di Manakah Allah Ketika Peluang Itu Ada?

Di Berlin dan kota-kota lain di Jerman, umumnya bis memiliki 3 pintu. Calon penumpang yang telah menunggu sekian waktu di halte akan mengantri dengan tertib di pintu depan begitu bis yang ditunggu datang. Kemudian membayar sejumlah uang sesuai dengan jarak tempuh perjalanannya atau memperlihatkan kepada supir kartu langganan yang mereka miliki atau karcis yang di beli di mesin-mesin automat.

Sementara orang-orang cacat atau yang kesehariannya menggunakan kursi roda serta para orangtua yang membawa kereta bayi akan masuk lewat pintu tengah lalu memposisikan kursi roda atau kereta bayinya pada tempat yang telah disediakan persis di seberang pintu tengah tersebut. Selanjutnya orangtua yang membawa kereta bayi akan segera bergegas ke tempat supir dan melakukan hal seperti penumpang-penumpang lainnya.

Pintu bagian tengah biasanya berfungsi pula sebagai tempat keluar penumpang. Demikianhalnya denganfungsi pintu belakang. Terkadang pintu depan bisa juga berfungsi sebagai tempat keluar saat situasi darurat, tapi itu jarang terjadi.

Bila situasi bis sedang padat penumpang, maka supir akan memaklumi orang yang membawa kereta bayi tidak menghampiri dirinya. Tetapi untuk penumpang lainnya, tetap harus mengikuti prosedur baku. Masuk dari pintu depan untuk membayar atau menunjukkan kartu.

Seringkali saat mengantri, saya perhatikan supir hanya melihat sekilas atau sambil lalu bila kita tunjukkan kartu atau karcis. Saya sempat terheran-heran dibuatnya, secepat itukah ia bisa mengetahui kalau kartu yang kita tunjukkan adalah benar? Tidakkah ia takut kalau dicurangi penumpangnya bahwa ternyata kartu yang ditunjukkan adalah kartu yang sudah tak berlaku?

Pertanyaan itu pernah saya lontarkan pada suami yang langsung dijawabnya dengan santai bahwa supir sudah terlatih melihat tulisan sebelah mana yang perlu ia perhatikan, jadi tidak melihat seluruh tulisan yang tertera di kartu atau karcis. Sebenarnya saya belum begitu puas dengan jawaban suami tentang hal tersebut karena saya lihat begitu cepatnya bahkan kadang supir melirik dengan malas saat memeriksa karcis. Seolah ia cukup yakin dengan kejujuran penumpangnya. Ataukah para supir itu tak peduli karena para penumpang itu bayar atau tidak tak akan mempengaruhi gaji mereka?

Ternyata kekhawatiran saya terbukti. Suatu ketika saya pernah naik dalam suatu bis yang ternyata supirnya cukup jeli dan agak lama saat melihat kartu yang ditunjukkan. Seorang pemuda masuk dari pintu depan dengan gaya yang sangat meyakinkan lalu memperlihatkan kartu dari dompetnya sekilas pada sang supir dan berusaha segera berlalu. Namun sang supir meminta sang pemuda menahan langkahnya, dan kejadian berikutnya si pemuda diminta membayar atau turun. Si pemuda akhirnya turun saat itu juga dengan wajah merah padam menahan malu. Rupanya kartu yang ia tunjukkan sudah tak berlaku untuk digunakan sebagai bukti pembayaran.

Pernah juga seorang wanita setengah baya berambut coklat dengan penampilan begitu trendi, mulai dari baju, topi, sepatu hingga kaca mata semua beraksen macan tutul, terpaksa menahan malu saat ketahuan kartu yang di sodorkan dengan penuh keyakinan bisa mengelabui sang supir ternyata tak berhasil. Ia pun harus turun karena tak mau membayar. Untunglah kaca mata yang menutupi matanya cukup menyelamatkan dirinya dari pandangan sinis penumpang lainnya.

Begitu juga kemarin, kembali saya menyaksikan drama kehidupan tentang sebuah nilai kejujuran. Dua orang wanita muda berambut pirang dan bermata biru kehijauan masuk ke dalam bis dari pintu tengah. Supir mengawasi dari kaca depan menanti mereka menghampirinya. Biasanya jika penumpang diam saja, supir akan berbicara dengan menggunakan mikropon mengingatkan mereka untuk membayar atau menunjukkan kartunya. Tetapi saat itu saya heran mengapa supir diam saja. Dalam hati saya berusaha menerka jalan pikir sang supir, apakah mungkin karena salah satu wanita itu membawa kereta bayi. Tetapi temannya itu?

Baru saja saya pertanyaan itu berkelebat dalam pikiran saya, seorang lelaki berkaus dan bercelana panjang hitam menghampiri kedua wanita tadi dari belakang. Sambil tersenyum dengan santun ia memperkenalkan dirinya sebagai petugas pemeriksa. Kontan saja kedua wanita tadi tampak terkejut termasuk saya sendiri karena selama ini di bis tidak pernah ada petugas pemeriksa, berbeda dengan kereta bawah tanah, terkadang ada kontrol dari petugas.

Tak lama si wanita yang membawa kereta bayi segera menunjukkan kartunya sementara yang satunya tidak. Sang petugas masih tetap dengan senyum dan santunnya mempersilahkan dengan tegas agar wanita tersebut turun atau membayar. Wanita muda tersebut akhirnya turun dengan tatapan penuh rasa amarah dan terlihat bibirnya bergerak-gerak seperti mengumpat sang petugas.

Drama kehidupan semacam itu sering pula saya lihat di kereta bawah tanah. Biasanya seseorang dengan penampilan yang tak berbeda dengan penumpang tiba-tiba berdiri lalu dengan suara keras menyampaikan kepada penumpang bahwa dia seorang petugas pemeriksa. Dengan cepat dia mulai memeriksa satu persatu penumpang dan selalu ada yang berhasil ia ciduk, diminta turun dan membayar sejumlah denda. Biasanya denda sekitar 40 euro, padahal jika penumpang mau bersikap jujur dia hanya cukup mengeluarkan uang untuk membeli karcis dengan variasi harga mulai dari 1, 30 euro hingga tertinggi sekitar 5 atau 6 euro untuk perjalanan seharian dalam kota.

Sistem transportasi terutama dalam hal pembayaran karcis di Jerman memang sangat memungkinkan penumpang tergoda untuk bersikap tidak jujur. Pemeriksaan yang dilakukan petugas tidak tiap saat dan biasanya mereka masuk ke gerbong kereta secara acak, sering membuat orang nekat mengadu keberuntungan dengan tidak membeli karcis ketika menaiki kereta. Begitu pula di bis, banyak supir yang tak terlalu mengawasi kartu yang ditunjukkan sehingga menimbulkan peluang ketidakjujuran itu terjadi.

Pernah seseorang menyarankan saya untuk melakukan hal yang sama dengan perilaku beberapa penumpang yang tidak jujur di atas untuk tidak membayar bis, karena menurutnya bis yang sering saya naiki supir-supirnya ramah dan longgar dalam memeriksa, maka saya cukup masuk lewat pintu tengah karena sering membawa kereta bayi dan tak perlu membayar atau menunjukkan kartu, pasti supir-supir itu percaya saja, demikian menurut orang tersebut.

Mendengar saran yang aneh ini, hati saya merasa tersengat. Bagaimana tidak? Sebagai seorang yang mengaku beriman akan adanya Dzat yang Maha Melihat, Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi, bagaimana mungkin saya dapat melakukannya sekalipun peluang untuk melakukan ketidakjujuran itu ada. Lalu di manakah Allah jika saya lakukan hal itu?

Saya jadi teringat kisah anak penjual susu di zaman Ummar bin Khattab ketika ibunya meminta ia mencampur susu dengan air untuk dijual, karena menurut ibunya Umar ra. tidak akan mengetahui perbuatan ini. Sang anak lalu bertanya pada ibunya, bagaimana dengan tuhannya Umar? Sebuah penggalan dialog yang membuat Umar di mana saat itu sedang bersandar di dinding rumah tersebut merasa kagum akan sikap ihsan sang anak dan segera pulang untuk kemudian meminta salah seorang anaknya melamar anak dari si penjual susu tersebut, yang mana dari hasil pernikahan itu akhirnya melahirkan seorang tokoh legendaris, Umar bin Abdul Aziz.

Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang takut hanya kepada Engkau, dan janganlah Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang takut pada hamba-hambaMu.

Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar (QS. Al-Mulk:12).