Cinta Anak Kecil, Cinta Yang Dilarang

Selepas sholat Ashar Ranid terbiasa duduk santai di depan teras rumahnya. Ya, di depan teras rumahnya lah ia biasa berpikir tentang kehidupannya yang sederhana. Walaupun rumahnya di kampung yang mungkin tak punya nama. Akan tetapi semuanya itu membuatnya nyaman akan segalanya.

Tengah asik Ranid berpikir, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tangisan seorang balita. Ternyata setelah dilihat dengan seksama terlihatlah seorang balita yang juga keponakannya tercinta. Uki adalah nama sang bocah yang sedang menangis menderita. Air mata begitu deras mengalir di pipinya begitu juga teriakan yang bisa mencapai lima oktaf terdengar begitu memekakan telinga.

Di samping Uki juga ada Ikam sesosok balita lainnya teman Uki sang bocah. Ikam juga berteriak menangis seolah tak mau kalah. Mereka menangis hendak memperebutkan sebuah hadiah.

”ini punyaaaa kuuuuu…” teriak Uki kepada Ikam lengkap dengan aksen balitanya.

”ini punyaaaa kuuuuuuuuuuuuu…” Ikam membalas teriakan Si Uki bahkan melebihinya.

Adu kekuatan mewarnai proses bertengkarnya kedua balita. Uki dan Ikam sama-sama saling beradu tenaga. Kini, posisi sang hadiah yang menderita. Ia ditarik oleh kedua balita dengan tenaga super melebihi gatot kaca.

Pergulatan pun berakhir. Si Uki yang lebih tua dan besar daripada Ikam berhasil mengambil hadiah yang berupa sebuah sisir. Uki merayakan kemenangannya dengan berlari menjauh dari Ikam menuju ke tumpukan pasir. Sementara Si Ikam masih guling-guling merengek dan merasakan perasaan kalah yang terasa begitu getir.

Ranid duduk mengamati dan tersenyum melihat peristiwa tadi. Sebuah peristiwa yang memang sangat sering terjadi bahkan sudah berulang-ulang kali. Ranid hanya bisa mengambil si hikmah atas kejadian barusan yang telah ia amati.

“Yaa, namanya juga anak kecil,” Ranid membatin dalam hatinya.

“Wajar kalo mereka seperti itu, mereka (anak kecil) adalah orang-orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri,” gumam Ranid kepada hatinya yang juga sama-sama sendiri.

Sesaat Ranid teringat akan sebuah hadits Nabi SAW yang berbunyi ”la yuminu ahadukum hatta yuhibbu li akhi ma yuhibbu linafsihi (tidak beriman seseorang sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri)”. Dalam Islam sudah diatur dengan jelas bahwa cinta itu harus didistribusi. Cinta tidak boleh dimonopoli untuk diri pribadi.

Perlahan tapi pasti Ranid masih saja terus menikmati. Menikmati masuk ke dalam dunia pikirannya yang sunyi. Dunia yang dimana ia bisa mengekspresikan diri tanpa ada yang mengintervensi. Walaupun begitu tetap saja ia patuh dan taat terhadap rambu-rambu syar’i. Atas apa yang ia pikirkan sehari-hari.

Masih Ranid berpikir dalam otaknya yang sempit lagi sepi. Mengutip pepatah lama “Ya, sejatinya di dunia ini tidak ada orang yang jahat, yang ada hanya orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri”.

“Satu hal kenapa sang iblis diusir dari surga dan menjadi oposisi kebenaran sampai hari ini. Jawabannya adalah sang iblis terlalu mencintai dirinya sendiri. Hal itu terlihat dari ucapannya bahwa ia merasa lebih baik dari Adam yang diciptakan dari tanah sedangkan ia dari api. Ya, karena zaman dulu belum ada setan yang menggoda makhluk untuk selalu lupa diri”.

Ranid kemudian masuk ke dalam kamarnya ia membuka Quran miliknya. Ia mencari surat At taubah untuk kembali mentadabburi firmanNya. “Katakanlah jika babak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai; itu lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya, dan daripada berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya.” (QS. At-Taubah, 24)

Ia juga menemukan sebuah hadits yang berbunyi. Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan, Umar bin Khathab radhiallahu anhu berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasalam, “Sesungguhnya engkau wahai Rasulullah, adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu selain diriku sendiri.” Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, “Tidak, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, sehingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri”. Maka Umar berkata kepada beliau, “Sekarang ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Maka Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, “Sekarang (telah sempurna kecintaanmu (imanmu) padaku) wahai Umar.”

“Dalam Islam, cinta kepada (kepentingan) diri sendiri harus diletakkan dalam posisi dibawah dari cinta kepada Allah dan para Nabi. Janganlah seperti anak kecil yang menjadi ‘jahat’ dikarenakan terlalu cinta terhadap diri dan kepentingannya sendiri”. Demikian Ranid mengakhiri kesimpulannya.

Setelah ia menelurkan sebuah kesimpulan. Ia pun berkeinginan untuk menjadikan rangkaian pikirannya menjadi sebuah tulisan. Ranid pun mencari judul apa yang pas dan cocok untuk dijadikan sebuah awalan. ”Aha” Ia pun menemukan sebuah jawaban.

“Cinta Anak Kecil, Cinta Yang Dilarang”

[email protected]

http://mukminsehat.multiply.com/