I Don't Need It

Hari itu ruangan di labku sepi. Teman-teman lab yang lain, mulai jarang menampakkan batang hidungnya di lab. Mungkin juga karena hari-hari panjang libur kuliah menjelang musim semi akan mulai datang. Bagi teman-teman labku, sepertinya, libur menjelang musim semi ini, adalah penyegaran untuk mengumpulkan semangat untuk kembali bertempur dengan serangkaian kesibukan-kesibukan seorang mahasiswa saat musim gugur nanti. Bahkan, untuk mahasiswa S1 dan S2 yang sudah menyelesaikan tugas akhir mereka, mulai merancang perjalanan ke luar negeri.

Aku berada di tempat dudukku. Sebuah meja dan kursi yang sebenarnya diperuntukkan untuk pertemuan lab, antara mahasiswa dan sensei. Tapi, apalah daya, labku udah hampir penuh orang, juga bersamaan dengan sedemikian banyaknya peralatan komputer dan buku-buku yang semakin menyesakkan ruangan dengan ukuran sekitar 5×5 meter itu.

Pusing sendiri ternyata tidak enak. Program yang kupandangi sejak tadi tidak menemukan jawabannya. Aku mengerti konsep dasarnya, tapi menerjemahkannya dalam bahasa program ternyata aku masih perlu lebih mengulik lebih dalam. Biasanya kalau sudah berada pada kondisi seperti ini, aku lebih suka bertanya dengan tutorku, seorang mahasiswa S2 yang ditugasi sensei untuk mengajariku tentang penelitian yang akan aku kerjakan.

Alhamdulillah hari itu dia datang. Sebenarnya, kadang terbersit perasaan malu karena sangat sering aku bertanya. Bukan apa-apa, dia menjawab dengan sederhana setiap pertanyaanku, tidak sesulit bayanganku. Tapi, kalau aku malu bertanya, aku akan semakin sesat dijalankan?

Berkomunikasi dengan tutorku berarti berkomunikasi dengan terengah-engah. Dia terbata-bata jika berkomunikasi dalam bahasa Inggris, sedangkan aku berbahasa Jepang sangat jauh dari lancar. Karena itu, biasanya, berdiskusi dengan dia mestilah menggunakan alat bantu kamus. Kadang jenuh juga berhadapan dengan kondisi seperti ini. Tapi, kalau aku mengeluh terus karena language barrier, kapan akan selesainya penelitianku?

Mungkin karena dia juga merasakan capeknya saat berkomunikasi denganku dalam bahasa Jepang, dia mulai menggunakan sepatah dua patah kata bahasa Inggris saat menerangkan logika sebuah algritma. Dan, akhirnya, kita berdua membuat sebuah kesepakatan. Dia akan mengajariku programming dan menerangkannya dalam bahasa Inggris, dan aku akan membenarkan pengucapan-pengucapan kalimat-kalimat bahasa Inggrisnya. Simbiosis mutualisme antara kami berdua mulai berjalan. Bahkan lebih dari itu, dia mulai tidak segan-segan untuk membenarkan pengucapan kalimat-kalimat bahasa Jepangku yang kadang keluar dari koridor grammar yang baik dan benar.

Juga hari itu. Dia menjawab pertanyaanku dalam bahasa Inggris. Dan akhirnya, mulailah dia bercerita.

Fety-san, sekarang aku lagi belajar bahasa Inggris. Biasanya mendengarkan pelajaran bahasa Inggris lewat radio NHK”. ungkapnya di tengah-tengah pelajaran programmingku. Dia bercerita dalam bahasa Inggris.

Oh yah?”, aku surprais mendengarnya. Mungkin ini juga termasuk persiapannya untuk meneruskan ke program doktor tahun depan. Di saat tahun ini, teman-teman angkatannya mulai mencari pekerjaan, dia lebih fokus dengan penelitiannya di bidang pengolahan data gempa (Di Jepang, mencari pekerjaan dilakukan setahun sebelum kelulusan sehingga sesudah wisuda kelulusan, yang biasanya dilakukan bulan April, semua lulusan baik S1, S2 atau S3, sudah mulai bekerja).

Kenapa radio? Bukannya di televisi NHK juga ada siaran berita dalam bahasa Inggris setiap jam 9 malam”, tanyaku.

Di rumah kami tidak ada TV”, jawabnya.

Hmm, menarik nih, batinku. Tentu bukan karena alasan keluarganya tidak mampu membeli TV, itu yang terlintas di pikiranku saat itu.

Kenapa tidak ada TV”, tanyaku. Mungkin pertanyaan retoris. Tapi aku ingin bertanya alasan keluarganya tidak memiliki TV di rumah.

Kami tidak butuh TV”, jawaban sederhana itu mampu membuatku terkejut. Tidak memiliki TV karena tidak butuh?, tanya batinku lagi, bertanya pada diri sendiri.

Salut. Sebuah pilihan yang dipilih dengan sadar. Bukan karena keterpaksaan. Memutuskan memiliki sesuatu berdasarkan tingkat kebutuhan. Kalau memang tidak butuh, mengapa harus memiliki. Juga dengan TV.

Dan, aku teringat dengan suasana di Indonesia. Hampir semua rumah menjadikan TV sebagai kebutuhan pokok, sesuatu yang kepemilikannya menempati rangking teratas, setelah pemenuhan kebutuhan pokok. Dan kadang, acara TV menemani mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali. Bahkan, beberapa asistem rumah tangga di Indonesia, menjadikan TV sebagai senjata ampuh untuk menenangkan dan menghilangkan tangis anak-anak asuhannya.

Sepertinya kita memang harus memulai berfikir tentang acara menonton TV. Dan mulai mengajari anak-anak untuk memutuskan menonton sebuah tayangan atau tidak dengan sebuah pertanyaan: butuhkah kita menonton tayangan itu? Dan kalau kita memang tidak butuh, mengapa tidak kita matikan saja TV kita dan melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. Itu saran seorang Miran Risang Ayu dalam bukunya, Cahaya Rumah Kita. Karena TV, kadang juga bisa menjadi musuh untuk perkembangan jiwa generasi bangsa.

http://ingafety.wordpress.com