Hijrah Kedua sang Musashi

Taiyo-san namanya. Berasal dari belahan barat negeri sakura. Tertarik pada Islam di Indonesia saat pengambilan data untuk thesis masternya. Ketika azan digemakan, orang disekitarnya berbondong-bondong datang ke masjid untuk sholat, bahkan saat rombongan penelitian berada di kawasan hutan belantara sekalipun, mereka melakukan sholat. Ada apa dengan sholat? Pikirnya.

Kelak hal itu terjawab bersamaan dengan jawaban keingintahuannya tentang sumber ketenangan hati. Syahadat pun diikrarkan. Janji Allah, hanya dengan mengingat-Nya hati menjadi tenang. Disitulah letak kebahagiaan hidup hakiki yang dicarinya.

Pernikahan dengan muslimah Indonesia, menambah mantap hijrahnya. Perjuangan mempelajari Islam dilanjutkan melalui bantuan sang istri. “Saya sedang mengajarinya membaca Alquran” Kata sang istri suatu saat. Peranan pasangan hidup di awal membangun mahligai rumah tangga di negeri Sakura, menjadi fondasi kokoh pembentukan jati diri sebagai muslim. Aktif dalam kegiatan keislaman dan bersilaturahmi dengan keluarga pelajar muslim di sekitar, pun dilakukan untuk menjaga kesuburan ruhani mereka.

Kehadiran si kecil Sakina-chan menambah marak kehidupan keluarga Taiyo-san. Tapi di sisi lain, pendidikan dan lingkungan yang jauh dari nilai Islam, membuat risau keduanya. Remaja stress, angka bunuh diri yang tinggi sudah menjadi berita biasa di negeri ini. Pergaulan bebas dan hamil di luar nikah bukan hal memalukan lagi. Kondisi kesehatan mertua di tanah air, menjadi pertimbangan berikutnya. Baik buruk hijrah ke Indonesia, ditimbang dengan cermat. Bismillah, dengan mantap mereka selesaikan semua urusan. Mereka tinggalkan kemapanan hidup yang ada di Jepang.

Berbekal keyakinan dan tekad membina keluarga untuk menjadi lebih baik, musim panas tahun lalu adalah musim panas terakhir mereka di negeri matahari terbit. Hingar bingar Jepang sebagai heiwa na kuni (negeri yang aman dan damai) dan yutaka na kuni (negeri yang kaya), tidak menyurutkan langkah mereka menuju negeri yang secara fisik berbeda dari Jepang. “Rizki sudah diatur oleh Allah dan Allah akan selalu bersama orang-orang yang sabar,” Begitu keyakinannya. Dan hijrahlah Taiyo-san ke Indonesia.

Di saat ratusan orang Indonesia berkompetisi untuk dapat bekerja di Jepang, Taiyo-san justru mencari pekerjaan di Indonesia. Nyalinya untuk mengambil resiko bukan tanpa perhitungan. Kenyakinan akan nashrullah memayungi langkahnya. Akurasi perhitungan hidup di Indonesia dirancang dengan baik, mengingatkan pada samurai zaman Edo, Miyamoto Musashi yang selalu akurat memainkan pedang.

Ketika ditanya sampai kapan tinggal di Indonesia.
“Sampai mati, karena saya ingin dikubur di sana”, jawabnya mantap. Semantap sang mushashi menghunus pedang ke tubuh lawan.

Subhanallah, memang Indonesia butuh orang-orang bermental pejuang sepertimu.

Okayama, 6 Muharram 1430 H
[email protected]