Idealnya Seorang Haji

Ketika teman sepermainannya bisa meneruskan sekolah ke SMA, ia tidak bisa karena kondisi orang tuanya yang tidak mampu. Ia ikut saudara ibunya yang sudah mapan di Jakarta. Di ibukota itulah ia mulai bekerja. Mula-mula ikut membantu saudaranya yang membuka usaha dagang.

Sejak pindah bekerja di rumah seorang keturunan Arab, niatnya untuk beribadah haji tiba-tiba muncul. Tapi tentu saja ia sangat menyadari, bahwa sebagai seorang sopir, kemungkinannya untuk melaksanakan rukun Islam yang ke lima, sangat tipis. Karena butuh biaya banyak.

Tiga tahun bekerja di Jakarta, ia memutuskan untuk pulang. Niatnya untuk naik haji tidak surut. Ia segera mendaftar sebagai seorang calon TKI ke Arab Saudi. Alasannya, dengan menjadi seorang TKI ke Arab Saudi, kemungkinannya untuk beribadah haji lebih besar. Karena sudah berada di kawasan tanah suci.

Uang dibayarkan, ‘medical chek’ dilaksanakan dan proses menunggupun dimulai.
Tunggu punya tunggu, visa bekerja di luar negri tak juga turun. Ternyata informasi selanjutnya yang di dapat, uang yang seharusnya sudah masuk PJTKI itu dimakan calo di daerah. Ia gagal ke Arab Saudi. Gagal pula keinginannya untuk beribadah haji.

Tak surut semangatnya. Gagal ke Arab Saudi, ia mencoba mendaftar ke Brunei Darussalam. Kali ini tidak ada halangan yang serius. Dua tahun bersama saya di Brunei. Sekembali dari negri Sultan itu, niatnya untuk bekerja sebagai sopir di tanah suci tidak kendor.

Ia mencoba mendaftar lewat PJTKI lain ke negri raja Fahd itu. Namun kali inipun ia gagal lagi. Sebab waktu itu di Timur Tengah situasi politik sedang menghangat, karena invasi Amerika ke Irak.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, ia kembali ke Brunei. Niat haji tak juga luntur. Bahkan tambah menggebu. Namun lagi-lagi niat itupun belum juga terlaksana. Kali ini, calon isterinya yang sedang bekerja sebagai TKW di Singapura, mengajaknya untuk menikah. Musim haji tahun lalupun ia belum terkabul untuk bekerja di Arab Saudi.

Setelah menikah, niatnya ziarah ke tanah suci sembari jadi TKI, ternyata tidak pudar. Ia justru makin menggebu, dan setelah menikah nanti akan langsung ke sana bersama sang isteri. Namun kali ini kendala datang justru dari isterinya sendiri. Ia tidak mau bekerja di Arab Saudi, dengan alasan majikan di sana cenderung lebih keras ketimbang di negara-negara lain.

Dia pasrah kepada Allah. Niatnya menziarahi makam Rasul yang ia cintai belum terkabul. Saat berjumpa dengan saya beberapa waktu lalu, ia berkomentar tentang belum berhasilnya ke tanah suci itu.

Kata dia, “ Ternyata masih banyak sekali bentuk ibadah lain yang belum bisa saya kerjakan dengan baik. Saya akan mantapkan dulu ibadah harian saya sebelum kelak bisa ke tanah suci. Sebab setelah saya teliti sendiri, ibadah harian saya masih berantakan dan seenaknya.”

Kalimat itu sangat sederhana, tapi jika direnungkan ternyata betapa dalam maknanya. Ia mengatakannya kepada saya nyaris seperti berkelakar, namun setelah saya pikir rupanya merupakan bentuk kritik membangun juga kepada kita yang belum bisa melaksanakan ibadah haji.

Memang idealnya, atau paling tidak -alahkah baiknya-, sebelum naik haji kita sudah terbiasa mantap dengan ibadah -ibadah harian lainnya setiap hari di rumah. Sehingga pada saat kita sudah mampu memenuhi panggilan-Nya, insya Allah kita bisa dengan mudah melaksankan rukun dan sunahnya ibadah haji.

***
Purwokerto <[email protected]>