Dunia Lain di Luar Dunia Kecilmu

Entah mengapa, engkau memilih untuk tidak bercerita. Padahal, sebagaimana kudengar isteriku bercerita, engkau tercekat ketika mengunjungi rumah salah seorang teman TK mu.

Apakah karena telah kau temukan dunia lain di luar dunia kecilmu?

Ya, aku, ayahmu, tahu, engkau pasti tak pernah menyangka bahwa kawan bermainmu itu tinggal di rumah luar biasa sederhana. Di ruang tamunya terhampar alas tidur tipis, sementara berbagai macam barang loakan berserakan.

Aku tahu engkau terperanjat, karena mungkin selama ini engkau tinggal di rumah nan lapang, dengan segala barang yang berkecukupan.

Sayangku, barang kali selama ini engkau menduga bahwa setiap rumah adalah seperti rumahmu. Bahwa setiap segala fasilitas yang biasa kau nikmati juga dinikmati oleh kawan-kawanmu.

Engkau terheran-heran, ya, aku bisa mengerti. Dalam rentang usiamu yang begitu muda, mungkin sulit bagimu untuk memahami mengapa ada anak yang begitu tidak memiliki apa-apa.

Rumah buruk yang kau saksikan sebagai tempat tinggal sahabatmu itupun bukanlah rumahnya. Mereka hanya meminjamnya, dengan membayar pula. Kami, orang dewasa, menyebut itu mengontrak.

Mungkin sulit bagimu memahami, bahwa sekolah bagi sebagian sahabatmu adalah suatu kemewahan. Jangankan jutaan rupiah, angka ratusan ribu pun terdengar mengerikan bagi mereka.

Mungkin tak terbayang olehmu, anak sebayamu harus merelakan waktu bermainnya untuk mengais-ngais sampah, mencari barang-barang bekas yang masih dapat dijual kembali dengan harga tidak seberapa.

Mungkin kau akan bertanya, mengapa?

Maaf sayangku, aku tak hendak mengajakmu tenggelam dalam filosofi yang rumit ini. Biarlah kau sekedar memahami terlebih dahulu, bahwa ada kenyataan-kenyataan lain yang selama ini mungkin luput dari keseharianmu. Biarlah. Aku tak hendak memaksamu.

Inginkah kuceritakan kisah anak-anak rimba yang berjalan-jalan di kota? Ini adalah cerita yang ayah baca dari tulisan tante Helvy, tentang Butet Manurung. Tante Butet adalah sahabat ayahmu ketika SMA. Tante Butet sudah beberapa lama tinggal di pedalaman hutan, mendidik anak-anak rimba suku anak dalam. Apa yang dikatakan anak-anak rimba yang selama ini tinggal di pedalaman hutan, ketika mereka berjalan-jalan di kota?

Saat jalan berkeliling, mereka melihat orang-orang yang berdesak-desakan di dalam bis kota hingga bis tersebut cenderung miring. Di sisi lain, mereka melihat banyak pula mobil mewah berseliweran tanpa penumpang alias hanya satu orang dalam satu mobil.

Dengan polos mereka bertanya pada tante Butet yang bunyinya kurang lebih begini, “Bu Guru, mengapa orang-orang itu harus berdesak-desakan dalam kendaraan roda empat yang besar itu, hingga susah bernapas?”

“Bu Guru, mengapa orang yang lain naik mobil kosong itu sendirian? Padahal banyak tempat bisa digunakan untuk orang-orang yang berdesakan itu?”

Tante Butet menjelaskan pada anak-anak didiknya tentang masyarakat kota yang berbeda, termasuk dalam hal ekonomi. Ada yang mampu membeli mobil pribadi dan ada yang hanya mampu naik bis beramai-ramai. Ada yang mobil pribadinya bahkan lebih dari tiga.

“Boleh kami minta mobil pribadi itu satu?” tanya salah seorang muridnya.

Dan sebelum Butet menjawab, sang murid sudah berseru meminta mobil pada seorang pengendara mobil di perempatan lampu merah. “Minta mobilnya satu saja!” teriaknya dengan bahasa rimba. “Minta, untuk dipakai orang banyak!”

Sang pengemudi kebingungan.

Tante Butet menggeleng, membelai kepala murid-muridnya. “Jangan, ” katanya tersenyum.

“Orang-orang kota tidak adil!”

“Orang kota tidak suka bersama!” kata muridnya yang lain.

“Mengapa naik mobil sendiri? Kenapa tidak mengajak yang lain?”

“Ya, kenapa tidak berbagi?”

“Saya lebih suka di hutan!”

Begitulah.

Anakku, mungkin engkau bertanya, mengapa Allah berkehendak membedakan pembagian nikmat?

Aku menjawab, agar engkau dapat mensyukuri apa yang engkau miliki, dan agar engkau dapat berbagi.

Allah hendak mengajarkan, banyak cara meraih kemuliaan. Kemiskinan – biarlah kita menyebutnya demikian – bukanlah suatu aib. Dengan kesabaran dan senantiasa prasangka baik kepadaNya, adalah jalan menuju kemuliaan. Kekayaan pun demikian. Orang kaya tidaklah dengan sendirinya mulia. Kerelaannya untuk berbagilah yang menjadi jalan menuju kemuliaan.

Ah, mungkin engkau tidak terlalu memahami apa itu kemuliaan. Baiklah kujelaskan secara lebih sederhana. Apa yang kau rasakan setiap kali engkau berbuat baik, entah membantu ibumu, atau mengalah dengan adikmu, atau berbagi mainan dengan kakakmu? Engkau tentu merasakan kebahagiaan. Jika perbuatan-perbuatan baikmu telah menjadi kebiasaan bagimu, itulah kemuliaan. Itulah yang Allah harapkan darimu.

Dan akupun tersenyum ketika engkau merelakan sepatumu yang sudah kekecilan untuk dipakai oleh sahabatmu itu.

Sabruljamil.multiply.com