Menjaga Kemuliaan Pasangan Hidup

Bergosip atau ngerumpi menjadi acara yang banyak diminati dan dinikmati banyak orang. Sepertinya ada semacam kebutuhan psikologis bagi sebagian kalangan, terutama kaum hawa untuk ngerumpi. Yang memprihatinkan adalah , bergosip tentang orang lain saja jelas tidak dibolehkan, apalagi bergosip tentang pasangan hidup.

Betapa sering, para istri yang secara sadar dan tidak sadar ngerumpi tentang suami-suami mereka. Terkadang secara terbuka para istri menceritakan tentang sikap dan sifat suami. Dari mulai hal-hal yang remeh temeh sampai kepada hal-hal yang besar dan pribadi. Sehingga, orang yang tadinya tidak “mengenal” suami kita jadi kenal. Akibat buruknya, orang yang tadinya menaruh hormat kepada suami, jadi mencibir. Orang yang tadinya segan terhadap suami, jadi cuek bebek.

Allah sebagai Dzat yang Maha Menciptakan, telah berfirman di surat Al-Baqarah : 187, yang artinya,”…mereka (istri-istri) adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka…”

Betapa indahnya Allah menggambarkan bentuk hubungan suami dan istri yakni layaknya sebuah pakaian bagi pasangannya. Istri adalah pakaian suami, dan suami adalah pakaian istri. Mempersamakan pasangan (suami atau istri) dengan pakaian mengindikasikan bahwa suami atau istri dituntut untuk saling menutupi dan saling melindungi.

Secara garis besar, mungkin kita bisa merumuskan manfaat pakaian adalah;

  1. Sebagai penutup aurat. Menutupi bagian-bagian yang memang tidak bolah terlihat.
  2. Sebagai pelindung. Melindungi tubuh dari sengatan matahari maupun hawa dingin.
  3. Sebagai hiasan. Pakaian juga berfungsi memperindah atau mempercantik pemakainya.

Menutupi dan melindungi. Inilah hal-hal yang sering diabaikan. Bukannya menutupi, kita justru sering membuka dengan menceritakan kepada orang lain tentang pasangan hidup kita. Suamiku tuh orangnya begini atau begitu. Dan lebih sering yang diceritakan adalah hal-hal yang negative. Dari mulai suami yang mata keranjang, galak, pelit dsb.

Alkisah, ada seorang bapak yang cukup dihormati dan disegani baik karena kedudukan di masyarakat maupun kefahamannya tentang agama. Pada suatu ketika, istrinya ngumpul-ngumpul, ngobrol kesana-kemari, ujung-ujungnya saling bercerita tentang suami-suami mereka. Yang cukup mengagetkan adalah, si istri ini bercerita tentang masa kelam suaminya.

Astaghfirullah….janganlah apa yang sudah ditutupi oleh Allah kemudian kita buka-buka, terlebih ini adalah pasangan hidup kita. Sama artinya kita bercerita tentang keburukan kita sendiri. Mungkin, kita memang sering mendengar para ustadz yang terkenal juga ‘menyiarkan’ keburukan-keburukan mereka di masa lalu, tapi niatnya mungkin sebagai ibroh bagi pendengarnya. Kalau kita bercerita keburukan suami? Apa manfaatnya? Justru kita menjatuhkan citra dan nama baik suami kita sendiri.

Istri adalah pakaian suami, dan pakaian berfungsi sebagai penutup aurat. Layaknya penutup aurat, tentunya kita akan merasa malu jika pakaian kita tersingkap. Membicarakan tentang keburukan atau aib suami atau istri, sama saja menyingkap pakaian kita sendiri. Yang berarti kita mempermalukan diri kita sendiri.

Bukan tidak boleh sama sekali bicara tentang pasangan hidup kita. Terlebih jika memang ada masalah yang harus diselesaikan. Tetapi kepada siapa kita membicarakan hal-hal tersebut, itu yang penting. Jika kita terpaksa curhat tentang perilaku buruk suami, maka carilah orang yang berilmu dan dan dapat dipercaya. Sehingga tujuan kita bercerita, sesungguhnya untuk mencari solusi, bukan sekedar memproklamirkan perilaku buruk suami.

Dan satu hal yang penting, jikalau pasangan hidup kita bersifat dan bersikap buruk, jangan “mengadukan” kepada orangtua atau saudara-saudara kita maupun kerabat kita. Karena boleh jadi, kita rukun kembali dengan suami, sementara orang tua atau saudara-saudara kita jadi membenci dan menjadi tidak suka kepada suami. Alangkah baiknya, jika kita justru berkonsultasi atau musyawarah dengan keluarga atau kerabat dari pihak suami, sehingga suami kita tetap terjaga kehormatannya.

Selain sebagai penutup aurat, pakaian juga berfungsi melindungi diri dari cuaca panas yang menyengat maupun hawa dingin yang menggigit. Maka, seyogyannya kitapun melaksanakan fungsi kita sebagai pelindung bagi pasangan hidup kita. Menjaga dari segala fitnah maupun hujatan-hujatan buruk.

Karena tak jarang, bukannya memberi statement positif jika ada “berita” atau “keluhan” tentang suami, kita justru ikut menambah-nambahi atau mengompori. Sebagai contoh, ada seorang ibu bercerita bahwa sepulang dari berpergian, pada suatu sore menjelang maghrib ia melihat suami temannya sedang duduk-duduk di warung kopi.

“Bu NN, aku kemarin kayanya lihat suamimu duduk-duduk di warung kopi dekerumahku.”
“Emang tuh, kebiasaan, pulang kerja bukannya langsung pulang ngopi di rumah malah ngopi di warung. Kadang-kadang pulang abis Isya. Dari dulu emang tukang nongkrong, sudah punya anak istri, kebiasaan enggak berubah.” Jawab bu Nn.

Jikalau kita menyadari pentingnya menjaga kemuliaan pasangan hidup kita, mungkin kita bisa menjawab dengan lebih diplomatis, seumpama “Oh, mungkin suamiku sedang ada keperluan dengan seseorang.” Tidak perlu berbohong (karena memang tidak boleh), tapi juga tidak seterusterang seperti itu dengan mengatakan suami kita tukang nongkrong. Jadi, jagalah nama baik dan kehormatan suami kita dengan menjadi “pakaian” atau “pembungkus” yang baik.

Selain faktor etika yaitu sebagai penutup aurat, memakai pakaian juga berkaitan erat dengan factor estetika. Karenanya, pakaian juga berfungsi memperindah pemakainya. Jika istri adalah pakaian suami, maka istri memperindah suami. Jika suami adalah pakaian istri, maka suami memperindah istri.

Karenanya, jadilah kita pribadi-pribadi yang sholeh dan sholehah, yang dengannya kita dapat memberi keamanan dan kenyamanan bagi pasangan hidup kita. Sungguh indah Allah menggambarkan hubungan suami istri layaknya pakaian bagi pasangannya. Maka, jadilah kita sebagai pakaian bagi pasangan hidup kita yang menutupi, melindungi dan memperindah.

Wallahu’alam

ummuali.wordpress.com