di Balik Hari Kemerdekaan Negeri Ini

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Kiranya, pepatah tersebut bagi saya tidaklah berlebihan. Sebab, kita memang harus menghormati jasa para pahlawan yang andil terhadap kemerdekaan negara ini. Menurut saya, pahlawan tidak hanya mereka yang gugur dan diberi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Tapi, pahlawan adalah orang berjasa dalam perjuangan negeri ini tanpa terkecuali meski dia tidak diberi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Tentu saja, makna pahlawan itu sangat universal dan memiliki definisi yang luas.

***
Detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia begitu berkesan bagi Pak Bari. Beliau sudah meninggal pada 2007. Kali terakhir saya bertemu dengannya pada medio 2005. Saat itu, beliau begitu bersemangat ketika mengisahkan masa-masa mudanya ketika menjadi anggota TKR pada 1945. Ya, Pak Bari adalah salah seorang legiun veteran RI dari Surabaya yang kebetulan tetangga kampung saya.

Saya tidak sedang mewawancarai Pak Bari saat itu. Sebab, kami hanya ngobrol biasa saja waktu itu. Awalnya, beliau sempat mengeluhkan perhatian pemerintah setempat terhadap legiun veteran RI di Surabaya, termasuk dirinya. Dari keluhan itulah, obrolan kami merembet ke kisah perjuangannya semasa menjadi tentara keamanan rakyat (TKR) pada masa revolusi kemerdekaan.

Dengan sangat bersemangat, Pak Bari memamerkan tanda jasanya berupa beberapa medali penghargaan dari pemerintah serta topi dan seragam khas legiun veteran RI. Saya mendengarkan kisahnya seraya asyik menyeruput kopi di hadapan kami.

Memang, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, perjuangan tidak berhenti sampai di situ. Sebab, Belanda masih terobsesi menguasai negeri ini waktu itu. Tentu saja, hal tersebut menimbulkan amarah rakyat Indonesia yang telah lama merindukan kemerdekaan sejak dijajah Belanda selama kurang lebih tiga setengah abad. Akibatnya, terjadi pertempuran di mana-mana. Tak terkecuali, perang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya.

Pada masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, para pemuda Surabaya terkenal paling heroik melawan Belanda. Itu bisa dibuktikan dengan saksi bisu sejarah lewat diorama Tugu Pahlawan, Tugu Bambu Runcing, dan peristiwa penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye (sekarang Hotel Majapahit).

Dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 yang terkenal itu, puluhan ribu arek-arek Suroboyo gugur. Terjadi pertempuran yang tidak seimbang. NICA yang dibonceng tentara sekutu membumihanguskan Surabaya setelah Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh pejuang Indonesia. Bambu runcing dan senjata seadanya dari pemuda Surabaya melawan senjata dan alat tempur modern musuh.

Pidato heroik, pekik merdeka, dan teriakan Allahu Akbar dari Bung Tomo berhasil membakar semangat para pemuda Surabaya. Arsip tentang pertempuran Surabaya itu paling membuat saya merinding karena kagum. Betapa para pedahulu kita dulu sangat gigih mempertahankan kemerdekaan negara ini. Merdeka atau mati. Itulah yang menjadi slogan tempur arek-arek Suroboyo kala itu. Hal tersebut diamini oleh Pak Bari.

Di sela-sela perbincangan kami, Pak Bari menuturkan tak butuh gelar pahlawan dari pemerintah seandainya beliau wafat nantinya meski dia seorang pejuang kemerdekaan. Dia hanya mengharapkan perhatian dari pemerintah terhadap para veteran RI yang hidup kekurangan seperti dia.

Memang, rumah Pak Bari yang hanya berjarak 100 meter dari kediaman saya sangat sederhana. Anak-anak Pak Bari rata-rata telah berkeluarga. Sehari-hari, untuk kebutuhan keluarga, Pak Bari menggantungkan hidupnya dari dari hasil pensiunan. Sementara, isterinya membantu dengan berjualan gorengan yang dititipkan di warung-warung.

Saya sempat menghela napas melihat ketimpangan hidup seorang pejuang seperti Pak Bari. Sebagai anak muda, tentunya saya ingin bisa mewarisi keberanian beliau pada masa mempertahankan kemerdekaan di Surabaya. Namun, di sisi lain, saya tak bisa menutup mata karena prihatin melihat kondisi Pak Bari.

Badannya sangat kurus karena mengidap sakit paru-paru. Rambutnya pun telah memutih. Sebuah foto hitam putih dengan seragam pejuang tempo dulu membuat saya makin kagum dengan sosok lelaki tua itu. Ya, Pak Bari memberi kesan yang tak terlupakan bagi saya pribadi. Saya teringat pada kalimat yang menyebutkan bahwa old soldiers never die, he just fade away. Saya merasa beruntung mengenal Pak Bari sebelum beliau meninggalkan kami, meninggalkan negeri yang tidak lagi dijajah oleh negara lain. Meski telah tiada, walaupun perhatian pemerintah terhadapnya sangat minim, bagi saya Pak Bari adalah salah seorang sosok pahlawan.

***

Kini, sudah 63 tahun Indonesia merdeka. Rasa syukur atas kemerdekaan itu diwujudkan dalam berbagai perayaan seperti lomba dan syukuran. Malam ini, saya tercenung di meja kerja mengingat perbincangan saya dengan Pak Bari sekian tahun yang lampau. Seorang pahlawan tak pernah berharap legitimasi khusus. Bagi saya, Pak Bari seorang pahlawan. Beliau tidak mengharapkan gelar pahlawan di pusara namanya. Namun, kehidupan dan kesederhanaannya menyisakan keprihatinan di hati saya.

Tak terasa Ramadhan segera tiba. Hari kemerdekaan yang berdekatan dengan suasana menyambut bulan suci Ramadhan membuka mata hati saya. Di negeri ini, masih banyak hal yang perlu dibenahi. Sebab, korupsi masih sulit ditanggulangi. Masih banyak pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan golongan, tidak peduli kepada rakyat jelata. Suasana ruang redaksi telah lengang. Cuaca di Surabaya hening senyap. Saya yang sendirian berteman secangkir kopi berkata dalam hati, ”Negeri ini ternyata belum benar-benar merdeka…”

Semoga datangnya bulan suci Ramadhan menyadarkan para pemimpin negeri ini, menyadarkan kita semua. Mudah-mudahan hikmah bulan penuh berkah dan ampunan itu menjadikan kita manusia yang bersyukur dan rendah hati, yang peka terhadap masalah sosial di sekitar kita. Wallahu ’alam bishshawab.

[email protected]