Dua Belas Tahun…

Dua belas tahun ….

Dua belas tahun, Ya Allah….ketika akhirnya KAU menjawab doa ku. Dua belas tahun, Ya Allah…waktu yang KAU berikan untukku agar mempersiapkan diri menerima pengabulan doa MU. Impian, harapan, cita-cita yang tersimpan jauh di lubuk hati yang terdalam selama dua belas tahun, akhirnya muncul ke permukaan, menjadi sebuah kenyataan.

Menyandang status sebagai seorang mahasiswa, mungkin bagi kebanyakan orang adalah hal yang biasa. Sebagian orang malah termuak-muak dengan predikat mahasiswa abadi. Pun, ada sebagian orang yang benci menjadi mahasiswa karna sebuah keterpaksaan. Tapi tidak bagiku…

Dua belas tahun yang lalu, ketika, dengan penuh perjuangan dan pengorbanan orang tua, aku bisa menyelesaikan SLTA, telah ku pendam jauh-jauh impian untuk meneruskan pendidikan ke bangku kuliah. Kenyataan yang terhampar dihadapanku menyadarkan aku ada hal-hal yang lebih penting untuk di lakukan. Orang tua yang sudah tak mampu lagi mencari nafkah, membuat kakak tertua terpaksa drop out dari sekolah ketika masih SD. Kakakku menangis berhari-hari minta pergi ke sekolah sebelum akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa dia hanya bisa mengikuti dengan teman-temannya sampai ke gerbang sekolah.

Beasiswa demi beasiswa membantuku tetap bertahan menikmati manisnya pendidikan hingga tamat SLTA. Bukan…bukan beasiswa untuk siswa berprestasi yang aku terima, karna aku tak termasuk dalam kategori itu, tetapi beasiswa bagi anak-anak miskin adalah kategoriku. Ah, tak mengapa…tak perlu malu karna itu toh bukan suatu aib, malah sebuah berkah yang harus di syukuri.

Dan aku masih mempunyai adik yang juga butuh pendidikan. Hal itu membuatku ingin cepat-cepat lulus sekolah dan membantu nafkah keluarga. Ku lihat orang tua ku semakin megap-megap dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Rumah kontrakan yang harus di bayar, harga sandang pangan kebutuhan pokok yang tak pernah kompromi, membuatku tak bisa menikmati masa-masa yang sering di sebut masa remaja yang paling indah. Sekolah sambil bekerja sebagai PRT adalah kegiatan yang aku jalani pada usia SMA. Usia yang dihabiskan oleh teman-teman sebayaku untuk bergaul, bergembira ria menikmati masa remaja yang ceria. Tapi, untuk apa aku melihat mereka yang nasibnya lebih baik dariku, membuat hati ini kotor saja. Masih banyak orang yang nasibnya tak seberuntung aku. Aku masih bisa sekolah, masih bisa makan cukup, dan masih banyak nikmat yang patut di syukuri ketimbang mengeluh.

Ketika tiba saat kelulusan sekolah, sementara teman-temanku, sibuk mengisi formulir UMPTN, aku juga sibuk mencari pinjaman koran untuk mencari iklan lowongan pekerjaan. Seringkali aku ikut menemani sahabatku ke kampus-kampus megah untuk mengurus pendaftaran. Senang rasanya hati ini berada di dalamnya, melihat orang-orang sibuk lalu lalang membawa tumpukan buku-buku. Wajah-wajah cerdas yang bahagia, pikirku. Dan kembali ku hibur diri ini dengan berkonsentrasi penuh mencari pekerjaan. Aku bertekad kuat untuk mengambil alih peran kedua orang tuaku dalam mencari nafkah, sambil berharap bisa menyisihkan sedikit tabungan agar menjadi bagian dari orang-orang berwajah cerdas itu.

Bersama kesulitan ada kemudahan. Alhamdulillah, tak lama kemudian aku mendapat pekerjaan di sebuah toko. Mulai ku jalani hari demi hari dengan penuh kesungguhan menjemput rejeki. Ku coba menyisihkan penghasilan untuk sebuah impian yang tersimpan di hati, namun adikku lebih membutuhkannya. Jalannya masih sangat panjang. Dia baru kelas 5 SD waktu itu dan aku tak ingin dia bernasib sama seperti abangku, kandas di tengah jalan. Adikku adalah tanggung jawabku. Maka, aku pun merasakan apa yang di rasakan oleh orang tuaku, betapa mahal biaya pendidikan. Tidak…aku tidak boleh menyerah. Adikku tak boleh sampai putus sekolah sebelum tamat sekolah.

Kembali ku kubur jauh-jauh impian itu setiap kali muncul ke permukaan. Pernah suatu saat, tanpa terasa air mata ini meleleh ketika aku duduk di halte depan sebuah kampus besar. Aku membayangkan menjadi salah satu di antara mereka dengan dandanan lucu karena sedang menjalani masa ospek awal tahun pelajaran. Duhai alangkah senangnya…

Tahun demi tahun aku bekerja, berusaha untuk keluar dari jerat kemiskinan, berusaha memperbaiki taraf perekonomian keluarga, berusaha menahan berbagai keinginan agar dapat menyisihkan sedikit rejeki untuk sebuah impian di hati. Ketika aku merasa simpananku sudah cukup untuk mewujudkan impian itu, ada keperluan lain yang muncul. Urgensi akan sebuah rumah kecil milik sendiri kemudian menjadi obsesiku. Tak mau terus menerus menjadi “kontraktor”, di tagih-tagih setiap bulannya membuat aku bermimpi akan sebuah rumah. Kembali, impian kuliah tenggelam …

Dan, dua belas tahun berlalu. Tiba saat impian itu benar-benar muncul ke permukaan dan menjelma menjadi sebuah kenyataan.

Saat ku tengok kembali ke masa lalu, rasa syukur tak terperi memenuhi rongga dadaku. Ternyata Allah mempunyai rencana, dan rencana itu terwujud indah pada pada waktunya. Allah mempersiapkan segalanya bagiku. Ketika adikku sudah bisa mandiri, ketika kami tak harus menumpang kontrakan lagi, ketika orang tuaku sudah tak perlu lagi membating tulang mencari nafkah, kini Allah mempergilirkan waktu bagiku untuk mewujudkan impianku

Alam semesta adalah kampus besar dan Allah adalah dosen tunggalnya. Dan DIA mengajarkan segala hal dengan sifat Rohman dan Rahim NYA, hanya untuk mereka yang mau membuka mata hati.

Duhai Allah, dua belas tahun adalah waktu yang KAU berikan bagiku untuk mempersiapkan diri menerima jawaban doa dari MU.

Dan bagaimana dengan doa ku yang lain, Ya Allah? (yang itu, tuuu….) Kapan dan bilakah KAU menjawab NYA…

“Allah tidak selalu memberi apa yang kita minta, tetapi DIA memberi apa yang kita butuhkan. “

.