Dokterku Bercerita

Masa kecil terekam indah di benakku. Indah untuk di kenang, dijadikan penyemangat dikala hati tersaput mendung, dan sebagai barometer kesyukuran yang tak boleh di lupakan.

Kenangan indah seorang dokter, membuat anganku selalu tersapu kehangatan. Gadis kecil dengan pakaian yang jauh dari kepantasan, beralaskan sandal jepit yang usang di makan usia Walau demikian dia tetap mendapatkan sapaan yang menghangatkan tubuh dikala sakit, rengkuhan kasih memancarkan rasa sayang yang dalam.

Pakaian yang putih tanpa noda selalu dikenakan oleh dokter itu. Kemanapun pergi selalu dengan mobilnya yang berbau wangi. Perfect! Itulah yang dirasakan kala itu.

Dokter itu, telah membuat gadis kecil tersebut tersentuh sangat dalam, hingga dalam mimpi pun dia bersamanya. Memendam segala apa yang dirasakannya, dan meletakkan disudut hatinya : “Aku ingin jadi dokter!”.

Gadis itu adalah aku. Mimpi itu memang tak jadi kenyataan. Nilai-nilai dan rasa kemanusiaannyalah yang kurekam kuat dan membuat aku selalu berkaca betapa tulusnya dia pada seseorang yang sebenarnya bukan keluarganya.

Setelah menikah dan punya anak, aku menambah penilaian itu dengan sedikit kalkulasi keuangan. Jadi dokter sangat “enak”, Uang mengalir bagaikan air. Pasien yang datang tak terhitung. Akupun menambah kembali memori yang tersimpan rapi di hatiku.

“Senang jadi dokter ya bu, banyak materi yang di dapatkan!” Pada suatu kesempatan aku menanyakannya.

“Dibilang enak, ya enak juga. Ini adalah dedikasi kami sebagai dokter. Jangan hanya melihat materi!”

Dokter yang kusapa itu tersenyum lebar, dan mengatakan : “Ah…Ibu ini ada-ada aja pertanyaannya”. Karena aku juga menyinggung banyaknya pasien yang datang pada malam itu yang jika dikalkulasi bisa setengah bulan gaji suamiku.

Kebetulan dokter langganan anakku itu suka sekali bercerita, jadi kami tidak sungkan menanyakan apapun, termasuk keluarganya. Selain konsultasi, juga aku jadikan menimba ilmu disetiap kunjungan.

Kunjungan ke dokter menghasilkan dua keuntungan, seperti pepatah : Sekali mendayung, dua buah pulau terlampaui.

Ilmu itu tidak harus hanya tentang agama, tapi juga tentang semua hal. Apakah itu tumbuhan, masak-memasak atau belajar mendidik anakpun perlu ilmu. Setiap saat kita memerlukan ilmu untuk mengelola keadaan kita, agar kita mampu dan cerdas menyikapi persoalan apapun yang kita hadapi.

Maka benarlah jika didalam Al-Qur’an di beritahukan : Maka apakah sama orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?

Dia pun melanjutkan: “Urusan suami dan anak adalah urutan kesekian setelah pasien!”. Ada sedikit kabut dimatanya. Wajahnya pun tertunduk agak dalam. Aku telah mengaduk-aduk isi hatinya. Aku sedikit menyesal menanyakan bagaiamana dia membagi waktunya.

“Jika orang mengetahui bagaimana sibuknya menjadi dokter, mungkin banyak orang tidak mau anaknya menjadi seorang dokter!”.

“Pulang kerumah, ke laur kota ataupun cuti, saya tetap harus menerima telepon. Tidak mengenal waktu. Aku tidak sampai hati menolak pasien yang datang ke rumah, walaupun itu mengganggu istirahatku!”

Jika tolok ukur materi, aku tidak sebanding. Tapi untuk urusan kehangatan sebuah keluarga, aku sangat bersyukur kepada Allah S.W.T. Hingga aku teringat didalam firman Allah dalam Al-Qur’an : “Nikmat yang mana lagikah yang kamu dustakan?”

Ah… betapa enaknya aku ini. Setiap saat aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Bercanda dengan suami dan anak-anak di setiap sore. Nonton bareng di malam hari. All time for my family. It’s make me very happy.

Dokterku, terimakasih atas semuanya.

Penulis adalah Anggota FLP Cab. Sengata
[email protected]