Expecting the Graduation Day

Empat bulan lalu, suaminya tertimpa musibah. Mobil milik perusahaan kakak suaminya, yang waktu itu dikemudikan diserempet kereta api di perjalanan. Alhamdulillah sang suami yang sesudah kejadian tersebut yang sempat ‘trauma’, selamat. Hanya saja mobilnya rusak berat dan sulit untuk direparasi.

Ujung dari kejadian ini, sang suami ternyata harus kehilangan pekerjaan. Si empunya mobil, yang sekaligus pemilik perusahaan tempat dia bekerja, memecatnya. Sang suami yang sudah jatuh, harus ditimpa tangga pula. Bukan hanya sebatas kehilangan kerja. Pesangon yang oleh pemilik perusahaan tersebut semula menjanjikan (End Service Benefit), nyatanya kosong belaka. Katanya, untuk pengganti biaya memperbaiki mobil.

Sepasang suami-istri, orangtua dengan satu anak ini, harus berjuang keras untuk mencari kerja pengganti, guna meneruskan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Sekedar tahu saja, pemilik perusahaan tersebut tidak lain adalah kakak ipar sang suami. Jadi, bukan orang lain yang tidak dikenal!

Dua bulan berlalu sudah. Hanif, sebut saja begitu nama sang suami, berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya: pengalaman serta pendidikan yang dimiliki. Zaman sekarang memang susah. Pekerjaan sulit dicari. Hidup bagi mereka tidak lagi ringan. Anak masih kecil, kebutuhan hidup yang harus dipenuhi sehari-hari juga makin mahal.

Hidup tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Kita memang tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi di kemudian hari. Kalaupun tahu jika keadaan mereka bakal demikian, yang dipakai untuk menabung pun tidak ada. Jadi apa guna mengetahuinya?

Tidak ada jalan kecuali mengharapkan bantuan orang lain. Dalam hal ini sang ibu. Azizah, nama perempuan itu, terpaksa memohon bantuan ibunya yang sebenarnya tidak perlu diminta. Ibu Azizah yang saya tahu, memang luar biasa. Di usia yang merembet kepala enam ini, beliau masih kuat dalam artian mentals. Hidupnya sarat dengan perjuangan dalam melewati masa-masa sulit baik di kala muda maupun sesudah bebas usia kerja.

Hingga saat saya tulis artikel ini, si ibu, yang namanya rumah saja sampai saat ini belum punya. Beliau masih sibuk membantu bukan hanya membesarkan dan menyekolahkan dua anaknya saja yang kini keduanya sudah berumah-tangga. Mereka ternyata belum mendapatkan ‘rejeki’ sebagaimana yang mereka ‘impikan’. Yakni, layak dan mampu, sebagaimana kebanyakan kondisi sosial ekonomi orang-orang yang layak.

 Suatu hari saya iseng tanya kepada ibu Azizah, dari mana mereka mendapatkan dana untuk membayar rumah kontrakannya, di sebuah desa yang berjarak dua kilometer dari jalan raya. Beliau menjawab, dari hasil menggadaikan kalung, buah simpanan waktu masih bekerja dulu. Ibu Azizah memang sekarang sudah pensiun. Sekarang ini, lebih dari separuh pensiun Golongan 2A nya sebagai pegawai negeri, dibagi-bagi dengan anak-anaknya. Rentetannya masih banyak lagi: beli pampers, sayuran, makanan bahkan pulsa HP. Mereka, meski ukurannya kurang mampu, tapi yang namanya komunikasi, setidaknya untuk SMS, seperti kita, tetap butuh kan?

Satu bulan lebih berselang, sesudah kehilangan kerja. Sewaktu saya bertandang silaturahim, mereka belum juga mendapatkan pekerjaan. Kali ini, musibah lain yang menimpa. Ayah si Azizah sakit keras. Tengah malam, sekitar jam 11 harus dilarikan ke rumah sakit (RS). Padahal, jangankan untuk biaya nanti kalau harus mondok dan lain-lain; untuk transportasi ke sana saja saya tidak yakin mereka punya duit. Saya ikut menemani mereka ke bagian gawat darurat di rumah sakit umum di kota kami.

Ayah Azizah sudah lebih dari dua tahun mengalami kegagalan ginjal. Hidupnya bergantung dari sejumlah cairan yang didapat dari ASKES saja. Beruntung, sebagai pegawai negeri, ibu Azizah memiliki Askes ini, sehingga biaya kesehatan yang harus mereka pikul tidak sebesar apabila mereka tidak memilikinya. Meski demikian, duit tetap mereka butuhkan, karena Askes tidak meng-cover seluruh bentuk dan jenis pelayanan kesehatan.

Di rumah sakit, semuanya nampak cemas. Azizah, si kakak, ibu dan suami. Dalam kondisi yang demikian, saya melihat mereka ‘sendiri’. Zaman sekarang ini memang susah dicari orang yang dating menemui kita selagi susah. Apalagi pada malam hari. Wajah-wajah mereka lusuh. Saya hanya menemani hingga jam 12 malam. Lagian waktu itu ada tamu yang Alhamdulillah ikut mengantar bersama kami ke rumah sakit. Tamu saya, orang India, subhanallah, turut berdoa sepanjang perjalanan kami ke rumah sakit malam itu.

Hidup ini memang bukan milik kita. Dua hari dirawat di rumah sakit. Lelaki tua yang berperawakan kurus kering itu, dipanggil ke rahmatullah. Duka kelihatan begitu lengkap di bahu Azizah. Bencana tidak cukup sampai di sini. Dalam kondisi demikian, saya melihat dengan mata kepala sendiri, mengantar jenazah dari RS ke rumah duka, yang berjarak 15 km, bukan gratis. Mereka harus keluar kocek Rp300 ribu. Itu yang saya lihat jelas dari kwitansi yang dibawa oleh suster yang turut mengantarkan jenazah. Di tengah tangis Azizah, saya bisa membaca betapa tidak ringan beban yang harus dipikulnya saat ini.

Bukan pula berhenti di situ. Rumah mereka yang 3 km dari pemakaman memaksakan mereka untuk meminta bantuan mobil PMI guna mengantar jenazah ke Tempat Pemakaman Umum (TMU). Lagian, siapa yang bakal mikul sejauh itu? Ah, lagi-lagi harus keluar biaya. Belum pula yang namanya menyediakan minuman Aqua buat pelayat. Belum lagi menyewa perlengkapan memandikan, yang ini, yang itu…..Betapa mahal hidup ini, hingga ke liang lahat pun nyatanya tidak gratis…..

Parahnya, masyarakat kita barangkali tidak akan mau mengerti bagaimana anggotanya lari dan berlari dalam mengais rejeki. Siapa peduli? Yang kita tahu, sesudah kematian hari ini, ‘harus’ ada selamatan pada hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh dan seterusnya. Bagaimana Azizah dan suaminya harus mengatasi semua ini? Akankah kita sadar bahwa tradisi yang kelihatannya baik dan selama ini kita pertahankan mengakar kuat di tengah masyarakat kita ini, justru melilit leher mereka? Kembali lagi, sedikit sekali yang peduli.

Tiga hari lalu saya sempat menghubungi sang ibu. Dalam perbincangan kami, sesudah beliau salat Isya, saya sempat menanyakan kabar si Azizah. Beliau bilang bahwa dia baru saja pulang dari bertandang ke rumahnya. Dia juga cerita bahwa pecan lalu ada salah satu sepupu suaminya dating dari Jakarta. Menginap dua hari. Sang sepupu sempat memberikan sangu pada anaknya Rp 400 ribu. Sebuah jumlah yang amat lumayan besar buat Azizah. Duit sebesar itu bisa untuk menutupi kebutuhan dapur selama dua pekan kalau mau irit. Pampers misalnya, harus ‘didaur’ ulang.

Si Azizah cerita kalau pagi harinya berangkat ke kantor PLN dengan maksud membayar iuran listrik dan air. Dia piker duit yang ada di dompetnya masih cukup buat membayar iuran yang jumlahnya Rp 60 ribu. Begitu sampai di depan loket pembayaran, dia kaget, ternyata sisa yang ada hanya Rp 40 ribu. Tengok sana, tengok sini, mencari, siapa tahu ada yang dimintai bantuan pinjaman, nyatanya nggak ada. Azizah kembali pulang hampa.

Saat saya telepon lagi kemarin si Ibu cerita pada anaknya bahwa apa yang dialaminya telah disampaikan ke saya. Si Azizah menyesalkan kejadian itu, kenapa si ibu harus bercerita kepada orang lain.

Kabar terakhir yang saya terima tentang Azizah, dia mendapat pekerjaan di sebuah RS di kotanya. Namun sempat bekerja hanya sehari. Ini lantaran manajemen RS tersebut kurang baik. Selain gaji yang sangat minim, hanya cukup untuk transportasi mikrolet, minum pun katanya tidak disediakan bagi karyawan. Bekerja 8 jam sejak jam 7 pagi hingga jam 3 sore tanpa minum, siapa betah? Saya sendiri merasa yang menginterview saja tidak betah, koq nyuruh karyawannya seperti itu? Sementara suaminya, sedang berencana melamar pekerjaan sebagai teknisi di sebuah perusahaan rokok. Ini sudah kesekian kalinya mereka lakukan.

Pembaca….
Hidup ini bagi sementara orang memang terasa sulit sekali. Kita yang biasa hidup dengan berbagai kecukupan, tidak bakal merasakan bagaimana rasanya menghadapi semua ini, sampai kita sendiri yang merasakan. Ada sementara orang yang mau ‘membuka’ mulut dan menggerakan lidah mereka untuk minta bantuan kepada orang lain. Tapi, banyak pula yang seperti Azizah, yang ‘diam’. Subhanallah!

Saya yakin dan percaya, bahwa di akhir segala ujian pasti ada yang namanya ‘Graduation Day’. Azizah bakal memetik kelak hasilnya. Dan bakal merasakan bahwa, there is an end of everything. Namun jangan pula lupa, bahwa kita-kita yang sudah ‘lulus’, hendaknya bersedia, setidaknya berbagi pengalaman dan memberikan trick-trick tertentu, sebelum graduation. Walahu a’lam!

Doha 27 January 2010
[email protected]