeng yang belum saya lakukan. Kalau saya pergi tiga hari, maka di malam saya menemani tidurnya, mereka akan minta saya merapel cerita jadi empat. Satu jatah malam ini, tiga cerita adalah untuk hari yang terlewati tanpa dongeng.

Kalau pun saya terlalu lelah untuk empat dongeng malam itu, mereka pun tak marah. Hanya saja, “Tapi besok jadi lima, ya.”

***

Hari Minggu kemarin, saya baru pulang ke rumah pukul 20.30 malam. Siang harinya saya berjanji untuk pulang sore dan mengajak mereka beRp-putar dengan motor. Senja hampir tiba, mereka masih yakin saya akan segera pulang. Karenanya mereka menunggu saya sambil bersembunyi. Rupanya, mereka berniat mengejutkan saya dari balik pintu. Malam sudah tiba, anak-anak masih di balik pintu, kali ini mereka tak berdiri, tapi sudah duduk. Mungkin lelah menunggu. Waktu terus berjalan, sampai mereka pun terlelap di balik pintu, tak peduli kata-kata umminya bahwa saya akan terlambat pulang. “Nggak, Abi bilang sebentar kok perginya,” ujar si kecil.

***

Terlalu sering saya membuat anak-anak kecewa. Namun tak pernah saya mendapatkan wajah cemberut mereka meski saya tak tahu lagi dengan cara apa mengucap maaf. Tanpa meminta maaf pun, ternyata mereka sudah lebih dulu memaafkan. Mestinya saya belajar mencinta seperti mereka, dan cinta punya mereka adalah cinta yang putih. Seputih hatinya.

gawtama.blogspot.com