Gajian Tanggal 15

Hari Sabtu ini adalah hari gajian. Tanggal 15 Agustus, sebagaimana tanggal 15 di bulan-bulan lainnya, adalah jadual gajian di rumah kami. Kami gembira. Bukan karena kami akan menerima gaji, melainkan karena kami akan memberi gaji. Gaji ini adalah upah bulanan kepada Bu Iyah yang telah menolong kami mencuci dan menyeterika dan mengepel (tentu setelah sebelumnya menyapu dulu). Juga kepada Bang Basir, tetangga kami yang tukang ojeg itu, yang tidak pernah absent menjemput anak-anakku pulang sekolah.

Mungkin ada yang bertanya, memberi gaji kok senang? Bukannya menerima gaji baru senang? Kalau memang ada yang bertanya demikian, kami akan menjawab bahwa tentu saja kami senang bisa memberi gaji, sebagaimana kami juga senang jika menerima gaji. Kami senang memberi gaji – tepat waktu lagi – karena itu berarti kami sudah bisa amanah, memberikan hak orang yang sudah menolong kami. Kami senang karena masih punya rejeki untuk itu. Kami senang karena biasanya wajah Bu Iyah akan kelihatan lebih sumringah dari biasanya. Bang Basir juga jadi lebih semakin ramah. Itu tanda bahwa hati mereka senang bukan? Jadi, kami senang juga karena telah membuat mereka senang.

Tapi tidak serta merta kami sudah merasa jadi orang yang dengan ”tangan di atas” lho, walaupun faktanya kami memberi dan mereka menerima. Kami memberi karena sebelumnya, selama sebulan penuh, kami telah menerima bantuan dari mereka. Jadi sebetulnya posisi kami seimbang – memberi dan menerima. Jadi tidak perlulah kami merasa ”tangan di atas”, apalagi merasa lebih mulia dan lebih hebat dari pada mereka. Toh kita sama-sama saling membutuhkan. Teman-teman yang sering gonta-ganti pembantu pasti tahu rasanya betapa beruntungnya punya rewang yang setia, baik hati dan jujur, serta tidak sombong.

Bahkan kalau kami – misalnya lho – sering telat membayar gaji, sementara mereka tidak pernah telat ataupun lalai dalam menunaikan kewajiban mereka, maka sebenarnya posisi kami jadi lebih hina dibandingkan mereka. Lebih hina di mata siapa? Lebih hina di nurani kami sendiri, dan pasti di mata Allah Yang Maha Melihat. Di mata manusia lain sih belum tentu, karena manusia pandangannya terbatas. Tertutup oleh pakaian bagus, kendaraan bagus, rumah bagus, wajah bagus, dan yang lain-lain yang secara fisik bagus.

Pernah suatu ketika, Bang Basir pada suatu siang menelpon ke Hp istriku. Rupanya ia kebingungan, maksudnya menjemput anak-anakku, tapi kok mereka tidak ada di sekolah. Istriku pun minta maaf, lupa mengabarkan bahwa anak-anak kami lagi sakit. Mereka tidak masuk. Jadilah Bang Basir menjemput dengan sia-sia. Istriku minta maaf berkali-kali, tanda bahwa ia sungguh-sungguh menyesal.

Nah kawan, tidakkah kau saksikan bagaimana tetanggaku yang tukang ojeg ini telah bertindak proaktif? Ia mengambil inisiatif menelpon, merasa bertanggung jawab jika terjadi apa-apa terhadap anak-anak ku? Padahal aku yakin ia belum pernah membaca The Seven Habits karya fenomenalnya Stephen Covey, yang mengajarkan bahwa kebiasaan efektif nomor 1 untuk orang-orang sukses adalah bersikap proaktif. Padahal kami – aku dan istriku – adalah sarjana-sarjana, lulusan UI pula. Tidak sembarang orang lho bisa lulus menjadi mahasiswa di kampus legendaris tersebut.

Begitulah, kami merasa bersyukur, dan mengucapkan alhamdulillah, bisa bekerja sama dengan orang-orang seperti mereka. Masih Allah kasih rejeki untuk memperpanjang kerja sama tersebut.

Makasih yaa .. Allah.

Jatikramat, 15 Agustus 2009

http://sabruljamil.multiply.com

http://facebook.com/sabrul.jamil