Kesadaran dan Keikhlasan Menjalankan Peran

Baru-baru ini aku berkenalan dengan seorang ibu (ibunya teman sekolah anakku). Awalnya, karena baru kenal, obrolan kami hanya seputar hal-hal yang umum saja. Keesokkan harinya, kami berbincang tentang perkembangan anak-anak. Keesokkan harinya lagi , obrolan kami masih seputar perkembangan anak-anak.

Tapi anehnya, dalam setiap bahasan ia selalu mengatakan “Saya kan S2, jadi bla, bla, bla.” Jadi entah sudah berapa kali dalam obrolan kami hari itu ia menyebut “Saya kan S2.” Pada saat itu, kupikir ia hanya berusaha memperlihatkan bahwa ia adalah wanita terdidik. Ia berusaha memberitahu bahwa ia bukan orang “sembarangan”.

Keesokkan harinya, kami berkesempatan untuk bertemu lagi. Ia masih memakai gaya bahasa yang sama seperti kemarin, mengawali pembahasan sesuatu dengan “Saya kan S2”. Mungkin ia takut aku lupa, jadi perlu diulang-ulang. Aku jadi merasa tidak nyaman. Apa pentingnya kita menyebut diri kita lulusan S2 hanya karena kita memasukkan anak kita ke SDIT? Apa pentingnya menyebut diri kita lulusan S2 hanya karena semua anak-anaknya diikutkan kursus Matematika dan Bahasa Inggris sejak TK. Selain nggak penting juga nggak nyambung. Lama-lama aku berpikir, jangan-jangan Ibu ini “Stress”.

Suatu hari, tanpa disangka-sangka, ibu ini menghampiriku, katanya, “Saya perlu bicara, bisa?” sedikit bingung, aku mengiyakan.

Ternyata benar, ibu ini dalam keadaan tertekan. Depresi berat, sampai-sampai ia mengaku pernah berfikir untuk bunuh diri. Masya Allah. Akhirnya, aku undang ibu tersebut untuk silaturahmi ke rumahku, agar ia dapat lebih bebas mengeluarkan isi hatinya.
……

Ia mengawali kisahnya dengan mengatakan bahwa ia adalah anak orang tidak punya, dengan kemauan keras dan dukungan orang tuanya, ia dapat menyelesaikan studi S2-nya. Ia kemudian bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Ia masih bekerja setelah menikah. Namun setelah memiliki anak, ia berhenti bekerja.

Dengan memiliki anak, tentu saja ada pergeseran prioritas dan penambahan tanggung jawab. Sang suami kurang setuju jika ia tetap bekerja. Terlebih, secara materi suami mampu mencukupi. Demi menghargai, menghormati dan mentaati suaminya, iapun berhenti bekerja, sehingga beralih perannya menjadi fulltime mother.

Menjalankan peran sebagai Ibu Rumah Tangga, bagi sebagian perempuan, adalah hal yang biasa, tapi bagi sebagian perempuan lain, merupakan hal yang berat dan memerlukan pengorbanan yang besar. Terlebih, jika perempuan tersebut berpendidikan tinggi dan memiliki jabatan yang lumayan . Seperti contoh kasus diatas.

Konflik batin. Itulah yang mendera hatinya. Di satu sisi, ia menyadari demikian besar hak suami atas dirinya. Karena tidak ada kewajiban yang lebih utama bagi seorang istri setelah ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan ketaatan kepada suaminya. Di sisi lain, ada keinginan besar untuk membantu orangtua karena sangat besar pengorbanan orangtuanya sehingga ia dapat meraih gelar S2nya, pun ia adalah tulang punggung keluarga. Setelah tidak bekerja, tentu saja ia tidak memiliki kebebasan financial. Selain itu, ia merasa jerih payahnya menyelesaikan studi S2-nya menjadi sia-sia.
…..
Menikah adalah “kontrak kerjasama” antara laki-laki dan perempuan untuk membangun sebuah keluarga. Dalam “kontrak kerjasama” tersebut tentu saja tertuang mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Tersirat mengenai beberapa kesepakatan dan kesefahaman.

Dalam “kontrak kerjasama” itu ada hal-hal yang sudah baku dan tertuang secara eksplisit. Yaitu, masing-masing pihak mengetahui dan menyetujui untuk melakukan aturan-aturan dalam pernikahan. Suami berkewajiban mencari nafkah, istri berkewajiban mengurus anak dan hal-hal yang berbau kerumahtanggaan.

Ada pula yang tertuang secara implicit. Biasanya, masing-masing pihak tidak membicarakan atau membahasnya, tetapi saling memahami. Seperti kalau genteng bocor, maka tugas suami untuk mengurusnya, halaman rumah berantakan, maka istri yang bertugas membereskan. Dll.

Nah, selain hal-hal diatas, ada lagi yang namanya “hidden agenda” atau agenda tersembunyi. Keinginan dari salah satu pihak yang ditutupi, kemudian diutarakan setelah pernikahan. Contoh yang extreme adalah suami tidak ingin punya anak misalnya. Sedang contoh yang paling banyak adalah, suami melarang istrinya bekerja, padahal sebelum menikah istrinya adalah wanita pekerja.

Kondisi ini rentan menimbulkan konflik, jika tidak dibicarakan pada saat proses ta’aruf atau di awal-awal pernikahan. Setidaknya Suami menyampaikan harapan bahwa yang ia dambankan adalah seorang istri yang akan selalu ada di rumah ketika ia pulang dari bekerja. Sehingga sang istri dapat memprepare dirinya agar siap menjadi Ibu Rumah Tangga.

Pada kasus teman baru ku ini, suami tidak membicarakan dari awal tentang keinginannya agar sang istri menjadi full time mother. Sedangkan mind set istrinya adalah menjadi wanita karir, karenanya ia berjuang hingga meraih gelar S2nya. Maka, kendati peran sebagai full time mother ia lakukan, ia menjalankannya tidak dengan kesadaranpenuh. Ia jalankan perannya setengah hati. Sehingga yang timbul pada dirinya adalah rasa tidak bahagia menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga.

Inilah yang menjadi problem awal dari kehidupan rumah tangganya yang kemudian menjalar ke mana-mana. Setelah sekian tahun berjalan, ia merasa jenuh dan lelah. Ia merasa bodoh, tidak keren dan tidak berdaya. Akhirnya, timbul kecurigaan-kecurigaan berlebih terhadap suaminya. Yang memperparah keadaan adalah suami tidak sensitive terhadap “masalah” yang dialami istrinya.

Prasangka-prasangkanya terus berkembang. Sehingga masalah-masalah sepele menjadi besar. Melihat suaminya bercanda dengan anaknya yang kebetulan sedang diasuh pembantunya, ia cemburu. Suaminya pergi dinas luar kota, ia panic. Hingga di titik tertentu, ia pernah merasa jelek, tua dan tidak menarik. Ia merasa pilihan menjadi ibu rumah tangga adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Membangun cintra diri yang positif sebagai Ibu Rumah Tangga bukan hal yang mudah. Banyak kaum wanita yang tidak “bangga” dengan perannya sebagai Ibu. Karenanya ketika ditanya apa kegiatan sehari-harinya, banyak kaum ibu yang manjawab,”Saya CUMA Ibu Rumah Tangga.” Padahal, peran sebagai Ibu adalah peran yang sangat mulia untuk melahirkan dan menumbuhkan generasi penerus. Betapa seorang ibu adalah guru pertama dan utama bagi seorang manusia. Bahwa keberadaannya di rumah untuk mengurus rumah tangga, suami dan anak-anak akan dicatat sebagai ibadah kepada Allah Swt.

Tanpa pengelolaan konsep diri yang positif, seorang ibu akan sulit menjalankan perannya dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Tak heran jika lama-kelamaan ibu menjadi stress berat. Bayangkan, pekerjaan rumah yang bertumpuk-tumpuk, seakan-akan tidak pernah selesai. Selesai tugas yang satu, telah menunggu tugas yang lain. Dari mulai mencuci baju, menyetrika, mencuci piring, membereskan rumah, memasak, mengurus anak dll. Padahal kunci untuk dapat menikmati apa yang kita lakukan adalah ketika kita mencintai apa yang kita lakukan. Jika kita mencintai peran kita sebagai ibu, maka kita akan dapat menghargai dan memaksimalkan peran kita tanpa merasa terbebani.

Karenanya, menjadi Ibu haruslah dilakoni penuh kesadaran dan keikhlasan. Tanpanya, kita tidak dapat menikmati peran keibuan kita. Tanpanya, apa-apa yang kita lakukan dalam pemenuhan kewajiban kita sebagai ibu menjadi sia-sia. Jadi, bangun citra diri positif sebagai Ibu dan berbanggalah dengan menjadi Ibu.

Wallahu’alam

Ummuali.wordpress.com