Diri yang Selalu Bersyukur

Di dalam sebuah minibus compound sepulang dari belajar bahasa Arab, saya duduk bersama tetangga saya yang baru pulang dari mengajar bahasa Inggris di sekolah Arab khusus perempuan di kawasan Rawdah. Meskipun kami bertetangga, tapi kami jarang memiliki kesempatan berbincang-bincang agak lama karena kesibukan kami masing-masing. Kami berbasa basi saling menanyakan kabar anak-anak dan keluarga kami masing-masing. Karena waktu liburan sekolah tinggal beberapa minggu lagi, kami pun saling menceritakan rencana mengisi liburan yang cukup lama, dua bulan. Tetangga saya yang warga negara Lebanon ini tetap berencana untuk mengisi liburannya di Lebanon, walaupun pada saat itu kondisi negaranya masih kacau karena sedang terjadi perang.

Saya pun bertanya kepadanya,
“ Bagaimana keadaan keluarga, jauhkah dari lokasi perang?”
“Oo……lokasinya tepat di depan jalan apartemen saudara laki-laki saya, bahkan saudara saya bisa melihat mobil dibakar dari jendela apartemennya.”
“Terus apa keluargamu tidak mengungsi ke suatu tempat?“, “Bagaimana kabar mereka, baik-baik sajakah?” saya terus memberondongnya dengan beberapa pertanyaan.
“Alhamdulillah, alhamdulillah mereka baik-baik saja, tidak mengungsi tetap tinggal di rumah masing-masing.”

“Bagaimana dengan anak-anak saudara laki-lakimu itu, keponakan-keponakanmu, sekolahnya berhenti?”
“Ya sudah lima hari ini sekolah diliburkan karena kondisi perang. Di daerah saya tidak aman.“ lanjutnya “Bagaimana untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari, keluar untuk berbelanja pastinya sulit bukan.“ penasaran saya bertanya lagi seperti seorang wartawan.
“Alhamdulillah, mereka sudah terbiasa dalam kondisi seperti ini, jadi semua dapat diatur sedemikian rupa.“

Saya hanya terdiam dan otak ini terus memutar ulang percakapan saya dengannya. Sungguh tegar wanita di hadapan saya ini. Peristiwa demi peristiwa yang membahayakan nyawa keluarganya tetap ditanggapi dengan rasa syukur dan tidak ada wajah kekhawatiran berlebihan di sana.

Saya hanya dapat mendengarkan rentetan ceritanya. Baginya cerita ini hanya merupakan cerita yang biasa. Drama kehidupan sehari-hari. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana bila saya yang berada dalam posisi seperti dirinya. Keluarganya harus bertahan di sebuah negara dan kota yang sedang dilanda huru hara, namun masih selalu menyebut syukur kepada Sang Pencipta Langit dan Bumi.
***
Pada kesempatan sebelumnya, saya berjumpa dengannya, juga di dalam kendaraan yang menjemput anak kami sekolah. Saya tanya dia karena sudah lama saya tidak pernah melihatnya di compund. Ternyata dia sakit karena ada masalah dengan ginjalnya hingga harus masuk rumah sakit sehari semalam dan diinfus. Sementara sudah beberapa kali pula pembantunya datang dan pergi. Sebelum saya bertanya kenapa dia selalu “hobi” berganti pembantu pun dia sudah bercerita kepada saya.

“Yang orang Ethiopia itu minta pulang, lalu yang Ethiopia sesudahnya juga keluar.”
“Terus yang kemarin, yang orang India itu?” tanya saya, karena saya lihat pembantu yang India itu beberapa hari lalu masih tampak di halaman rumah menjaga anak-anak tetangga saya bermain.
“Ya saya suruh pulang karena katanya punggungnya sakit. Saya pikir dia tidak bisa bekerja lagi. Juga dia tidak mau menutup kepalanya dengan kerudung atau selendang. Apalagi dia selalu memakai busana tradisional, sehingga bagian tubuhnya ada yang terlihat. Saya ada suami dan anak kecil di rumah, bagaimana bisa menjadi contoh yang baik? Tapi alhamdulillah semua baik-baik saja” kisahnya panjang lebar. Saya hanya manggut-manggut mengiyakan.

Tidak hanya satu kali ini saya mendengarnya selalu mengucapkan syukur di setiap kesempatan, di setiap cobaan yang menghimpitnya.
“Lalu kedua anak saya terkena sakit chicken pox. Jadi dalam satu bulan, ujian ini berturut-turut datang. Tapi alhamdulillah, sakit cacar mereka tidak terlalu parah karena sudah pernah divaksin. Bahkan dokter membolehkan mereka tetap sekolah kalau mau, ” katanya.

Saya tercengang. Bagaimana mungkin saya yang tinggal di sebelahnya tidak tahu kejadian-kejadian ini? Saya jadi malu sendiri. Saya minta maaf kepadanya karena tidak mendengar musibah yang menimpanya, tidak ada yang memberitahu. Mungkin dia merasa tidak enak kalau harus memberitahu orang lain yang bukan dari satu negara? Entahlah.

Sedangkan saya? Kalau ada musibah yang menimpa keluarga saya, pasti sudah banyak teman-teman yang saya kabari karena minta mereka turut memberi dukungan dan doa. Atau minta mereka untuk “mengerti” kondisi sulit yang sedang saya hadapi. Padahal mungkin banyak orang lain yang lebih berat penderitaannya tetapi tidak heboh seperti saya.

Sudahkah dari lisan saya selalu keluar pujian dan ungkapan syukur kepada Allah SWT tidak hanya ketika mendapat kesenangan tetapi juga ketika musibah datang menerpa? Sudah sepatutnya mulai hari ini saya mengucapkan syukur di setiap peristiwa suka dan duka yang saya alami, karena Allah SWT Maha Mengetahui apa yang terbaik buat hamba-Nya.

…..Bila dia mendekat kepadaKu sejengkal Aku mendekat kepadanya sehasta, bila ia mendekat kepadaKu sehasta Aku mendekat kepadanya sedapa, bila dia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat. (HR Bukhari-Muslim).

Jeddah, Jumada Al-Akhir 1429H