Jangan Cabut Nyawa Ibuku!

Empat hari sudah Nyak—biasa kupanggil dirinya terbaring di atas pembaringan. Tak berdaya. Kesakitan. Menahan sakitnya yang makin ia rasakan. Hingga membuat ia tak kuasa untuk menahan sakit yang ia derita. “Aduh…aduh…,” begitu ia menceracau menahan sakitnya.

Empat hari sudah ia begitu. Tak berdaya. Kesakitan. Dan tak jarang makan pun tak mau. Lama makin lama pun tubuhnya ikut menyusut—dengan ditambah tubuhnya yang kecil. Seakan penyakit yang diderita menggeroti dirinya. Dan begitu ia rasakan! Lalu aku bisa apa?

Ya, aku bisa apa? Itulah jawaban dalam diriku!

Seperti tulisan yang aku tulis saat ini ibuku masih dalam pembaringan. Masih menahan sakitnya. Aku sebagai anak lelakinya melihat keadaan seperti itu sungguh aku tak kuasa. Terlebih ketika ia seringkali bergumam,” adu..aduh…!” Sungguh aku tak berdaya. Tak kuasa untuk melihatnya lebih lanjut. Benar-benar memilukan adegan yang kutangkap di mata minusku ini. Ibu satu-satunya. Orang yang aku kasihi sekaligus tempat berbagai gundah kini tak berdaya. Melihatku pun ia semakin kabur. Yang ada hanya sebuah rasa sakit yang terbias di kelopak mata tuanya….Tuhan jangan cabut nyawa ibuku!

“Kalau Nyak nggak ada jaga diri lu ya baik-baik. Nyari kerja yang benar. Soal kuliah biarlah, kalau bisa lu lanjutin kalau tidak bisa ya lu nyari kerja aja yang benar. Jangan ribut melulu sama adik lu.” Ucap saat aku ada dihadapannya. Ia memberikan sesuatu untukku. Entah itu wasiat atau nasehat lagi-lagi aku tak bisa menalarnya. Antara kesedihan dan rasa takut ditinggalnya telah menyatu dalam diriku. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa.

Aku dengar baik-baik perkataannya walau rasa hatiku ngilu. Miris. Tak dapat aku katakan lagi. Tuhan apa nyawa ibuku sampai disini!

Aku terus berguma. Dalam hati aku terus berdoa agar ibuku cepat diangkat sakitnya. Dan kalau bisa aku rela penyakitnya digantikan olehku. Apalah aku sampai saat ini aku belum bisa membahagiakannya. Kerja belum dapat yang sebenarnya. Kuliah butuh biaya yang besar lagi. Di tambah separuh dien-Nya pun belum aku tunaikan. Itulah yang masih bergelayut di pundakku. Tanggung jawabku sebagai seorang lelaki—serta calon suami nantinya. Jadi sebelum aku mendapatkan itu semua biarlah aku saja yang menderita, Tuhan! Itulah hati kecilku berkata. Karena aku tak ingin ditinggalkan oleh ibuku!

***

“Nyak udah minum obat belum? Jangan lupa di minum obat dari klinik. Biar Nyak cepat sembuh!”

Begitulah setiap kali kakak perempuanku memperingatinya saat ia melihat ibuku di pembaringan. Tak berdaya. Kesakitan. Yang ada hanya airmata yang bisa ia hadiahkan untuk kami; anak-anaknya.

Pun begitu dengan aku.

Aku pun tak bosan-bosannya memberikan semangat untuknya. Untuk semangat bangkit dari penyakitnya. Agar aku bisa melihatanya kembali pulih seperti sediakala. Dan aku tak ingin ia bersedih sekaligus merl firman-firman-Mu yang tersirat itu. Jika memang demikian jika penyakit yang diderita ibuku agar dosa-dosa terhapuskan aku rela. Rela. Dan rela. Pun kalau bisa kau rela mengantikannya…Karena aku sayang ia ya Tuhan. Sayang! Sayang sekali. Sebab Ia-lah orang yang paling mengerti diriku sekaligus memahami siapa diriku. Dan karena itu aku hanya meminta kepada-Mu ya Tuhan. Hanya satu. Ya, hanya satu. Tolong jangan cabut nyawa ibuku!

Ulujami—Jakarta, 22 Maret 2010
Dalam kenestapaan.

FB:[email protected]