Hanya Sepenggal Janji

Pagi itu, aku terhenyak mendengar berita di televisi.  Seorang penata rambut di Bandung telah tega membunuh seorang wanita pelangannya.  Alasannya sebenarnya sepele, hanya karena si wanita berjanji ingin menggunakan jasanya dibidang tata rambut, namun janjinya itu tak kunjung ditepati. 

Blarr!  Malang nian nasibmu, wahai sobat.  Sebegitu tingginyakah harga sepenggal janji, hingga maut pun menjadi taruhannya?

Hatiku bergidik ngeri.  Sepenggal janji.  Hal yang kelihatannya sepele, namun sesungguhnya tidaklah sepele sama sekali.  Janji adalah hutang, yang harus dilunasi, sesuai jangka waktu yang telah ditentukan.  Mau tak mau pikiranku bekerja keras.  Apakah selama ini ada janji yang secara tidak sadar kuucapkan, namun belum jua kutunaikan.  Ah.  Jangan-jangan diri ini tak sadar telah mengumbar janji dengan begitu ringan, begitu mudah, namun tak jua terlaksana hingga detik ini.

Tiba-tiba aku menjadi amat takut karenanya.  Takut kalau-kalau tidak sempat melaksanakan janji hingga ajal menjemput. Na`udzubillah!

Akupun teringat peristiwa sepuluh tahun yang lalu, sewaktu masih berdomisili di negeri di seberang lautan sana, Jepang.

Seperti biasa, pagi itu, aku sedang mengajak anak sulungku, Faisal yang waktu itu baru berusia dua tahun ke koen atau taman bermain.  Anak-anak kecil senang bermain di koen, karena tempatnya luas, banyak pohon, dan banyak permainan.  Koen juga  bagus sebagai tempat bersosialisasi anak-anak balita yang belum bersekolah karena di sini anak dilatih untuk antri menunggu giliran, ataupun meminjamkan mainan kepada temannya.

Hari masih amat pagi, pukul setengah sembilan.  Terlalu dini sebenarnya untuk bermain di koen.  Biasanya ibu-ibu Jepang membawa anak mereka sekitar pukul sepuluh pagi. Tapi karena ini hari Minggu, suamiku kuajak serta, agar bisa menikmati hari bersama-sama. Dan kami berangkat lebih awal.

Aku menduga belum ada orang di koen selain kami.  Tapi ternyata dugaanku salah.

Ada seorang nenek-nenek bersama cucu laki-lakinya.

Karena mereka berada di dekat ayunan dan Faisal ingin bermain ayunan, maka kami melewati mereka.  Selesai bermain ayunan, Faisal berhenti di depan anak laki-laki Jepang itu, sebut saja Yoshi.  Kutaksir umurnya sekitar empat tahun. Faisal memandangi mainan mobil-mobilan di tangan Yoshi, dan ingin meminjamnya. Aku hanya diam saja, tidak pede karena bahasa Jepangku tidak fasih.  Tapi dalam hati ingin sekali meminjamkan mainan itu untuk Faisal. Suamiku pun diam saja, tampaknya sungkan untuk meminjam.

Untungnya si Nenek cepat tanggap.

“Yoshi, ayo pinjemin mainannya sama adik kecil ini!” pinta si Nenek, tentunya dalam bahasa Jepang.

Yoshi hanya diam.

“Yoshi, ayo pinjemin!” bujuk si Nenek masih sabar.

Bocah itu masih bergeming, makin erat mencengkeram mainan itu.

“Yoshi! Uchi de yakusoku desho!” suara si Nenek mulai meninggi, tapi berusaha menekan suaranya.

Maksudnya tadi di rumah Yoshi telah berjanji kepada neneknya untuk meminjamkan mainan kepada anak-anak di koen.  Dan si Nenek menagih janji Yoshi.  Tapi Yoshi tetap menggeleng. Tampaknya antara Nenek dan cucu sama-sama kekeuh.

 “Yoshi! Yakusoku desho! Y a k u s o k u !” Si Nenek masih bersikeras menagih janji Yoshi dengan menekankan kata `yakusoku`. Tampak mulai tidak sabaran, tapi berusaha untuk tidak marah.

Melihat adegan itu, sebenarnya dalam hati aku heran, mengapa si Nenek begitu kekeuhnya menagih janji Yoshi.  Bukankah dia masih anak-anak?  Apakah perlu sekeras itu menagih janji kepada anak-anak?  Walaupun disisi lain, aku juga salut dengan keteguhan hati si Nenek dalam mempertahankan prinsip. Janji adalah janji, tidak bisa ditawar-tawar lagi.  Sekali terucap, pantang mengelak. Janji ibarat komitmen, yang telah disepakati bersama, dan harus dipegang teguh dan ditaati.  Mengabaikan janji berarti mengabaikan komitmen. Aku salut bahwa di negeri yang mayoritasnya non muslim ini, ternyata  prinsip-prinsip untuk tetap konsisten dalam menepati janji telah ditanamkan sedari usia dini.

Akhirnya setelah didesak sekian lama, dengan setengah terpaksa, Yoshi menyerahkan mobil-mobilan itu kepada Faisal.

Akupun bernafas lega.  Kulihat senyum di bibir Faisal.

Ah! Sepenggal janji.  Hanya sepenggal janji.  Tapi begitu besar efeknya.

 "Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : kalau berbicara dia bohong, kalau berjanji dia mengingkari dan kalau dipercaya dia berkhianat "(HR Bukhari dan Muslim).

Catatan kaki :

Yakusoku : janji

Koen : taman bermain

Keukeuh : bersikeras