Hidup di Saudi

Saudi-Ministry-of-Health1921Seperti tahun-tahun sebelumnya setiap aku kembali dari berlibur di Indonesia, badan terasa letih dan kantuk yang amat sangat karena perbedaan waktu antara Jakarta dan Jeddah yang cukup besar- 4 jam. Apalagi perjalanan kemarin itu bertambah lama karena kami sekeluarga harus transit di Kuala Lumpur hingga 7 jam dari yang seharusnya hanya 5 jam. Begitu pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara King Abdul Aziz Jeddah, rasa lega mengisi dadaku. Entahlah di mana asalku kini Indonesia atau Saudi. Tidak terasa hampir 4 tahun sudah kami sekeluarga telah menetap di Jeddah, Arab Saudi.

Suasana malam itu begitu lengang. Tak biasanya jalanan hanya sedikit dilalui kendaraan lalu lalang, padahal baru jam 11 malam. Lampu-lampu tetap menyala terang benderang. Bulan Agustus memang bulan di mana sekolah-sekolah libur. Sehingga penduduk Saudi banyak yang mengisi liburan di negara lain. Angin panas berhembus menerpa wajahku. Ya memang bulan ini adalah bulan terpanas setiap tahunnya. Kulihat buah kurma sudah mulai banyak bermunculan di pohonnya. Apabila masih mentah buah ini berwarna kuning namun ada juga jenis yang berwarna merah, rasanya sepat. Apabila setengah matang rasanya jadi seperti buah sawo. Buah kurma memang selalu muncul menjelang bulan Ramadhan dan akan berakhir di sekitar hari raya Idul Fitri.

Entahlah apa yang membuat kami tetap bertahan tinggal di tempat yang panas ini. Meskipun terkadang perlakuan terhadap kami orang Indonesia sering tidak adil. Perlu diakui begitu banyak orang Indonesia yang tinggal di Saudi dan sebagian besar adalah TKW dan TKI. Teman suami saya bilang heran karena ada orang Indonesia yang cakap berbahasa Inggris. Dia pikir Indonesia hanya negara yang bisa mengirimkan buruh kasar saja.

“Sudah berapa lama kerja dengan orang tuanya?” kata seorang helper Indonesia ketika aku menunggui anakku sekolah.

“Oh saya ibunya”

“Oh maaf bu”, katanya sambil malu dan menutupi mulutnya

“Dia menikah dengan orang Arab ya pak” kata seorang TKW Indonesia kepada suamiku yang sedang menjaga anak-anak sambil menungguku mencoba-coba sepatu di salah satubutik ternama. Suamiku hanya tertawa kecil.

“Punya kompor di rumah pak, kalau punya nasi ini bisa dipanasi di rumah”, kata seorang penjaga toko Indonesia ketika suamiku hendak membeli nasi bungkus.

“Beli roti buat siapa pak?” kata seorang supir Indonesia kepada suamiku yang sama-sama sedang membeli roti. “Buat majikan” kata suamiku sekenanya. Padahal maksudnya untuk isteri dan anak-anak. Langsung supir itu dengan semangat menceritakan susahnya kehidupan di Saudi, di mana uang gajinya sering habis untuk ongkos menelepon keluarganya di kampung.

Tidak hanya orang Indonesia sendiri yang berpikiran semua orang Indonesia di sekitarnya adalah sesama TKW atau TKI. Orang Saudi sendiri sering menganggapku TKW. Ketika suatu saat aku menunggui anakku ke tempat ulang tahun teman satu kelasnya. Aku terpaksa harus memperkenalkan diri ke setiap orang bahwa aku ibu dari anakku. Meskipun sudah berbusana serapi mungkin tetap saja aku dilewati ketika ada salah seorang ibu yang baru datang dan menyalami satu persatu ibu-ibu yang sama-sama menunggui anaknya di ruang pesta. Padahal aku sudah berdiri dari dudukku dan siap menyalami si ibu tadi. Astaghfirullah. Aku hanya bisa berlapang dada.

Ya Allah, sucikanlah hatiku dari nifak, amalanku dari riya, lidahku dari dusta, mataku dari khianat. Engkaulah yang mengetahui segala khianat mata (mata yang khianat) dan segala waswas atau segala yang disembunyikan oleh dada-dada manusia.

Kita masyarakat Indonesia memang harus memperbaiki kualitas diri. Sekarang kita ekspor TKW, tapi suatu saat kita harus bisa mengirim lebih banyak lagi tenaga profesional yang santun, cerdas, dan berakhlak mulia.