di Mana Kau Nak

Beberapa pekan lalu, kami sekeluarga pergi mengunjungi sebuah mal yang baru di kota kami. Sebuah pusat pertokoan yang besar dengan tema Laut Merah ini memang sangat luas dan indah. Lantai dasar yang masih banyak kosong dan masih banyak yang dirapikan oleh para penyewa toko tidak mengurangi pengunjung yang datang untuk sekedar sarapan pagi di lantai atas atau menikmati indahnya air mancur yang memancar di tengah pusat perbelanjaan. Terasa menyejukkan karena suasana di luar mal yang mulai panas oleh terik matahari yang tidak bersahabat. Di dalam mal tersebut disediakan kendaraan berbentuk perahu berjumlah tiga buah yang dikaitkan seperti layaknya kereta, untuk memanjakan pengunjungnya yang ingin melihat-lihat pertokoan tanpa harus berjalan kaki.

Setelah menikmati sarapan pagi dan makan siang sekaligus, kami meninggalkan tempat itu menjelang waktu dhuhur menuju ke toko buku di kawasan Al-Amir Sultan street. Ada yang perlu kami beli untuk kebutuhan sekolah anak-anak kami di sana.

Sesampai di tempat tujuan, suami saya tidak turun dari mobil karena ingin beristirahat dulu sejenak di dalam mobil. Saya pun turun ditemani kedua anak saya langsung menuju toko buku. Panas matahari di waktu dhuhur benar-benar sangat menyengat, membuat kami harus berjalan cepat agar segera sampai ke dalam pertokoan. Begitu pintu otomatis terbuka, wusshh…. angin dingin AC terasa sangat menyejukkan.

Karena sudah tiba waktu dhuhur, toko buku yang kami tuju itupun sudah tutup, dan rupanya baru akan buka lagi setelah sholat ashar. Toko-toko lain biasanya akan buka kembali dari waktu dhuhur ke ashar bila hari kamis (akhir pekan). Namun karena kami sudah terlanjur sampai di sana, saya pikir lebih baik sholat dulu di musholla daripada menunda shalat sampai di rumah.

Suasana pertokoan memang tampak sepi, lain sekali dengan mal baru yang baru saja kami tinggalkan. Hanya beberapa orang saja yang masih menikmati makan siang di food court yang disediakan. Saya pun langsung menuju ke musholla, karena saya memang masih punya wudhu sementara anak saya yang besar pergi ke toilet yang letaknya hanya di sebelah musholla. Saya katakan kepada anak saya yang besar agar langsung mengambil air wudhu dan sholat setelah selesai dari kamar kecil. Saya sholat ditemani putri saya yang kecil.

Di awal sholat, anak saya yang kecil tersebut masih bermain di dalam musholla. Asyik menggambar sesuatu di kaca jendela musholla dengan jari-jarinya. Mulai memasuki raka’at ke tiga, saya merasakan si kecil sudah keluar dari musholla namun masuk lagi dan keluar lagi, sementara yang besar sudah masuk ke dalam musholla.

Sholat saya menjadi tidak khusyu’ manakala saya tidak mendengar suara si kecil bercakap-cakap dengan anak saya yang besar. Sholat terpaksa saya percepat, sementara handphone saya pun berbunyi. Setelah mengakhiri sholat dengan salam, saya pun bertanya kepada anak saya yang besar, di mana adiknya, dan kenapa dia tidak segera melaksanakan sholat dhuhur. Saya lihat dia hanya duduk saja di atas kursi dekat pintu masuk.“Tadi keluar”, kata yang besar tanpa ada rasa bersalah. “Kenapa kamu tidak melarang dia keluar musholla?” Tanya saya kepadanya. Dia hanya mengangkat bahunya. Saya pun melihat sandal biru anak saya yang kecil sudah tidak ada di depan musholla. Tidak biasanya dia keluar sendiri ketika saya sedang melaksanakan sholat di musholla umum.

Saya panggil-panggil anak saya, siapa tahu dia menjawab panggilan saya. Karena di sekitar musholla tidak terdengar suara anak saya menyahut panggilan saya, sayapun mulai panik. Saya meminta anak saya yang besar untuk ikut mencari adiknya setelah ia menyelesaikan sholatnya. Saya menelepon suami saya yang rupanya memang sewaktu saya sholat tadi sudah berusaha menghubungi saya untuk menanyakan keberadaan kami karena dia akan segera menyusul. Saya ceritakan melalui telepon bahwa si kecil tidak ada ketika saya selesai sholat. Suami saya kaget dan segera membantu mencari.

Saya cari anak saya di toilet, saya buka beberapa pintu toilet, saya susuri jalan sekitar musholla menuju ke arah tempat permainan anak yang memang sudah sepi. Sambil terus berdoa dan menahan dada yang mulai sesak karena tidak ada tanda-tanda keberadaan anak saya yang kecil. Ahdi mana kau nak…..

Karena belum terlihat sosok kecilnya, saya pun menghubungi suami saya lagi. Betapa lega hati ini karena suami saya sudah melihat anak kami yang ternyata sudah berjalan sendiri sampai food court. Alhamdulillah, Allah SWT masih melindunginya. Saya mengucap syukur berkali-kali.

***

Bagi kami kejadian seperti ini tidak hanya satu kali saja terjadi. Kakaknya malah sudah dua kali “hilang“ ketika usianya masih berumur sekitar tiga tahun. Yang pertama terjadi enam tahun lalu ketika saya sedang mengisi pameran yang diadakan oleh masyarakat Muslim Amerika. Kami mempromosikansebuah website muslimah yang baru didirikan bersama teman-teman.

Ketika itu anak saya yang besar tersebut dititipkan di ruang day care yang disediakan panitia. Baru lima belas menit ditinggalkan ayahnya, ayahnya ingin mengecek ke dalam ruangan hanya sekedar ingin tahu anak kami sedang bermain apa. Namun anak kami itu sudah tidak ada di tempat. Suami saya langsung melaporkan hilangnya anak kami tersebut ke penjaga day care. Lemas rasanya mendengar berita itu, mengingat gedung pameran yang dipadati oleh sekitar ribuan pengunjung. Rupanya anak kami yang memang keluar ruang kelasnya ditemukan panitia, namun dimasukkan ke ruang kelas untuk anak yang lebih besar. Tidak dikembalikan ke ruang semula. Pantas saja ayahnya tidak dapat menemukannya.

Kejadian yang kedua, ketika saya sedang ke toilet. Sementara anak saya yang besar ikut ayahnya ke toilet. Belum selesai ayahnya di dalam toilet, anak saya sudah berlari keluar toilet. Bisa dibayangkan paniknya suami saya ketika itu, karena keluar dari toilet umum adalah langsung tepianjalan besar. Apalagi jalanan di salah satu kawasan terpadat di dunia, dan malam hari pula. Kalau bukan karena Allah SWT yang menolong kami dengan memberi tahu suami saya melalui salah seorang pejalan kaki yang melihat ke mana arah larinya anak kami, tentu suami saya lebih sulit mencarinya.

***

Peristiwa yang baru saja membuat panik diri saya itu pasti bukanlah suatu kebetulan. Bisa jadi Allah SWT sedang menguji sholat saya. Seberapa besar cinta saya kepada-Nya dibanding kepada anak saya. Padahal sering saya jumpai orang tua yang sedang Sa’i di Masjidil Haram, mendudukkan begitu saja anak-anaknya yang masih kecil di lantai di tepi lokasi Sa’i sementara mereka melanjutkan ibadahnya, tanpa khawatir anaknya hilang.

Mungkin juga saya lupa berdzikir di pagi hari atau saya telah lalai berdoa di sepanjang perjalanan dan membasahkan lidah ini dengan mengingat Allah SWT. Atau karena saya tidak pernah bersyukur akan karunia-Nya yang selama ini telah dilimpahkan kepada saya. Bisa juga merupakan teguran Allah SWT kepada saya dalam mendidik anak-anak yang telah diamanahkan-Nya.

Semua itu tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi saya agar saya dapat mengevaluasi dan menata diri ini. Diri yang selalu mudah tergoda oleh kenikmatan dunia. Padahal sudah jelas …wal aakhiratu khoiruw wa abqa..(dan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal..)

Wahai Tuhan Yang Maha Hidup, wahai Tuhan Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekalipun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari Mu).

Jeddah, Rabi Al-Awaal 1429H