Gajah Dipelupuk Mata

Dalam sebuah note di facebook, seorang sahabat menceritakan tentang satu keluarga yang selamat dalam gempa di Padang lalu. Berawal dari sakit yang diderita sang bapak, anak putrinya yang belum lancar menyetir mobil tergerak membawanya ke tukang urut, merasa kurang ramai, sang putri mengajak serta adik dan ibunda tercinta. Tak lama mereka pergi gempa pun datang…

Lain lagi dengan kisah Tsunami Aceh dan Tragedi Situ Gintung, bila di kisah sebelumnya manusia yang menjadi objek “penyelamatan”, dalam dua bencana ini Masjid menjadi bukti kekuasaan Allah. Saat bangunan sekitarnya runtuh bahkan rata dengan tanah, beberapa masjid tetap kokoh berdiri…

Betapa banyak kisah-kisah serupa yang menyiratkan tanda-tanda kekuasaan Allah swt dibumi tempat kita berpijak. Namun, terkadang kita lupa bahwa sebenarnya “jejak-jejak” Tuhan banyak melintas di depan mata. Mungkin akibat kemaksiatan yang membuat kita tidak bisa melihatnya atau memang karena kita tidak memikirkannya.

Saya teringat kultum tarawih seorang ustadz di masjid dekat rumah. Beliau bercerita, ada seorang Syekh dari Timur Tengah berkunjung ke Jakarta. Ia disambut dan dijamu di hotel mewah oleh para ulama Indonesia. Sebagai penghormatan untuknya disediakan aneka makanan lezat di meja buffet. Saat Syekh berdiri menatap meja buffet, matanya berkaca-kaca. Melihat hal tersebut salah seorang ulama bertanya, “Syekh kenapa antum menangis, apakah antum memikirkan orang-orang miskin yang tidak bisa menikmati hidangan ini”. Syekh pun menjawab “aku menangis membayangkan kenikmatan makanan Surga yang jauh lebih hebat dari ini”. Subhanallah, kami yang mendengar cerita tersebut tertegun.

Begitulah seorang muslim berfikir, pandangannya jauh melebihi batasan-batasan logis manusia pada umumnya, dia memiliki pemikiran yang mendalam (deep thinking) dan penghayatan yang luar biasa indah. Ada ungkapan “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak kentara”. Saudaraku, terkadang dalam menangkap “jejak-jejak” Tuhan kita hanya melihat dari hal-hal yang besar saja seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, tsunami dan lain-lain. Hingga kita lupa bahwa Allah swt yang Maha Mengatur telah meninggalkan “jejak” disekitar kita.

Sebagai contoh, tetangga sebelah rumah memasang pompa air. Bila kita acuh maka yang didapat hanya kebisingan tukang menggali tanah atau bunyi mesin penyedot air. Namun bila kita melihatnya dengan kacamata iman kita akan bersyukur betapa berharganya air yang biasa kita gunakan berwudhu, mandi, mencuci dan sebagainya itu. Betapa susahnya tetangga kita mendapatkan air, ia panggil tukang gali ia keluarkan dana hingga 5 juta rupiah dan air yang diinginkan baru muncul dikedalaman 27 meter. Pernahkah kita berfikir bahwa air yang kita gunakan atau konsumsi ternyata masih steril dari berbagai macam limbah manusia, padahal diatasnya berdiri rumah-rumah yang berdekatan selama puluhan tahun. Subhanallah. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? [ Ar Rahman : 55 ]

Sekali lagi, terkadang dalam menangkap “jejak-jejak” Tuhan kita hanya melihat dari hal-hal yang besar saja, padahal sungguh banyak “gajah” (baca:karunia besar) Allah yang selalu melintas di depan mata. Saat bepergian atau silaturahim misalnya, mungkin kita sering mengatakan “jauh juga ya tempatnya” akan tetapi pernahkah kita berfikir sejauh itu jarak tempuh, kita terbebas dari paku-paku yang bertebaran, terhindar dari kecelakaan, dimudahkan menuju tempat tujuan dan lain sebagainya, Subhanallah. Hanya orang-orang yang berfikirlah yang bisa menikmati indahnya karunia-karunia Allah [Ali Imran : 191]

Orang yang berfikir atau dalam bahasa Al Qur’an ulil albab yaitu hamba yang senantiasa memikirkan, mengkaji, merasakan, serta mensyukuri semua karunia Allah. Dan buah dari pemikiran mendalam atau deep thinking tersebut adalah sensitivitas hati. Hati mereka senantiasa sensitif terhadap kebaikan yang diterima, hanya kalimat hadza min fadli Rabbi yang terucap sebagai wujud terima kasih [27:40]. Dan sensitif pula dalam kemaksiatan, resah dan tidak betah serta ingin segera bertaubat. [3:135, 7:23]

Saudaraku, semoga Allah swt menitipkan rasa sensitif tersebut kedalam hati kita dan menganugerahkan kita pandangan yang mendalam yang melebihi pandangan manusia pada umumnya. Seperti ungkapan Fudhail bin Iyadh “Aku mengetahui kesalahan dan dosaku kepada Allah, melalui sikap istri dan keluargaku, sikap kendaraanku, hingga sikap tikus-tikus di rumahku…” Subhanalah.