Doa Sang Ibu

Ta’yin, mungkin istilah ini mirip sidang meja hijaunya jenjang strata satu di sini. Biasanya kalau kuliah di indonesia, sebagai tugas akhir tahun mahasiswa, ada buat semacam karya tulis yang disebut skripsi. Dan skripsi ini merupakan laporan hasil kerja yang pernah dilakukan, untuk mengamati dan menganalisa sebuah masalah kemudian mencari solusinya. Semua ini dikemas dalam tulisan, kemudian dibukukan lalu disidangkan dihadapan beberapa dosen penguji untuk dipertanggungjawabkan atas kebenaran tulisan tersebut.

Kalau di sini, yang begituan tidak ada. Memang sedikit beda dengan yang lain. Lebih banyak nggak wajibnya, nggak seperti di indonesia. Konon, katanya kawan-kawan yang belajar di dalam negeri, di universitas manapun, yang namanya mahasiswa pasti akrab banget dengan paper, makalah, persentase kehadiran, dan skripsi. Malah kebanyakan di sana itu sering buat makalah-makalah. Katanya untuk membiasakan mereka menulis skripsi nantinya. Lagian memang, apa artinya mahasiswa kalau nggak bisa nulis. Dimana-mana orang pintar bisa nulis. Itu upaya dirinya dalam memiindahkan pengetahuan kepada khalayak ramai yang disaji dalam bahasa tulisan. Makanya, supaya ide-ide itu berkembang lebih cepat di masyarakat, perlu keahlian menulis.

Di Azhar, khususnya buat strata satu, yang wajib itu cuma dua. Pertama, harus hadir ijroat buat karneh dan bayar rusum. Kedua, ujian tahriri (tulisan ) dan syafahi (lisan). Selebihnya sunnah, kayak muhadharah (hadir kelas) dan buat bahas (paper/makalah). Jadi walaupun sudah tercatat sebagai mahasiswa, mau masuk kelas dengar ceramah dosen atau tidak, terserah. Terus kalau ada tugas bahas, mau ngumpulin bagus, tidak ngumpul juga nggak apa-apa. Sampe-sampe bagi sebagian wafidin yang negaranya bertetanggan dengan mesir, mereka baru ada di mesir sewaktu ujian aja.

Asal diktat udah ditangan, mereka cukup menguasainya, terus ujian. Kalau bagus jawabannya, berarti najah (lulus). Kalau tidak, ya rasib (gagal).

Setiap tahun kan ada dua ujian, tahriri dan syafahi. Nah, khusus tahun empat, karena dianggap ini tahun akhir, maka ada dua maddah (mata kuliah ) yang disyafahikan, tapi istilahnya ta’yin. Jadi, dosen nyuruh baca dari halaman sekian sampai sekian, kemudian sewaktu ujian baru disuruh jelaskan apa yang kita baca. Dan ta’yin ini biasanya diambil dari buku-buku turost, karya ulama klasik dulu.

Tidak banyak sih, paling cuma tiga lembar. Tapi, ya itu tadi, karena buku itu di tulis dengan gaya bahasa arab tempo dulu jadi lebih memeras otak bacanya. Belum lagi gaya tulisannya yang sayarat mantiqi, banyak dhamir (kata ganti). Singkat tapi padat. Itulah yang bikin waswas, kalau-kalau dosen pengujinya syadid alias killer, bisa-bisa ditanya sedetail mungkin. Mulai dari nama pengarang, I’rab matan, nama pensyarah dan perbedaan ulama terhadap masalah yang ada.

Entah kenapa, hari itu benar-benar gerogi. Padahal persiapanku lumayan matang. Tapi khawatir aja, ta’yin yang diujikan nggak terjawab. Satu jam udah berada di kawasan kampus. Dada masih berdegup kencang. Dan, satu yang terlintas dalam benakku. Ibuku yang ada di Indonesia. langsung kuambil handphone, kukurim sms ke ibu, dibalasnya dengan penuh optimis. Walhasil, sewaktu dosen menanya, serasa ada kekuatan sendiri yang menggerakkan lidah ini untuk menjawab dengan lancar semua pertanyaan yang diajukan dosen. Alhamdulillahi rabbil alamin.

Pernah satu kali baginda nabi Muhammad saw ditanya tentang siapa orang yang paling harus mendapat perlakuan baik. Lalu dia menjawab “ibumu”. Kemudian siapa lagi, jawab beliau “ibumu”. Kemudian siapa lagi, jawab beliau “ibumu”. Setelah itu barulah beliau menjawab “bapakmu.

Dari sini diketahui, dalam linkup berbuat baik pada kedua orang tua, antara ibu dengan bapak adalah tiga banding satu. Artinya bahwa kedudukan ibu lebih mendapat perioritas untuk lebih dihormati dan disayangi. Sampai-sampai kemuliaan seorang ibu menjadi kiasan di bawah telapak kakinya surga itu ada.

Ibu yang mengandung sembilan bulan sepuluh hari. Dalam keadaan lemah bersangatan. Kemudian setelah melahirkan mengasuh, mengayomi dan lain sebagainya. Ibu jugalah kawan bermain paling dekat bagi seorang anak. Maka wajar, ikatan emosional dan jiwa antara ibu dan anak itu diibaratkan satu kesatuan rasa. Tidak jarang sang ibu mampu merasakan apa yang terjadi pada si anak. Maka, orang sering bilang, jangan melawan sama ibu, karena setiap kata-kata yang terlontar darinya adalah doa.

Kemuliaan ibu, adalah keberkahan hidup seseorang. Di sanalah kuncinya. Mungkin inilah diantara berkah hidup yang pernah saya lihat dalam keluarga kami. Bapak saya misalnya, adalah tipe figur laki-laki ideal pertama yang pernah ada. Ia pekerja yang ulet, sayang sama isteri dan anak-anaknya. Juga peduli sama adik-adiknya. Setiap, penghasilannya selalu disisihkan untuk ibu dan adik-adiknya.

Dulu ,kebiasaan bapak mengantar sebagian gajinya ke tempat nenek, awalnya sempat membuat diriku bertanya-tanya. Mungkin waktu itu aku juga masih kecil, kisaran usia sepuluh tahun, jadi mungkin masih belum paham. Terkadang sering ku lihat mamah komplain, kenapa bapak sering ke tempat nenek kalau masa gajian. Dan menyisihkan sebagian gajinya untuk keperluan hidup nenek juga adiknya yang tinggal serumah. Tapi, di situlah keberkahan terus mengalir. Hingga satu ketika, mamah baru faham setelah mendengar ustad yang menjelaskan bagaimana seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, meskipun ia telah berkeluarga dan menjadi kepala rumah tangga. Satu, yang masih teringat dipikiran saya, ketika mamah meceritakan kembali apa yang didapatnya dari ustad tersebut. Karena bakti seorang anak kepada ibu angan mengantarkan dia menuju kesuksesan hidup. Sebab doa ibu akan selalu menyertai setiap langkahnya. Dan ini terbukti, alhamdulillah dari sekian famili yang ada keluarga kami, bapak lah satu-satunya anggota keluarga yang lumayan bisa tersenyum menjalani hidup, ketimbang saudara-saudaranya yang lain.

Doa orang tua, terkhusus ibu adalah doa yang paling mujarab. Maka dari itu, salah satu kesuksesan seseorang bergantung pada seberapa ridha ibunya terhadap dirinya. Sampai-sampai dalam legenda, ada yang menceritakan saking kesalnya seorang ibu, si anak bisa dikutuk jadi batu seperti kisah malingkundang. Kalaulah saja, rasul mengatakan ridha Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua, itu artinya berhasil atau tidak hidup di dunia ini, adalah ibu juga punya andil cukup besar di dalamnya.

Betapa bahagia seorang ibu, melihat anaknya berhasil. Apalagi, rasa bakti seorang anak yang begitu besar tercurah untuk sang ibu. Sehingga, tanpa harus diminta untuk mendoakan, setiap langkah perjalanan si anak akan selalu diiringi doanya.
Rabbighfirli waliwalidayya warham huma kama rabbayani shagira