Dari yang Terdampar

Delapan tahun lalu, ketika masyarakat Indonesia di UAE masih bisa dihitung jumlahnya, keberadaan seorang da’i masih langka. Begitu bermakna peranannya, ibaratnya siapapun, asalkan bisa menyampaikan satu ayat, kita akan nobatkan menjadi ustad dalam setiap pengajian. Kehausan akan siraman rohani di UAE bagian utara waktu itu alhamdulillah terobati dengan hadirnya seorang pemuda asal Pati. Keberadaan Ahsin, sebut saja begitu namanya, tidak ubahnya tetesan embun di kegersangan gurun pasir UAE bagi komunitas kaum Muslimin Indonesia di sana.

Ahsin kini sudah lama tidak berada di tengah-tengah kami. Enam tahun sudah dia meninggalkan UAE, karena satu dan lain hal, hanya dua tahun dia tinggal bersama kami. Namun begitu, masih tergambar jelas dalam ingatanku tentang kesederhanaan sosok da’i tersebut-sekarang bapak dua anak.

Ahsin, sebagaimana pemuda-pemuda desa kita, hadir di antara kami sebagai pribadi unik, yang aku insyaallah tidak akan pernah melupakannya. Keunikannya terproyeksikan dalam cara pandang, tutur kata, sikap dan perbuatannya.

Selama enam tahun kami tidak saling jumpa, hanya sekali ketemu dengannya tiga tahun lalu. Sosok tubuhnya yang kurus kering mengisyaratkan kedukaan yang nampaknya dia coba tutupi dengan senyuman ketika mengawali jumpa kami sesudah tiga tahun pisah. Beberapa kali aku dengar kabar tentang dia lewat seorang kawan. Setiap kali aku dengar, selalu saja berupa cobaan dari Allah. Sirkulasi kehidupannya tidak lebih dari ajang pergulatan melawan arus deras kehidupan.

Yang pertama tentang kebangkrutan usaha kecil-kecilan yang dia coba bangun di Gresik. Yang kedua, kegagalan bisnis kecil, perangkat telepon genggam dan komputer, di Malang bersama seorang rekannya. Yang ketiga, ketidak-mampuannya mengelolah bisnis bordiran lantaran saingan yang ketat di Pati. Yang keempat, berpulang ke Rahmatullah isterinya. Dan yang kelima, kompleksitas permasalahan yang terurai dalam sepucuk surat yang dilayangkan kepada kami, kelompok pengajian di mana dia pernah hadir.

Aku yakin, bahwa di balik semua ini, tersembunyi rahasia besar Allah. Berikut ini petikan suratnya:

“Semoga anda beserta keluarga dan teman-teman selalu dalam lindungan Allah dan tetap dalam kesabaran dalam menghadapi aktivitas apapun….”

“Dulu aku pernah dititipi dana bantuan dari kelompok pengajian untuk disalurkan kepada yang berhak. Waktu itu aku belikan mesin bordir. Namun, lama kelamaan saingannya semakin banyak, sehingga mereka berhenti. Lantaran takut rusak, nggak kepakai, aku jual mesin tersebut.”

“Namanya uang memang menggiurkan. Aku khilaf. Dalam kondisi ekonomi yang amat terdesak, uang tersebut aku gunakan. Inilah salah satu sifat buruk yang aku miliki. Saat ini, kayaknya untuk mengembalikan dana tersebut secara keseluruhan terasa berat bagiku. Untuk itu aku mohon kepada anda agar masalah ini disampaikan kepada pengurus kelompok pengajian tentang keadaan yang aku hadapi, supaya dimusyawarahkan. Permohonanku adalah agar dana yang aku bawa bisa dirubah. Dari bantuan bergilir menjadi bantuan langsung tunai. Dengan demikian, aku berharap akan mampu menyicil untuk kuberikan kepada mereka yang berhak.”

“Aku sebenarnya tidak ada rencana untuk hijrah ke Gresik. Berhubung anakku yang ganteng dewe (paling ganteng: Red.) kerap murung, nafsu makannya berkurang serta selalu menempel kemanapun pergi, membuatku tidak bisa bergerak sama sekali. Akhirnya aku putuskan menuruti kemauannya pindah.”

“Mungkin karena tanah kelahirannya di sana. Dia jadi terhibur, bergaul dengan saudara-saudara dari mendiang isteriku serta teman-temannya. Aku juga heran, anak seusia dia, belum juga genap 5 tahun, sudah tahu dan mengerti kalau ditinggal pergi oleh ibunya untuk selamanya. Saat ini, dia sudah tidak pernah lagi bertanya-tanya kepadaku tentang ibunya, kecuali sifat manjanya yang meningkat menjadi 200%. Aku cukup maklum akan hal ini, walaupun buahnya adalah kerepotanku mengurusnya jadi bukan main.”

“Anda barangkali cukup mahfum dengan rumitnya permasalahan yang aku hadapi. Sementara repot mengurusi dua anak kecil, aku dihadapkan pada keadaan untuk berjuang mencari nafkah bagi mereka, dengan tinggal di rumah mertua. Padahal anda tahu saat ini, yang namanya mencari kerja, menjadi buruh sekalipun, tidaklah mudah. Upah yang aku peroleh setiap bulannya tidak lebih dari untuk memenuhi kebutuhan jajan dan susu kedua anakku.”

“Pernah suatu kali, anakku yang laki-laki diledek oleh teman-temannya: “Ibumu sudah mati kan?” Lantas apa kata anakku? “Ya masak harus hidup terus?” Jawabnya ringan. Subhanallah! Bagaimana perasaanku, sebagai bapak, tidak teriris mendengarnya? Di lain waktu, ketika kami sedang nonton televisi, suatu malam, sebuah sinetron memaparkan sebuah kisah di mana salah seorang tokoh wanitanya meninggal dunia. Eh.spontan anakku menangis. Sesudah kutanya mengapa menangis, dia menjawab, kangen sama ibunya. Sebuah jawaban yang sangat aku khawatirkan dan tidak pernah aku harapkan sama sekali.”

“Begitu pula si kecil, adiknya. Dia tahu kalau aku ini bapaknya. Sesudah ibunya meninggal, memang dia kutinggal di Gresik untuk beberapa lama, karena aku tidak sanggup mengasuh dua orang anak sekaligus. Aku titipkan untuk sementara kepada orangtua isteriku. Akan tetapi saat ini, ketika aku harus kumpul lagi dengannya, dia tidak mau aku lepaskan sama sekali, termasuk untuk urusan memandikan sekalipun, harus aku sendiri.”

“Aku dalam posisi yang benar-benar serba repot. Di satu sisi mengasuh kedua anakku. Di sisi lain, aku terpaksa numpang di rumah kedua orangtua almarhum isteriku, yang tidak aku pungkiri, sepeninggalnya, seperti orang lain. Sementara untuk kost, rasanya secara ekonomi aku belum mampu. Mertuaku tidak mengizinkan aku tinggal di tempat lain, karena belum punya pasangan. Subhanallah!”

“Sekedar tahu, sejak kepergian isteriku, kehidupanku jadi turun drastis, baik ekonomi maupun kemampuan berpikirku. Aku tidak memiliki tempat curhat atau cengkerama. Sungguh. Cobaan ini terasa sangat luar biasa. Dasyat sekali. Aku bisa merasakan sekarang, bagaimana dukanya Rasulullah SAW ketika ditinggal pergi oleh Isteri beliau, Khadijah (R.A.) waktu itu. Ternyata, ujian kesabaran yang aku jalani di UAE belum 100% lulus. Sedihnya pisah dengan keluarga waktu itu bukanlah apa-apa dibanding dengan apa yang aku alami kemudian. Aku mengulangi ujian yang jauh lebih berat di saat pulang dan berada di rumah, Indonesia.”

“Ingin rasanya aku ingin kembali kerja di tanah Arab sana. Entahlah, aku selalu bermimpi kembali ke sana. Aku jadi ingat saat-saat di mana kita akrab dalam suasana persaudaraan Islami sebagai sesama perantau. Aku masih ingat betul di kala kita kesulitan mencari tempat untuk berkumpul bersama dalam menyelenggarakan pengajian. Sesudah ditinggal oleh isteriku, rasa rindu kembali bertemu teman-teman UAE begitu saja jadi sering muncul. Tapi kira-kira apa ada ya lowongan buat aku yang notebene tidak berpendidikan dan tak punya pengalaman yang memadai? Kalau aku harus kembali ke perusahaan tempat aku bekerja waktu itu, rasanya susah, karena faktor usia. Sedang apa yang aku kerjakan saat ini, pekerja kasar yang upahnya rendah.”

“Yang aku harapkan kepada teman-teman di sana adalah jagalah keutuhan rumah tangga, kerukunan dan keharmonisan. Betapa berartinya keutuhan di saat kita mengalami sebuah kehilangan. Itulah yang aku rasakan sebagai oleh-oleh yang paling berharga ketika pulang dari Emirat. Kesabaran akan menumbuhkan keikhlasan. Sedang keikhlasan akan mengantarkan kita jalan ke surga.”

Seperti yang ditulis oleh Ahsin (Bukan nama yang sebenarnya).

[email protected]