Matematika Sang Pencipta

Ngobrol santai dengan beberapa kawan adalah hobiku. Terkadang kalau fikiran ini jenuh, terus disibukkan rutinitas sehari –hari, kerja, kuliah dan sedikit masalah keluarga, jalan yang kutempuh adalah berkunjung ke tempat kawan. Teringat satu pesan rasul, bahwa jika seseorang hendak dilapangkan rezekinya dan panjangkan usianya, maka harus bersilaturahmi. Inilah yang menjadi motifku. Daripada bingung dan bosan sendirian, mending ketemu kawan. Dan entah kenapa, aku dan dua orang temanku- Herman dan Roni –sepertinya kami memang memiliki chemistry yang sama. Dan kami pun sering kongkow bareng untuk sekedar menanya perkembangan dan diskusi ringan.

Sedikit untuk sekedar memperkenalkan kami bertiga (aku, Herman dan Roni) adalah sahabat sejak kecil. Dulu, semasa kami SMA, kami sering kumpul. Dan basecamp kami adalah mesjid. Jadi, kalau ada remaja mesjid sejati, kamilah orang-orang yang termasuk di dalamnya. Pasalnya, kami bukan saja bergabung di organisasi bentukan BKM( Badan Kenaziran Mesjid)tapi kami juga menjadikan mesjid sebagai rumah kami. Yang, kalau hari-hari kami jenuh, shalat jamaah adalah wasilah kami untuk bertemu. Bahkan, pada hari-hari libur, kami sering jadikan masjid sebagai tempat I’tikaf dan mabit. Mudah-mudahan saja, aktivitas kami waktu itu, termasuk dalam amaliyah kebajikan. Dan semoga saja kami bisa termasuk salah satu kriteria orang-orang yang mendapat naungan Allah kelak di padang Mahsyar. Sebab, secara emosional, keterikatan hati kami mencinta satu sama lain, seperti saudara yang benar terikat oleh tali agama Allah. Juga, ketergantungan kami yang selalu menjadikan mesjid tempat ibadah serta bermuamalah.

Bermula dari pernyataan kawanku. Roni yang beberapa bulan lagi hendak melangsungkan pernikahan, sering curhat. Katanya, bagaimana nanti setelah menikah ternyata satu saat ia dipecat dari pekerjaannya. Bagaimana jadinya istri dan anak-anaknya nanti. Pasti bakal sengsara. Dan inilah yang menjadi salah satu penghambat kenapa dia lama menikah. Di samping kesiapannya yang tidak memadai, karena dalam bayangannya nikah itu sulit dan butuh biaya banyak, makanya dia tidak berani mengambil keputusan dewasa ini untuk berumah tangga. Padahal, kalau dihitung dari jumlah tabungan yang dimiliki, dia bisa saja untuk segera nikah. Tapi ya, begitulah.

Untuk menepis komentar dia, aku bacakan Qs Annur :32 “ Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.”

Ayat ini secara jelas menepis kekhawatiran orang-orang yang mau menikah karena takut tidak mampu. Banyak orang terkadang masih enggan menyempurnakan separuh agamanya dengan menikah dikarenakan faktor finansial. Beberapa kawan yang kutemui, hampir semua jawaban yang mereka utarakan kenapa belum juga menikah, sebab mereka belum sanggup. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Bahkan, ada sebagian mengkhawatirkan pekerjaan yang dimilikinya tidak bakal cukup membiayai keluarga.

Aku katakan pada kawanku itu, harusnya kita saat ini lebih sering gunakan matematika sang Pencipta disamping matetamika manusia. Tidaklah mungking, bagi sang Khalik membiarkan begitu saja hambaNya tanpa diberi bekal yang memadai. Dalam banyak ayat disebutkan, bahwa Allah tidak akan menzalimi hamba-hambaNya. Apalagi, jika hambanya mengikuti sunnah RasulNya untuk menikah, pasti Allah berikan banyak Jalan agar ia bisa memenuhi kebutuhan.

Memang, ada sedikit perbadaan logika matematika yang dimiliki manusia dengan matematika yang ada di sisi Allah. Dalam bahasa matematika kita, hasil dari pengurangan mempengaruhi jumlah yang dimiliki sebelumnya. Kalau kita punya uang seribu rupiah kemudian kita belanjakan lima ratus rupiah, maka yang tersisa adalah lima ratus rupiah. Tapi, hitungan itu tidak berlaku pada sistem pengurangan pada infak yang kita keluarkan di jalan Allah. Di sini Allah sebutkan, harta yang diinfakkan itu akan dilipat gandakan hingga tujuh kali lipat. Dan itupun masih dilipat gandakan lagi menjadi seratu kali lipat. Jadi kalau kita menginfakkan uang sebanyak lima ratus rupiah,maka hakikatnya kita menambah uang itu sejumlah tiga ratus lima puluh ribu.

Bagi yang menikah juga seperti itu. Banyak orang yang beranggapan, hidup bujangan lebih sedikit kebutuhan dibanding dengan yang sudah berkeluarga. Secara logika benar, tapi itu tidak menjadi jaminan, kalau pengeluaran orang yang bujangan lebih kecil dari yang sudah menikah. Karena banyak kita temui, justru pengeluaran bagi mereka yang masih single terkadang hampir sama bahkan lebih dibanding dengan yang telah menikah. Bagaimana tidak, seperti lagunya bug Rhoma “Bujangan” enaknya hidup jadi bujangan, kemana-mana tiada yang melarang. Wal hasil, tanpa kontrol dan perhitungan, justru uang lebih banyak terkuras ketimbang mereka yang sudah menikah. Bagi yang telah berumah tangga, untuk satu rupiahpun yang keluar harus diperhitungkan.

Tentu,orang yang sudah memiliki tanggung jawab, berbeda motivasinya dalam mencari nafkah. Seorang kawan pernah bilang, kalau dia kerja banting tulang, pergi pagi pulang malam karena termotivasi buat buah hatinya yang baru lahir. Padahal, dulu semasa lajang dia bukan termasuk orang yang giat bekerja. Tapi setelah menikah, motivasi mencari uang itu lebih besar. Karena dia berfikir bukan hanya untuk pribadinya saja, melainkah ada isteri dan anak-anaknya yang butuh nafkah darinya.

Dan terakhir, kalau binatang yang melatah saja sudah dijamin oleh Allah rezekinya, apatah lagi manusia. Makhluk lain yang cuma diberikan insting, bisa bertahan hidup dan mencari makan maka harusnya manusia lebih dari itu. Dengan akal dan kelebihan potensi yang diberikan seharusnya manusia lebih yakin terhadap rezekinya. Jadi tidak ada alasan khawatir untuk kekurangan rezeki. Sebab, perhitungan Allah tidak pernah meleset dan selalu membawa kemashlahatan hambaNya.

Medan, 16 Desember 2010