Hatinya Sekokoh Namanya : “Almatin”

Hari itu aku bergegas pergi menuju gedung tempat dilaksanakannya pembekalan KKN (Bukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme lho… tapi Kuliah Kerja Nyata). Keringatku mengucur deras, ku usap dengan jilbab kecilku dan segera duduk di deretan kursi yang bagian belakangnya ditempel kertas bertuliskan “Gunung Jaya”. Itulah nama desa yang nantinya akan kami huni selama 3 bulan.

Aku tak memperhatikan teman-teman yang duduk satu deret denganku, padahal mereka yang nanti bakal menjadi tim-ku memberantas buta aksara di desa terpencil itu. Aku fokus pada materi yang disampaikan tutor dari Keaksaraan Fungsional sembari mencatat hal-hal yang penting. Kulihat sebuah tangan mengacung dari salah seorang di deretan tempat dudukku. Suaranya lantang dan nyaring, dengan pertanyaan yang sangat tegas dan lugas. Aku terpesona dengan keberaniannya mengajukan pertanyaan, sementara aku hanya tertunduk dan sibuk menulis, sama sekali tidak kritis!.

Tibalah hari ketika kami ber-enam diterjunkan di desa itu. Kami saling berkenalan sebagai awal dari niat membentuk sebuah tim yang solid nantinya. Dengan menggunakan mobil open cup kami diangkut dari kecamatan turun menuju kelurahan. Sepanjang jalan kami bercanda melewati jalan yang terjal dan saling melontarkan pertanyaan-pertanyaan penuh kekhawatiran, tentang bagaimana jika di sana airnya sulit, jika penduduknya tak mau diajak belajar, bagaimana saat kehabisan uang dan tak ada ATM dan sebagainya. Hanya dia, tersenyum…melihat gaya teman-temannya yang mungkin sangat lebay (berlebihan) dan terlalu paranoid, termasuk aku.

Raut mukanya tenang, menikmati alam, mengagumi kebesaran-Nya. Allah akan selalu berada dalam hatinya, tertanam jauh, mengakar sampai ke relung-relungnya. Apa yang perlu ditakutkan jika Allah selalu bersamanya kemana pun dia pergi. Sesekali dia memegangi jilbabnya yang lebar saat tertiup angin kencang, dia tak rela auratnya terbuka. Subhanallah.

Aku menatapnya, waktu itu aku belum hafal namanya. Memang terkadang daya ingatku sangat lemah padahal sekedar mengingat sebuah nama. Allah memberikan nikmat lupa kepadaku. Ah, nanti sesampainya di kelurahan aku akan tanya kembali. Allah mendengar niatku, kami duduk berdampingan, aku bertanya lagi, “Maaf, tadi siapa namamu? Aku lupa.” Dia sama sekali tak marah, dan menjawab dengan senyum indah “Almatin”. “Nama yang cantik” gumamku dalam hati. Hari demi hari aku lewati bersama teman-teman, aku semakin terkesan dengan akhlaknya.

Dia sangat istiqomah, bahkan di dalam posko, di kamar, dimana pun dia tetap setia dengan jilbab lebarnya + kaus kaki yang selalu dia kenakan. Tak peduli seberapa panas udara di sana, walau pun pegunungan tapi karena daerahnya agak turun dari bukit jadi siang hari masih terasa panas bagiku. Tapi dia berbeda, sungguh dia sangat nyaman dengan busana muslimah yang selalu menghiasi tubuhnya. Sejuk yang dirasakannya dalam balutan busana syar’i itu memberi kesejukan pula pada orang-orang di sekelilingnya.

Tak jarang aku dan teman-teman sering bertanya padanya tentang masalah agama yang tidak kami ketahui sumbernya. Dia menjelaskan dengan senang hati dan penuh keikhlasan di wajahnya, tanpa bernada mengajari dan jauh dari ujub kesombongan. Bicaranya selalu tertata, membatasi diri dalam bercanda yang melampaui batas. Saat kami berselisih sesama teman, dialah yang selalu menjadi penengah. Kata-katanya bak air yang sangat dingin mengguyur hati yang gersang. Saat sedang dahaga pun tiba-tiba akan hilang seketika. Subhanallah.

Warga Belajar pun sangat mengenal kesabarannya, bahkan ada yang menangis karna merasa tak bisa-bisa mengeja. Pp..p..pak Bb.. b..b.uudi prrregi ke ss..s..sa…sa…sa w..wwaah (pak Budi pergi ke sawah). Namun, dia sangat sabar. Semangatnya tetap kokoh dan tak pernah luntur. Dia adalah pejalan kaki yang tangguh, bahkan saat kami memilih naik motor dari tempat mengajar karena kebetulan kami medapat tawaran tumpangan para guru-guru yang searah dengan posko kami, dia menolaknya dengan sangat halus “terima kasih saya akan jalan kaki saja.” Begitulah dia sangat menghargai niat baik orang lain.

Uang sakunya sering dia pinjamkan untuk kas atau pada saat ada teman-teman yang kehabisan uang. Maklum di desa terpencil seperti itu mana mungkin ada ATM? Jadi, harus ke kota dulu kalau ingin mengambil uang, padahal jarak dari desa ke kota tidaklah dekat.

Satu yang paling ku ingat adalah kebiasaannya membangunkan kami saat subuh datang. Daerah itu sangat dingin di pagi hari, jadi kami selalu saja malas beranjak dari tempat tidur. Apalagi harus berbasah-basahan dengan air. Tapi Alhamdulillah, keikhlasannya benar-benar membakar semangatku. Hingga dia membangunkanku pula sebelum subuh untuk sholat malam. Sambil menunggu subuh dia secara rutin membaca alma’tsurat beserta artinya dengan suara yang lembut dan sedang, tak keras, tak juga pelan. Aku sangat banyak belajar darinya, dan aku berniat suatu saat nanti ingin meniru akhlaknya, secara perlahan-lahan aku ingin berubah mencontoh keteguhannya. Dia benar-benar tauladan yang baik bagiku. Semoga Allah mendengar niatku ini dan mengabulkan do’aku. Amien.

Dia bernama “Almatin”, ukhti sholehah yang pernah ku kenal, wajahnya lembut penuh keteduhan, matanya jernih namun tak jelalatan, dia tetap tertunduk menjaga pandangan. Seperti namanya, dia memang wanita yang sangat kokoh hatinya, dia memilih berjalan kaki ribuan meter saat banyak sniper-sniper tampan dan tangguh menawarkan tumpangan kepadanya. Dia bernama Almatin, sangat kokoh imannya, tangannya tetap terjaga tertelungkup sopan tanda memberi salam, bahkan pada kakek renta sekalipun.. Dia saudariku muslimah bernama Almatin, indah nian namanya, di ambil dari asmaul husna.

Mohon maaf saudariku,,, jika aku terinspirasi menulis tentangmu, niatku hanya untuk kebaikan. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi juga bagi yang membacanya…. Amin.

Wallahu a’lam bishawab….
Jum’at, 1 April 2009
Sahabat yang akan selalu mengenangmu….
Dan buat Pak Lurah, Bu Lurah dan Cucunya (dek Nurul), salam kangen dari kami. Terima kasih banyak ….
AS Nurani
[email protected]