Bunda Fathimah, Aku, dan Khadimat

Ah, ntah apa namanya ini. Selalu berkecamuk dalam diri dan jiwa. Padahal aku tahu seharusnya ini tidak pernah hadir hingga berkecamuk. Untuk kesekian kalinya dilema yang seharusnya tidak pernah hadir ini cukup mengganggu ‘ketenangan’ jiwa. Hingga aku tak tahu harus berbuat apa. Hingga aku ingin rasanya, dapat hidup bersama bunda Fathimah, putri kesayangan Rasulullah, dan mencurahkan segala isi hati yang berkecamuk ini. Bertanya tentang segala hal untuk suatu profesi yang begitu ‘indah’, ‘ibu rumah tangga’. Menjadi ‘ibu rumah tangga’ adalah cita-cita terbesarku. Aku tidak pernah mengondisikan diri ini untuk menjadi seorang pekerja kantoran atau apapun namanya. Meski aku adalah seorang sarjana teknik. Hingga ketika semuanya telah menjadi kenyataan, aku begitu sangat menikmatinya. Menjadi seorang istri dan ibu dari kedua aktifis-ku.

Namun, ‘kenikmatan’ itu sedikit terganggu. Diawali dengan ‘kepergian’ kami sekeluarga yang mengharuskan untuk tidak mengikutsertakan khadimat kami. Awalnya, aku sangat bahagia. Setidaknya apa yang aku impikan selama ini—menjadi seorang ‘ibu rumah tangga’ tanpa seorang khadimat—dapat ‘tercapai’. Hingga 4 bulan dari ‘kepergian’ kami, aku cukup sangat menikmati semuanya ini, secara dari sejak kapan pastinya, aku memang selalu mengondisikan diriku untuk tidak menggantungkan segalanya pada seorang khadimat. Bagiku ada atau tidaknya mereka tidak menjadi halanganku untuk ‘menikmati’ hidup.

Tapi, namanya suatu ‘kenikmatan’ tidak harus berjalan mulus tanpa ada suatu ujian dan cobaan. Setidaknya itu yang sedang aku rasakan. Semuanya bermula dari ‘bisikan-bisikan’, ‘pertanyaan-pertanyaan’, juga ‘nasihat-nasihat’ yang aku dapat dari orang-orang yang sering berinteraksi denganku, termasuk pula dari suami tercinta meski pada akhirnya dia-pun menyerahkan segala keputusan itu pada diriku.

“Mba, ga’ repot ngurus dua anak tanpa ada yang ngbantuin..?!” tanya seorang tetangga.

“bisa ya Mba, ngurus dua anak ga’ ada yang bantuin. Saya aja satu, repot banget niy, padahal udah pake pembantu.” Ujar yang lain.

“..kalau nurutku niy yaa, kamu pake pembantu aja deh, ga’ sebanding banget rasanya.” Ujar seorang ‘mba’ bagiku.

“paling ga’ dengan begitu waktu untuk kedua anakmu lebih banyak.” Lanjutnya.

Hufhhh. Repot siy pasti, ga’ usah diungkapin itu jelas banget. Namun, bukankah disitu letak ‘kenikmatan’ itu. Ga’ sebanding dengan waktu yang diluangkan untuk anak-anak. Yah, ini mah sebisa-bisanya kita aja gimana ngatur waktunya kan yaaa. Melakukan semua pekerjaan dengan melibatkan anak-anak kita dengan gaya permainan juga bisa bukan. Nah, disitu juga ada ‘kenikmatan’ nya. Hanya, ntah mengapa ‘bisikan-bisikan’, ‘pertanyaan-pertanyaan’, juga ‘nasihat-nasihat’ itu sedikit ‘mengganggu’ diri dan jiwaku. Setidaknya ketika itu mulai melibatkan sesuatu yang dinamakan ‘privacy’.

Sebagai seorang istri juga ibu. Aku juga seorang manusia. Aku butuh ‘privacy’. Namun, egoiskah diri ini?..

Di sisi lain, hatiku pun bertanya-tanya. Apakah yang menjadi idealisme-ku ini, yang tengah kulakukan saat ini adalah menyusahkan diri sendiri—bertahan untuk tidak berkhadimat—? Apakah benar tidak sebanding dengan segala waktu yang ada? Apakah pekerjaan-pekerjaan ‘sepele’ itu tidak ada artinya?

Ah, Bunda Fathimah, andai ada dirimu saat ini, aku akan bertanya banyak hal. Bunda, apakah ideaisme-ku ini sangat ’aneh’? Apakah dulu meski dirimu tak berkhadimat, namun banyakkah yang siap membantu dirimu? Bagaimanakah dirimu menjaga dan mendidik Hasan dan Husein hingga tumbuh menjadi manusia perkasa? Bagaimana pula dirimu melayani suami tercinta, di kala letih melanda? Apakah dirimu pun membutuhkan ‘privacy’? Ah, Bunda Fathimah, masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk dalam diri dan jiwa ini. Pertanyaan-pertanyaan yang tak penting memang, namun aku butuhkan untuk menguatkan kembali keidealismean-ku ini atau harus ku’buang’ jauh saja idealisme yang tak sesuai zaman ini lagi…

Ditengah ujian dan cobaan ini, kususun kembali lembaran demi lembaran dan bertemulah aku dengan tulisan ini :

  1. Ya Fathimah, kepada wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Alloh pasti akan menetapkan kebaikan baginya dari setiap biji gandum, melebur kejelekan dan meningkatkan derajat wanita itu
  2. Ya Fathimah, kepada wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung untuk suami dan anak-anaknya, niscaya Alloh menjadikan dirinya dengan neraka tujuh tabir pemisah
  3. Ya Fathimah, tiadalah seorang yang meminyaki rambut anak-anaknya lalu menyisirnya dan mencuci pakaiannya, melainkan Alloh akan menetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang
  4. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang menahan kebutuhan tetangganya, melainkan Alloh akan menahannya dari minum telaga kautsar pada hari kiamat nanti
  5. Ya Fathimah, yang lebih utama dari seluruh keutamaan di atas adalah keridhoaan suami terhadap istri. Andaikata suamimu tidak ridho kepadamu, maka aku tidak akan mendoakanmu. Ketahuilah wahai Fathimah, kemarahan suami adalah kemurkaan Alloh
  6. Ya Fathimah, apabila wanita mengandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya, dan Alloh menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan serta melebur seribu kejelekan. Ketika wanita merasa sakit akan melahirkan, Alloh menetapkan pahala baginya sama dengan pahala para pejuang di jalan Alloh. Jika dia melahirkan kandungannya, maka bersihlah dosa-dosanya seperti ketika dia dilahirkan dari kandungan ibunya. Bila meninggal ketika melahirkan, maka dia tidak akan membawa dosa sedikitpun. Didalam kubur akan mendapat pertamanan indah yang merupakan bagian dari taman sorga. Dan Alloh memberikan pahala kepadanya sama dengan pahala seribu orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat
  7. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang melayani suami selama sehari semalam dengan rasa senang serta ikhlas, melainkan Alloh mengampuni dosa-dosanya serta memakaikan pakaian padanya di hari kiamat berupa pakaian yang serba hijau, dan menetapkan baginya setiap rambut pada tubuhnya seribu kebaikan. Dan Alloh memberikan kepadanya pahala seratus kali beribadah haji dan umrah
  8. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang tersenyum di hadapan suami, melainkan Alloh memandangnya dengan pandangan penuh kasih
  9. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang membentangkan alas tidur untuk suami dengan rasa senang hati, melainkan para malaikat yang memanggil dari langit menyeru wannita itu agar menyaksikan pahala amalnya, dan Alloh mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang
  10. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang meminyaki kepala suami dan menyisirnya, meminyaki jenggot dan memotong kumisnya, serta memotong kukunya, melainkan Alloh memberi minuman arak yang dikemas indah kepadanya yang didatangkan dari sungai-sungai sorga. Alloh mempermudah sakaratul-maut baginya, serta kuburnya menjadi bagian dari taman sorga. Dan Alloh menetapkan baginya bebas dari siksa neraka serta dapat melintasi shirathal-mustaqim dengan selamat.

Serasa bertemu dengan segala jawaban dan juga azzam yang kian kuat. Sungguh, aku sedang tak membuang waktuku dengan percuma. Idealisme-ku tak harus terpuruk dengan perkembangan zaman ini. Aku bisa melakukannya tanpa harus terkungkung dengan sesuatu yang bernama ‘privacy’.

Setidaknya aku masih punya malam, waktu ‘istimewa’ untuk bercengkrama dengan diri, menulis, dan bercerita. Apalagi yang kucari selain ridhoNya. Selain, janjiNya untuk semua yang kulakukan dengan ikhlas dan lapang. Suami dan anak-anakku adalah syurga atau neraka-ku. Bagaimana aku memperlakukan mereka, maka itu yang aku dapat. Alloh tidak pernah ingkar dengan segala janiNya

Alhamdulillah, Bunda. Terjawab sudah segala pertanyaan jiwa dan hati ini. Setidaknya dengan meluruskan segala niat ini, dapat kutemukan dan kubangun kembali ‘kekuatan jiwa’ itu. Semoga ini bisa menjadi penguat kembali azzam yang sudah ada. Penguat jiwa ketika dilanda kecamuk seperti ini. Penguat hati ketika menghadapi segala ‘bisikan-bisikan’, ‘pertanyaan-pertanyaan’, juga ‘nasihat-nasihat’ yang terkadang menggoyahkan hati. Terima kasih, Bunda.

Ringan kembali menghampiri. Setidaknya ini yang kubutuhkan.

Meski aku tahu, pada saatnya aku pun membutuhkan khadimat, yaitu ketika aku hamil dan melahirkan lagi.