Jejak-jejak Setelah Ramadhan: Kematian

Jarak Kota Sengata dengan Samarinda saat ini terasa lebih dekat, karena saat ini jalan yang dilewati hampir 90 persen mulus. Hingga perjalanan bisa ditempuh dengan tiga setengah jam perjalanan, dimana tahun lalu kami memerlukan sekitar lima atau enam jam dengan kendaraan pribadi.

Betapa bahagia rasanya hati, bertemu sanak-saudara di saat lebaran. Orang-orang yang lama tak ditemui, saudara jauh yang tak pernah lagi terlukis diingatan, ternyata masih seperti yang dulu ; kehangatan persaudaraan masih tetap ada.

Saat suami menelpon salah satu keluarganya, untuk memastikan mereka ada di Samarinda, ternyata mereka ditimpa sebuah musibah. Mereka telah menabrak pengendara sepeda motor, sepasang suami istri, yang keduanya meninggal.

Tentu sang keluarga itu sibuk mengurus masalah yang sedang dihadapinya. Baik untuk pemakamannya, maupun musyawarah dengan keluarga korban, karena permasalahan ini tidak dibawa ke proses pengadilan. Mereka sama-sama tahu dan maklum, musibah ini tidak memerlukan campur tangan pihak ketiga.

Walaupun sang pengendara motor yang jelas-jelas bersalah, tapi keluarga suami tetap merasa, itu adalah tanggung-jawabnya. Tentu ini dapat berlaku, karena hati nurani mereka yang berbicara.

Padahal saat ini, dijaman yang dikatakan orang adalah jaman modern. Dimana sebuah hal yang langka, bila orang mau mengatakan dirinya bersalah. Bahkan walaupun jelas-jelas mereka bersalah, tetap saja mencari celah, atau lubang-lubang kelemahan hukum, untuk menghindari namanya ; bersalah.

Tanggal 6 Syawal, hari Rabu.

Kami sekeluarga kembali ke Sengata, setelah silaturahmi di Samarinda dan Balikpapan. Perjalanan yang panjang untuk sebuah pertemuan kekeluargaan. Ada kesejukan. Ada kesedihan. Semuanya bercampur jadi satu. Tak bisa saya uraikan disini.

Di Sengata, saya disambut dengan berita duka kembali. Tetangga saya, suaminya yang bekerja di Inhutani, saat lebaran berkumpul bersama keluarganya. Tak ada tanda penyakit gawat, ternyata dimalam Senin, hari ketiga lebaran, berpulang ke Rahmatullah.

Padahal satu hari sebelum lebaran, saya sempat bersua dengannya, walau hanya dengan senyum di rumahnya, karena ada sedikit urusan dengan istrinya, ternyata itu adalah perjumpaan kami yang terakhir.

—-

Kematian memang tidak mengenal waktu. Kematian pula tidak mengenal suasana. Walau suasana lebaran yang penuh kehangatan kekeluargaan, bila saatnya tiba, maka malaikat yang bertugas tak akan bertenggang-rasa. Karena dia, malaikat sangat patuh dan disiplin akan setiap tugas yang diembannya, dan tentu saja tidak mengenal uang sogok atau korupsi.

Kematian adalah terminal akhir keberadaan kita di dunia. Kematian memang tidak berbau, tapi anehnya, kita semua tahu bahwa kematian itu adalah kepastian, tapi kenapa sering-kali kita melupakannya?

Sering-kali merasa hidup kita akan sangat panjang. Hingga kadang kita punya perencanaan jangka panjang untuk investasi di dunia ini. Kita begitu bersusah payah disaat muda, agar kelak saat usia pensiun tiba, kita tidak akan menjadi seorang yang bersandar pada orang-lain. Atau di saat tua, kita dapat menikmati hidup dengan tenang.

Tentu sah-sah saja usaha kita itu. Tapi kita juga tahu, dunia hanya sebuah jalan yang punya batas akhir. Kita juga tahu dunia hanyalah untuk menanam saham, agar dapat kita petik bunganya di surga. Kita juga tahu, dunia adalah sebuah fatamorgana. Yang kita lihat indah, ternyata sering-kali melukai kita.

Kematian adalah sebuah kepastian, tapi sering-kali kita lengah untuk hal ini. Kematian adalah pintu gerbang menuju keabadian, tapi sering-kali kita lebih mencintai dunia, yang tidak kekal ini.

Semua orang yang hidup di dunia ini, pasti mengetahui dirinya akan mati, dan sebagian besar manusia merasakan takut jika saat itu tiba. Tapi sayangnya pengetahuannya itu tidak cukup untuk membuat dirinya sadar, bahkan dirinya semakin loba untuk selalu mencari celah, bagaimana harta dan semua kenikmatan ada digenggamannya.

Sengata, 18 September 2010

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

[email protected]