Hikmah di Balik Sebuah Catatan

Buku lusuh berwarna hitam. Terselip di antara tumpukan-tumpukan baju dalam rak lemari. Buku yang pada halaman pertamanya bertuliskan tinta biru agak besar dan berbunyi: Catatan Harian.

Saya tergerak untuk mengambilnya kembali. Membuka lembaran demi lembaran catatan lama. Walaupun kata Dr. Aidh Al-Qarni, penulis buku La Tahzan, buat apa membuka lembaran lama, jika hanya kesedihan yang didapat.

"Saya tiba di Brunei, pertengahan Januari 2004. Sebuah negeri kecil yang dipimpin Sultan Hasanal Bolkiah, yang bergelar Mu’izzadin Waddaulah. Begitu tiba di bandar udara, sampai ke rumah majikan, saya disodori simbol-simbol ke-Islam-an yang begitu kental. Dari tulisan Arab di jalan-jalan, bertaburannya kata assalamu’laikum dari mulut-mulut orang yang saya temui, sampai jenis pakaian Islami yang mereka kenakan."

"20 Januari, bekerja di sebuah perusahaan keluarga milik seorang haji, tapi tidak menampakkan sifat ke-haji-annya. Sebab banyak kata yang keluar dari mulutnya, sering menyakiti kami para pekerjanya. Kaligrafi ayat-yat al-Qur’an yang terpampang di dinding rumahnya, belum mampu menjadi cermin baik sang pemilik rumah tersebut."

"24 Januari, menjalani sistim kerja yang tidak memakai aturan buruh pemerintah setempat. Kami bekerja lebih dari empat belas jam sehari, tapi kelebihan waktu tak pernah dihitung overtime."

"6 Pebruari, bertemu dengan salah satu orang dari agen tenaga kerja yang memberangkatkan saya. Saya ingat betul kata-katanya yang begitu manis. Tetapi kesemuanya tidak pernah saya temukan kebenarannya."

"13 Pebruari, menerima kabar dari salah seorang keluarga di tanah air. Yang memberi tahu bahwa, kalau saya sudah menerima gaji, cepat-cepat dikirimkan ke Indonesia. Sebab orang yang memberi piutang pada saya sudah berkali-kali menagih."

"27 Pebruari, kerinduan kepada kampung halaman, adalah sesuatu yang selalu meliputi hari-hari saya. Apalagi situasi pekerjaan kami yang belum juga cocok dengan yang saya idam-idamkan."

"3 Maret, sempat berkumpul dengan kawan-kawan dari Indonesia yang lain di beranda masjid. Kami bercerita tentang banyak hal. Dan saya menemukan sebuah keanehan bahwa ternyata, doa seorang TKI dengan saudara-saudara kami di tanah air, berlawanan. Seorang TKI berdo’a: Semoga kurs dollar terhadap rupiah makin tinggi. Sehingga bisa cepat-cepat mengirim banyak uang kepada keluarganya. Sebaliknya para pekerja di tanah air berdoa: Mudah-mudahan kurs dollar terhadap rupiah makin rendah, sehingga harga-harga tidak melambung terus."

"12 Maret, berjumpa dengan sahabat perempuan dari Jawa Timur yang bekerja di sebuah restoran. Saya sempat berbicang dengan dia. Dan menanyakan mengapa pakaiannya setiap dua hari sekali selalu berganti mode. Dua hari pertama memakai jilbab dan pakaian Islami, layaknya muslimah taat. Dua hari kedua, memakai jilbab juga, tapi dipadu dengan T-shirt ketat dan celana jeans ketat pula. Dua hari ketiganya lain lagi. Masih pakai kerudung tapi pakaian dan celananya mirip laki-laki. Setelah saya tanya, dia menjawab: "Penampilan kami ini punya nilai jual, mas. Yah, sekedar untuk menarik pelanggan."

Saya berhenti membaca sejenak. Mencoba mencari-cari catatan-catatan saya yang agak bisa memberikan saya tersenyum. Namun nyaris tidak saya ketemukan. Adanya kepahitan-kepahitan yang saya jalani. Tiba-tiba saya terlintas suasana saat Idul Fitri yang penuh berkah itu.

"16 November, saya mendapat kesempatan untuk bersilturrahmi dengan Sultan Hassanal Bolkiah di Istana Nurul Iman. Suatu kesempatan yang luar biasa. Baru pertama kali saya bisa berjabat tangan dengan pemimpin sebuah negara seumur hidup saya. Anehnya bukan presiden negara saya, tapi justru pemimpin negara lain. Saya dan kawan-kawan dari Indonesia lainnya dijamu dengan luar biasa. Kami dipersilkan untuk makan dan minum sesuka hati. Dan tinggal memilih mana makanan dan minuman serta buah-buahan yang paling kami sukai. Sebab banyak macamnya. Hari itu saya merasa ada di pinggir sorga."

Setelah membaca itu saya menutup kembali buku harian saya. Saya kembalikan ke tempat semula. Saya tidak bergairah lagi untuk membacanya apalagi meneruskan kembali tulisan-tulisan saya. Saya merasa kehilangan semangat. Karena terlalu banyak catatan yang membuat saya getir dan pahit.

Namun, suatu saat saya teringat kata-kata orang alim, bahwa setiap jejak langkah kita, setiap peristiwa yang menimpa kita, baik yang mengandung tawa maupun tangis, baik yang manis ataupun yang getir, bukanlah semata-mata keinginan kita. Akan tetapi di balik itu semua Sang Sutradara Dunia, Allah SWT, ikut berperanan di dalamnya.

Akhirnya saya mencoba untuk menuliskan kembali, tentu untuk saya baca sendiri. Dengan keyakinan ada pelajaran atau hikmah yang terselip di balik coretan-coretan itu. Dan saya makin mempercayainya. Bukankah jika Allah yang menentukan, berarti itu jalan terbaik bagi kita? Wallohua’lam.

<woyo72 at yahoo dot com>