Idola Yang Tersingkirkan

al azhar kairoSuatu saat, setelah solat subuh berjamaah di masjid Azhar, saya senang sekali bisa bertemu kembali dengan salah seorang teman dari perancis berkebangsaan magribi a.k.a maroko, yang sudah lama saya tidak bercengkrama dengannya. akhirnya pada kesempatan itu kami pun berbincang-bincang dalam kesepian dan keheningan masjid Azhar yang dingin. Kami berbicara di dekat pintu utama, lalu kami melihat dari sana sesosok pria tua sedang duduk berdzikir pagi, seorang pemuda sedang membaca Qur’an, juga segelintir orang duduk menuggu waktu terbitnya sang surya.

Tak lama kemudian muncul seorang wanita muda kemungkinan dari Bangladesh beserta anaknya yang masih kecil, mungkin keduanya dari golongan ‘Bahaiyah’ atau ‘Syiah’ –wallahu a’lam-. Biasanya mereka datang berbondong-bondong dengan keluarga besarnya untuk melakukan solat yang saya juga tidak paham, solat apa yang mereka lakukan setelah kaum muslim melaksanakan solat subuh berjamaah di masjid. Karena mereka melakukan solat yang sedikit berbeda dengan gerakan yang begitu cepat, sering dilakukan berulang-ulang kali, menghadap mimbar fatimiyah yang berada didalam masjid Azhar.

Lalu saya katakan kepada teman saya yang bernama Husein itu “Azhar ini terlalu toleransi ya!”, “tidak ya akhi, jangankan mereka, orang-orang turis dari bule hingga chiness non-muslim pun dibiarkan masuk dan berkeliaran kedalam masjid ini”. Kami hanya tersenyum, terpikir oleh saya, mungkin ini juga bagian dari da’wah dan kemurahan islam, teringat Syaikh Ali jum’ah pernah mengatakan “siapa tahu, mereka ada yang mendapatkan hidayah setelah memasuki rumah Allah ini.”

“Yasin gimana, apa yang sebenarnya ingin kau lakukan kelak? Akitfitas apa yang sering kau lakukan agar sukses di negeri ini” ia pun tiba-tiba bertanya pada saya.

“yah, beginilah, tidak ada hal yang istimewa yang saya lakukan, hanya aktifitas biasa yang biasa dilakukan oleh orang-orang”. Ketika ditanya pertanyaan seperti ini, terbesit dalam benak saya, dibarengi dengan rasa malu, memang selama ini jarang saya menemukan diri ini melakukan hal-hal istimewa yang dilakukan oleh orang orang yang setiap harinya melakukan aktifitas pengajian dengan syaikhnya, rajin menelaah segudang kitab, hingga menghafal Qur’an. Jangankan untuk menjadi seorang yang menjadi ‘harapan umat’, melihat Husein pun, yang setiap hari nya hanya bergelut dengan ibadah dan kitab, saya masih terlalu jauh.

“kau sudah mendengar, bahwa Azhar sekarang turun kualitasnya karena hafalan Qur’an untuk Mahasiswa wafidzin (asing) hanya 1 juz pertahun, berbeda sebelumnya yang mewajibkan hafalan 2 juz!” Tanya Husein.

“sebenarnya keluhan sulitnya menghafal ini sudah diutarakan oleh para mahasiswa asing baik itu dari sebagian indonesia dan Negara-asing lainya.” Jawabku.

“Ini juga tak bisa menjadi alasan, toh itu juga tenggang waktunya setahun, waktu yang sanggat sangat lama sekali. Dibadingkan dengan mahasiswa arab yang diwajibkan menghafal quran sebanyak 7,5 juz pertahun, hingga ketika lulus sarjana nanti sudah hafal Quran, tentu itu tidak ada apa-apa.” Tegasnya

“ia juga sih, Cuma kan kalau kita melihat latar belakangnya, tentu kita melihat bahwa orang arab mempunyai kekuatan hafalan Qur’an yang luar biasa.” Saya berusaha obejktif melihat kondisi ini.

“tidak bisa jadi menjadi alasan sin, selama mahasiswa itu datang ke mesir dan berpredikat mahasiswa Azhar, maka konsukuensi nya ia harus bisa menyesuaikan dengan apa yang dia menjadi bagian darinya. Azhar adalah produsen para penghafal Quran, kekuatan Azhar sebenarnya, adalah para mahasiswanya menghafal Qur’an. Jangankan untuk Mahasiswa jurusan agama, hafalan ini juga diwajibkan untuk mereka yang belajar sarjana teknik, dokter, ekonomi hingga kuliah umum lainnya, setelah lulus, mereka yang notabene sarjana-sarjana umum ini adalah parah Hafidz Qur’an.”

“sin, mahasiswa indo, setelah saya bercengkrama dan berteman dengan mereka selama ini, dan melihat fenomena perilaku para mahasiswa lainya, saya melihat tidak ada yang mereka kerjakan dan sungguh-sungguh berupaya menghafal Qur’an. Saya melihat, mereka terlalu banyak mainnya daripada kesungguhan. Coba kau bayangkan, sehari itu 24 jam, kemudian seminggu, sebulan, dan berbulan bulan, hingga setahun. Waktu sebanyak itu, apa yang mereka kerjakan. Jika alasannya dihabiskan untuk belajar, acara dan waktu yang sempit, saya kira tidak masuk akal. 2 juz itu Cuma 20 lembar. Lalu letak kesulitannya dimana?

“benar juga akh, Cuma sebaiknya jangan terlalu menjenaralisir. Masih banyak mahasiswa lainya yang masih gemar menghafal Qur’an. Juga, sebenarnya desakan agar penurunan hafalan ini juga, tidak mewakili seluruhnya, hanya sebagian saja.”

Sejenak saya berfikir, adakalanya benar apa yang dikatakan Husein, saya juga sering mengalami hal demikian, mungkin saya juga menjadi bagian apa yang diamati oleh Husein. betapa waktu ini berjalan kosong dilewati oleh berbagai aktifitas aktifitas yang tak penting. Kesungguhan kadang tidak selalu muncul, mungkin karena kesungguhan ini belum menjadi sebuah kebiasaan yang semestinya dipegang oleh para mahasiswa.

“Husein, itu juga menjadi fenomena yang mengkhawatirkan saya kira..”

“bukan saja mengkhawatirkan, tapi ini adalah sebuah penyakit yang mesti dihilangkan, penyakit yang menjangkiti para pemuda hingga para intelektual sekarang ini. Bukan hanya malas dengan Alqur’an, tapi lebih dari itu, orang orang sudah tidak lagi menghormati Qu’ran, bahkan orang-orang yang ‘so-called intelektual’ itu sudah berani meragukan AlQuran dan menginjak-injak kesuciannya.”

Tak lama kami pun hanya terdiam, saya Cuma berfikir, fenomena ini yang sedang terjadi di belahan dunia, banyak kaum yang mengaku dirinya muslim tetapi jarang sekali dekat dengan Qur’an bahkan ada yang meragukannya.

“Husein, bisakah kau memberikan saya nasihat, apa yang membuat mu tetap konsisten dalam menjalani hidup ini”. Mungkin saja, dengan pertanyaan seperti ini, saya mendapatkan spirit baru.

“Sebenarnya, kita ini butuh figur dan tauladan sin. Dan inilah kadang-kadang yang dilupakan oleh kebanyakan orang. Mereka mempunyai Figur idola, tapi sayangnya idola mereka bukan seseorang yang layak menjadi idola, tapi justru idola-idola yang menyeret mereka kedalam kehidupan yang menjauhkan dari agamanya. Hal yang menjadi pegangan saya selama ini, teringat, waktu dahulu ketika saya membaca sirah sahabat Rasulullah –Solli alaihi- bernama Mus’ab bin Umair.

Sahabat muda, paling tampan di zamanya, sanggat wangi, cerdas, kaya, terhormat, dan label-label dunia melekat pada dirinya. Ibunya sanggat mencintai dan menyanyanginya, ayahnya adalah seorang bangsawan terhormat di kaumnya. Siapa orang yang tidak ingin dekatnya? Wanita mana yang tidak tetarik kepadanya? Dunia sudah berada di gengamannya. Kenikmatan dunia sudah ia dapatkan. Namun dirinya tidak pernah larut bersama pesta pora para pemuda dizamannya.

Sampai suatu ketika, ia mendengarkan para pemuka Quraisy sedang membicarakan sosok kontroversial yang membawa ajaran baru ditengah tengah mereka, sebuah ajaran yang berbeda dengan para nenek moyangnya, ajaran yang tidak menyembah berhala, ajaran yang tidak membedakan antar miskin dan kaya, lemah dan kuat, yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah, yang menimbulkan gejolak baru luar biasa dikala itu. Akhirnya Mus’ab bin Umair pun penasaran dengan sosok bernama Muhammad itu, sampai akhirnya ia pun bergegas datang ke Darul ArQam ibn abi Arqam, tanpa langsung mengetuk pintu, mengucapkan salam dan duduk bersama mereka.

Sebuah perilaku yang tidak biasa, karena dakwah dizaman itu masih dalam keadaan sirri (sembunyi). Akhirnya Mus’ab pun masuk kedalam islam dan menjadi Murid Rasulullah, namun Mus’ab masih merahasiakan keislamannya, hingga suatu saat Ustman bin Tolhah menemukan Mus’ab dalam keadaan solat, hingga memberitahu ibunya perihal keislamannya. Sampai ibunya merasakan goncangan luar biasa dan menunggu sang anak untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. Akhirnya Mus’ab pun meceritakan “bahwa dirinya telah masuk islam, sebuah agama AL HAQ, yang akan menyelamatkan manusia dari azab di hari kiamat, sebuah agama yang kau harus masuk kedalamnya”.

Tentu saja ibunya menolak. Ayah dan ibunya berusaha membujuk Mus’ab agar kembali kepada agama nenek moyangnya, dan meninggalkan islam. Juga menawari dengan berbagai macam harta, tahta, hingga kenikmatan dunia lainya. Berbagai sikap keras dan ancaman tidak meluluhlantakan, Tapi Justru Mus’ab menolak semua itu dan tetap kokoh dengan keimanannya kepada Allah dan Rasulnya. Sampai akhirnya Rasullulah mengutusnya hijrah ke Habasyah. Serta melepaskan semua kenikmatan harta dan dunia yang dulu ia punya, demi menjalankan tegaknya islam di dunia ini. Ia pun menjadi guru utusan dari Rasulullah untuk mengajar dan menyebarkan dakwah di madinah.

Dan yang lebih utama lagi, ia menjadi kepercayaan Rasululullah, dalam membawa/memegang bendera islam terbesar dalam peperangan besar Badar yang dimenangkan oleh kaum muslim, juga perang Uhud, yang akhirnya, ia pun menemukan syahidnya dan dipanggil oleh Allah Azza wajalla, yang akhirnya bendera kebanggan kaum muslim di pegang Oleh Ali -radiallahu ‘anhu-, benarlah firman Allah, “minal mu’mini rijalun sodaqu ma ‘ahadullah alaihi, faminhum manqada nahbahu waminhum man yantadhir”.

“dan dari sinilah, saya melihat, ketika orang-orang justru sibuk dan mengejar urusan dunia, justru mus’ab meninggalkan dunia yang telah ia miliki untuk menyibukkan dirinya dengan tegaknya islam di dunia ini. Inilah yang menjadi spirit saya dalam komitmen hidup ini”, “Akhi, itu hanya satu contoh teladan dan motivasi, masih banyak contoh-contoh lainya dari sahabat lainnya, hingga para tabi’in dan salafusolih setelahnya. Seandainnya, orang-orang sekarang mau menelusuri ratusan ribu kisah-kisah menakjubkan para solih terdahulu, niscaya orang-orang tidak perlu lagi dengan tokoh-tokoh fiktif, intelektual keblinger, hingga para idola yang menyesatkan itu dalam dirinya.” “semoga ini menjadi pelajaran berharga untuk kita semua”. Husein pun tersenyum menyakinkan, saya hanya terdiam mendengar nasihat-nasihat mulianya, sungguh saya saat itu menjadi malu luar biasa.

Tak terasa, matahari sudah menunjukan kewajibannya menyinari dunia ini, kami pun segera melaksanakan solat duha, dan meninggalkan masjid. Di jalan, saya hanya berfikir dan berfikir, kapan saya bisa menjadi orang-orang yang sudah lebih dahulu berjuang, atau jangankan mengikuti mereka, melihat keseharian Hussein yang luar biasa pun, diri ini masih jauh untuk dibandingkan dengannya.


Dunia kau kejar, akhirat tersingkir

Dunia tak kau dapat, akhirat luput

Padahal

Kaum mukmin sejatinya

Dunia dipahami, Akhirat kau dapati

Karena selama ini idola saya adalah orang yang tak menentu, tak berarti dan tak berguna, maka kehidupan saya pun menjadi tak menentu, tak berarti dan tak berguna! Benar, sebagian orang yang mengaku dirinya muslim, termasuk diri saya ini, sudah melupakan sejarah kebanggaan mereka, sejarah dimana orang-orang terdahulu menjadi manusia manusia paling suci dan terhormat disisi Allah ‘Rabbul Alamin’

Mohon doanya dari sahabat, dan salam dari kairo

Yasin Mohammad [email protected]