Guru Kehidupanku Itu Ayahku!


Ku mengadu pada guru; betapa buruk hafalanku.
Dia membimbingku agar meninggalkan maksiat
Dia memberitahu aku bahwa ilmu cahaya
Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pendosa. (Imam Syafi’i)

Dialah ayahku…Ayah yang sampai hari ini masih kuingat akan nasehat dan pesannya yang telah membuat aku malu pada diriku. Beliau menasehatiku dengan pesan yang disampaikan olehnya,” jangan sekali-sekali mengeluh dan menyesali hidup pada Tuhan.” Itulah pesan yang disampaikan ayah hingga akhir hayatnya.

Mungkin kalau aku tidak mencerna dan mentelaah lebih jauh apa yang maksud beliau sampaikan kepadaku mungkin aku sudah melakukan hal yang merugikan bagi diriku. Bayangkan bila aku tak ingat pesannya dan melanggarnya entah apa jadinya aku sekarang? Mungkin aku sudah tak ingat Dia, Tuhan yang memberi segala karunia nikmat-Nya. Apalagi saat aku pada posisi hendak melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang ada dibilangan Jakarta. Aku pasti akan mengalami hal itu? Itu pun, lamaran pekerjaan yang aku dapatkan atas informasi dari seorang kawan.

Akhirnya sesuai informasi yang kudapatkan aku pun langsung on the way menuju kesana sesuai apa yang kawanku katakan untuk mengadu masa depanku pada sebuah pekerjaan. Namun apa dikata disana aku hanya mendapatkan kekecewaan. Di tambah surat lamaran yang aku genggam menjadi lapiasanku. Kulecek dan kurobek surat berwarna coklat yang tak bersalah itu. Lalu kumasukan ke tempat yang tak layak. Tong sampah!

***

“Anda tamatan apa?” Tanya seorang wanita berpakaian bak wanita karier sukses yang telah menguasai kota Jakarta. Entah apakah wanita tadi bagian dari perusahaan itu atau tidak. Bagiku tujuan utama aku ke tempat itu untuk mengadu masa depanku. Bagiku apa saja pekerjaan itu yang penting halal dan sesuai dengan skill yang aku punyai. Memang hal ini bukan saja yang pertama kali aku alami. Bahkan puluhan kali aku mendapatkan situasi seperti itu hingga aku jadi ilfil untuk mengadu masa depanku pada sebuah (lamaran) pekerjaan.

“Saya hanya tamatan Diploma Satu, Bu?!” jawabku tegas. Walau ada keraguan sedikit dibenakku.

“Ma’af disini dibutuhkan Diploma Tiga,” ujar lagi memberitahukanku.

Lantas apa yang akan aku jawab lagi? Toh, itu memang sudah peraturan perusahaan itu.

Aku ingin meminta kebijaksanaan pada wanita itu ternyata percuma saja ia mengatakan sekali lagi padaku,”ini sudah prosedur perusahaan!” Aku pun tak mampu lagi berani menjawabnya lagi. Memang aku tak menyalahkan wanita itu toh ia hanya mengemban tugasnya sebagai seorang pekerja yang patuh pada pimpinannya dan persusahaan. Dengan hati yang kecewa dengan gontai kakiku meninggalkan ruangan ber-AC itu.

Usai aku meninggalkan ruangan itu betapa terkejutnya aku lihat. Ternyata bukan aku saja yang melamar di perusahaan itu melainkan masih ada berpuluh-puluh pelamar lainnya. Entah apakah dari sebagian pelamar itu ada yang senasib denganku? Aku harap hal itu jangan sampai terjadi pada mereka. Tapi aku juga tak tahu apakah mereka lolos semua atau tidak? Hanya mereka yang tahu dan mengalaminya sendiri. Namun dari apa yang aku alami semua ada sesuatu yang terbesit dibenak dangkalku,” apakah Tuhan tak bosan-bosannya menguji aku dari kesusahaan!”

Alhamdulillah hal itu tak sampai menghantuiku walaupun aku seorang manusia biasa. Karena aku ingat akan dengan pesan dari sang guru kehidupanku yakni ayahku dan mengingatkan akan pesannya padaku.

Tapi dari itu semua aku masih sangsi dengan masa depanku nanti. Aku tahu itu hanya Yang Maha Kuasa yang mengetahui itu semua. Akhirnya sepulang dari melamar pekerkerjaan itu aku langsung membasuh hatiku dengan air wudhu agar hatiku tentram. Itu semua kulakukan untuk menunaikan kewajiban-Nya dan memohon dilapangkan dan diluaskan rezekiku hari ini dan hari esok yang cemerlang. Setelah bermunajat kepada-Nya aku pun langsung menulis curhatan hatiku ini di kertas buram. Dan tak lupa kuingat kembali pesan dari sang guru kehidupanku. Ayahku! Dan inilah curhatan hatiku yang aku tulis. Curhatan dari seorang anak yang ingin (selalu) mengingat pesan yang telah disampaikan oleh seorang ayah!

Ulujami, Maret 2009
Mengenang Ayah!