Dzikir Cinta Sang Buruh Migran

Laki-laki itu sekarang sudah ada di kampungnya, di tanah kelahirannya. Ia telah kembali berkumpul dengan isteri dan anaknya, setelah dua tahun lebih ia tinggal merantau di negri seberang.

Kalau melihat dari sisi ekonomi, ia bukanlah sosok buruh migran yang sukses. Ketika banyak temannya yang sudah bikin rumah bagus, mempunyai modal untuk usaha, punya kendaraan -minimal sepeda motor-, ia tak termasuk ke dalamnya. Pendek kata, ia tak berhasil merubah kondisi ekonomi keluarganya.

Malu kepada tetangga di kampungnya? Atau merasa ada beban mental yang mendalam karena tak sukses sebagai buruh di luar negri? Atau ia putus asa dengan semua cita-citanya yang selalu kandas?

Sebagai manusia biasa, ia sempat juga mempunyai rasa seperti itu. Malu dan beban mental sempat menghinggapi kepalanya. Namun, semua itu segera terpatahkan ketika mengingat kembali penderitaannya bekerja di luar negri.

Banyak sekali hikmah, yang ia dapat dari hasil pergulatannya hidup bersama majikan yang keras kepala. Hatinya tertempa dengan begitu banyak masalah, namun menghasilkan sebuah pemikiran dan perenungan yang sangat dalam.

Lelahnya mengurus administratife ketika mau berangkat dengan PJTKI daerahnya, kondisi pekerjaan yang sama sekali tak mematuhi aturan buruh Internasional, sikap majikan yang sangat sering tidak memanusiakan pekerja, gaji tak dibayarkan semua saat kontraknya sudah habis, adalah ‘jamu’ kehidupan yang harus ia telan.

Ia yang semua cita-citanya kandas, sering berujung menjadi sebuah episode kehidupan yang sangat menyakitkan. Usahanya ke luar negripun nyaris hanya pulang nama saja. Dua tahun lebih di negri Sultan Bolkiah, tak ada perubahan ekonomi yang signifikan.

Laki-laki itu sekarang mencoba bangkit lagi. Ia tak ada niat untuk kembali bekerja di luar negri. Sisa uang yang masih ada dalam tabungannya, segera digunakan untuk membikin sebuah kamar dan dapur untuk tempat tinggal. Ia tak mau lagi berlama-lama hidup serumah dengan mertua, karena sudah mempunyai anak.

Pengalaman menghadapi hidup susah di negri orang, ia praktekan di negri sendiri. Setiap kali mendapat kesusahan, ia hanya mengadu kepada sang Kuasa. Di tanah air, sekarang ia betul-betul pasrah padaNya. Setiap saat ia berusaha mengingatnya. Sebab ia merasa bahwa ia bisa bertahan sampai masa satu kontrak lebih di Brunei, bukan karena apa-apa, tapi karena dzikir cintanya kepada Allah.

Laki-laki itu sekarang makin menyadari tentang dirinya. Ia makin sadar, bahwa Allahlah pemberi rizki yang sejati. Sekarang ia tak lagi menyia-nyiakan waktu. Ia mengerjakan apa saja yang merasa bisa ia kerjakan. Sekarang ia tak pernah menganggur, walaupun secara formal ia tidak bekerja layaknya orang lain.

Ia kembali mengajar anak-anak di lingkungannya, walaupun tak ada yang menggaji. Ia juga menjadi fasilitator pendidikan agama bagi orang-orang tua di lingkungannya, walaupun tak ada satu mahlukpun yang memberi imbalan.

Sekarang ia super sibuk, ia tak mau menjadi pengangguran. Ia sering mengutip kalimat seorang ulama; bahwa setiap kebaikan adalah amrullah, perintahnya. Kebaikan tak harus sesuatu yang dilihat orang. Menyingkirkan duri di tengah jalan, meminjami payung kepada mereka yang kehujanan, menolong anak kucing yang masuk got, adalah kebaikan juga. Dan ternyata kebaikan selalu ada di sekelilingnya.

Dulu, ia pernah bercita-cita ingin jadi wartawan, tapi kandas. Dan hasrat jurnalistiknya sekarang bisa tersalurkan dengan seringnya ia menulis untuk beberapa media.

Dulu, ia punya cita-cita jadi seorang guru atau dosen, tapi juga tak kesampaian. Sekarang kesenangannya dengan dunia pendidikan, ia salurkan dengan mengajar anak di sore hari, dan orang-orang tua di malam hari dan pagi hari selesai shalat subuh.

Ia makin tenang menjalani hidup, walaupun pas-pasan. Ia juga makin menyadari bahwa ternyata rizki tak pernah berhenti menyapanya. Ada saja rizki yang diberikan Allah lewat jalan yang tak pernah disangkanya.

Ketika rumah mungilnya bocor karena belum mampu membeli seng, ternyata ada yang membantunya membelikan seng. Ketika ia sangat butuh motor untuk aktifitasnya yang makin padat, ternyata ada juga yang mau meminjami uang untuk membeli motor.

Laki-laki itu sekarang terus belajar meningkatatkan kedekatannya kepada sang pencipta. Ia terus memompa semangatnya untuk mencintai Allah. Pengalaman pahitnya sebagai buruh migran, diubahnya menjadi dzikir cintanya kepada Yang Maha Esa.

***
Purwokerto, April 08 < [email protected] >

Dzikir Cinta Sang Buruh Migran

Laki-laki itu sekarang sudah ada di kampungnya, di tanah kelahirannya. Ia telah kembali berkumpul dengan isteri dan anaknya, setelah dua tahun lebih ia tinggal merantau di negri seberang.

Kalau melihat dari sisi ekonomi, ia bukanlah sosok buruh migran yang sukses. Ketika banyak temannya yang sudah bikin rumah bagus, mempunyai modal untuk usaha, punya kendaraan -minimal sepeda motor-, ia tak termasuk ke dalamnya. Pendek kata, ia tak berhasil merubah kondisi ekonomi keluarganya.

Malu kepada tetangga di kampungnya? Atau merasa ada beban mental yang mendalam karena tak sukses sebagai buruh di luar negri? Atau ia putus asa dengan semua cita-citanya yang selalu kandas?

Sebagai manusia biasa, ia sempat juga mempunyai rasa seperti itu. Malu dan beban mental sempat menghinggapi kepalanya. Namun, semua itu segera terpatahkan ketika mengingat kembali penderitaannya bekerja di luar negri.

Banyak sekali hikmah, yang ia dapat dari hasil pergulatannya hidup bersama majikan yang keras kepala. Hatinya tertempa dengan begitu banyak masalah, namun menghasilkan sebuah pemikiran dan perenungan yang sangat dalam.

Lelahnya mengurus administratife ketika mau berangkat dengan PJTKI daerahnya, kondisi pekerjaan yang sama sekali tak mematuhi aturan buruh Internasional, sikap majikan yang sangat sering tidak memanusiakan pekerja, gaji tak dibayarkan semua saat kontraknya sudah habis, adalah ‘jamu’ kehidupan yang harus ia telan.

Ia yang semua cita-citanya kandas, sering berujung menjadi sebuah episode kehidupan yang sangat menyakitkan. Usahanya ke luar negripun nyaris hanya pulang nama saja. Dua tahun lebih di negri Sultan Bolkiah, tak ada perubahan ekonomi yang signifikan.

Laki-laki itu sekarang mencoba bangkit lagi. Ia tak ada niat untuk kembali bekerja di luar negri. Sisa uang yang masih ada dalam tabungannya, segera digunakan untuk membikin sebuah kamar dan dapur untuk tempat tinggal. Ia tak mau lagi berlama-lama hidup serumah dengan mertua, karena sudah mempunyai anak.

Pengalaman menghadapi hidup susah di negri orang, ia praktekan di negri sendiri. Setiap kali mendapat kesusahan, ia hanya mengadu kepada sang Kuasa. Di tanah air, sekarang ia betul-betul pasrah padaNya. Setiap saat ia berusaha mengingatnya. Sebab ia merasa bahwa ia bisa bertahan sampai masa satu kontrak lebih di Brunei, bukan karena apa-apa, tapi karena dzikir cintanya kepada Allah.

Laki-laki itu sekarang makin menyadari tentang dirinya. Ia makin sadar, bahwa Allahlah pemberi rizki yang sejati. Sekarang ia tak lagi menyia-nyiakan waktu. Ia mengerjakan apa saja yang merasa bisa ia kerjakan. Sekarang ia tak pernah menganggur, walaupun secara formal ia tidak bekerja layaknya orang lain.

Ia kembali mengajar anak-anak di lingkungannya, walaupun tak ada yang menggaji. Ia juga menjadi fasilitator pendidikan agama bagi orang-orang tua di lingkungannya, walaupun tak ada satu mahlukpun yang memberi imbalan.

Sekarang ia super sibuk, ia tak mau menjadi pengangguran. Ia sering mengutip kalimat seorang ulama; bahwa setiap kebaikan adalah amrullah, perintahnya. Kebaikan tak harus sesuatu yang dilihat orang. Menyingkirkan duri di tengah jalan, meminjami payung kepada mereka yang kehujanan, menolong anak kucing yang masuk got, adalah kebaikan juga. Dan ternyata kebaikan selalu ada di sekelilingnya.

Dulu, ia pernah bercita-cita ingin jadi wartawan, tapi kandas. Dan hasrat jurnalistiknya sekarang bisa tersalurkan dengan seringnya ia menulis untuk beberapa media.

Dulu, ia punya cita-cita jadi seorang guru atau dosen, tapi juga tak kesampaian. Sekarang kesenangannya dengan dunia pendidikan, ia salurkan dengan mengajar anak di sore hari, dan orang-orang tua di malam hari dan pagi hari selesai shalat subuh.

Ia makin tenang menjalani hidup, walaupun pas-pasan. Ia juga makin menyadari bahwa ternyata rizki tak pernah berhenti menyapanya. Ada saja rizki yang diberikan Allah lewat jalan yang tak pernah disangkanya.

Ketika rumah mungilnya bocor karena belum mampu membeli seng, ternyata ada yang membantunya membelikan seng. Ketika ia sangat butuh motor untuk aktifitasnya yang makin padat, ternyata ada juga yang mau meminjami uang untuk membeli motor.

Laki-laki itu sekarang terus belajar meningkatatkan kedekatannya kepada sang pencipta. Ia terus memompa semangatnya untuk mencintai Allah. Pengalaman pahitnya sebagai buruh migran, diubahnya menjadi dzikir cintanya kepada Yang Maha Esa.

***
Purwokerto, April 08 < [email protected] >