Ilmu-ilmu yang Berserakan

Beberapa hari menjelang kepulangan saya ke Indonesia, saya dianggap gila oleh beberapa kawan. Masalahnya adalah, saya tidak mengambil jatah tiket pesawat yang sudah disediakan majikan saya. Sedangkan yang saya pilih adalah meminta dibelikan tiket bus. Aliasnya, saya memutuskan pulang lewat darat.

Wajar saja, bila teman-teman saya menganggap saya gila. Sebab siapapun akan membandingkan, bahwa naik pesawat akan lebih nyawan ketimbang dengan kendaraan darat. Banyak kelebihan didapat dari perjalanan udara itu. Lebih cepat, tidak capai dan banyak pelayanan yang membuat kita lebih enak dibanding dengan dalam bus. Tidur sebentar dalam pesawat, tiba-tiba sudah di bandara Sukarno Hatta Jakarta, atau Juanda Surabaya.

Dari Brunei, memasuki Serawak Malasyia Timur, dan baru memasuki propinsi Kalimantan Barat, adalah angan-angan saya sejak dulu. Apalagi kalau kesampaian mengarungi laut Jawa yang luas itu.

Saya bertekad bulat pulang lewat darat bukan karena iseng. Tapi ada sesuatu hal yang melandasi tindakan saya itu. Bahwa beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengalami hal yang sebenarnya tidak pernah saya inginkan.

Kisah kecil ini bagi saya terlalu menarik untuk dilupakan begitu saja. Suatu hari saya sedang mengalami kesulitan yang luar biasa. Niatnya saya mau minta tolong dalam hal finansial kepada paman saya. Sayang sekali rumah paman saya terlalu jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Satu-satunya alat transportasi kesana hanya ada ojek. Ojek ke sana mahal. Saya tak punya uang. Mau pinjam ke kiri kanan, malu rasanya. Akhirnya saya terpaksa harus jalan kaki. Menyelesuri sawah, sungai, ladang, hutan. Karenakalau lewat jalan besar, saya malu dengan para pengojek yang berseliweran setiap saat.

Sampai di rumah paman saya, badan sudah sangat lelah. Namun kelelahan itu segera terobati dengan mengingat kembali beberapa kejadian dalam perjalanan yang saya jumpai. Yang kalau saya ceritakan akan menjadi banyak sekali. Yangjika saya tulis akan menjadi rangkaian kata-kata yang tak kan pernah selesai. Yang pada proses perjalanan kehidupan selanjutnya, menjadi sebuah pelajaran tentang kearifan kepada diri saya sendiri.

Kearifan? Ya, kalau boleh saya menyebutnya begitu. Betapa tidak. Ketika perut ini sangat lapar, dan tak ada uang untuk membeli makanan, maka singkong mentah pun begitu nikmat untuk dimakan. Ketika tenggorokan kering karena kehausan, maka seteguk air sungai yang berwarna kemerahan pun begitu nikmat untuk diminum. Allah maha besar, sehingga hamba yang kecil ini diberi pelajaran tentang makna syukur dari sebuah perjalanan.

Sejak itu, saya senang sekali mengadakan perjalanan. Baik di sekitar daerah saya, maupun daerah lain. Saya merasakan ada manfaat sangat besar dari perjalanan yang saya lakukan. Ada banyak sekali ilmu berserakan yang saya sendiri kerepotan untuk memungutnya, kecuali sedikit saja.

Akhirnya, ketika konrtak kerja saya habis, dengan tekad bulat saya menyambar kesempatan baik ini untuk menyelusuri sedikit hutan-hutan di Kalimantan yang maha luas itu. Naik bus, melintasi hutan Serawak di bagian Sabah MalaysiaTimur.

Saya menjadi tahu bagaimana amannya terminal di beberapa kota di Malaysia. Saya jadi tahu bagaimana menghadapi rayuan para calo, di Kuching, salah satu kota besar di Serawak. Dan saya juga jadi lebih waspada terhadap beberapa orang yang ingin berbuat kurang baik kepada para penumpang di Entikong, sebuah kota kecil di perbatasan Malaysia- Indonesia.

Tentu saja, saya bukanlah Rasulullah yang ketika perjalanannya menuju "sidratul muntaha", langit ke tujuh, diperlihatkan hikmah-hikmah untuk umatnya oleh malaikat Jibril. Namun walau demikian mudah-mudahan perjalanan saya yang sedikit itu bisa menjadi pelajaran bagi diri saya sendiri.

#[email protected]#