Imam Salat Kami

Sosok seseorang memang tidak bisa dilepaskan dari penampilannya. Wajar. Sebab, hal pertama yang dinilai dari seseorang itu adalah penampilannya. Namun, itu pun tidak menjamin bahwa orang tersebut baik. Sebab, kepribadian pun turut memengaruhi penilaian orang lain. Karena itu, ada pepatah bahwa jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Benar! Sebab, kita tidak akan bisa mengerti karakter seseorang hanya dari melihat luarnya saja.

Tidak jauh dari kantor saya, terdapat gedung perguruan tinggi swasta. Di situ, ada bangunan masjid yang sekarang dalam proses renovasi. Meski begitu, masid tersebut sering digunakan untuk salat Jumat dan pengajian mahasiswa setempat. Tidak hanya mahasiswa yang salat di situ, tapi juga karyawan-karyawan di gedung perkantoran tempat saya bekerja. Jika petang menjelang, suara muazin mulai mengumandangkan azan Maghrib yang terdengar sampai runag kerja kami. Suaranya lantang dan indah. Mungkin, muazin tersebut tartil dalam membaca Alquran.

Tiap ashar sesampai di kantor, saya menyempatkan untuk salat di masjid tersebut. Pada saat bersamaan, ada seorang petugas kebersihan yang membersihkan dan mengepel masjid itu. Dia memang sering terlihat membersihkan masjid pada pagi atau sore hari. Mungkin saja dia berasal dari luar Surabaya. Sebab, tidurnya pun di situ. Namun, tiap Minggu dia tak tampak, mungkin pulang ke rumahnya.

Rajin, itulah kesan saya kepadanya, laki-laki yang sering mengepel masjid itu. Usianya mungkin sekitar 40 tahunan. Saya sendiri tak seberapa mengenal beliau. Jikalau hanya menilai sosok seseorang dari luarnya, tentu kita bisa saja tertipu. Begitu pula saya terhadap bapak yang sering membersihkan masjid itu. Awalnya, saya tak begitu memberikan perhatian lebih kepadanya. Sebab, saya jarang mengikuti salat Maghrib berjamaah di masjid tersebut, lebih sering di musala kantor.

Namun, manakala saya untuk kali pertama mengikuti salat Maghrib berjamaah di masjid itu hati ini terkesiap. Rupanya, bapak yang sering mengepel masjid kampus tersebut adalah muazin yang sering mengumandangkan azan Maghrib. Dialah pemilik suara indah saat berazan itu.

Belum berakhir sampai di situ, saya dan beberapa rekan kantor berdiri di deretan shaf pertama. Tak lama kemudian, bapak yang menjadi muazin tadi maju di posisi paling depan. Ya, dia mengimami salat Maghrib berjamaah tersebut. Mulai takbiratul ihram, bacaan Al-Fatihah dan surat selanjutnya, dilantunkan juga dengan merdu. Indah. Membuat kami khidmat mengikuti tiga rakaat cinta tersebut. Subhanallah.

Mulai saat itu sampai hari-hari selanjutnya, saya sering mengikuti salat Maghrib jamaah di masjid kampus itu. Sama sekali, saya tidak menyangka bahwa bapak yang sehari-hari mengepel masjid tersebut adalah imam salat kami.

Kalau saja waktu tak mempertemukan saya yang berdiri pada shaf di belakang imam salat itu, mungkin si pengepel itu masih dipandang sebagai pengepel. Namun, tidak petang itu. Tiba waktu bersujud. Saat kening masih menyentuh sajadah, sebelum tubuh ini duduk bertahiyat pada rakaat terakhir, saya berdoa memohon ampun.

Allah menyadarkan saya dan mengingat kembali pada satu hadis Nabi SAW, ”Pandanglah orang yang ada di bawah kalian dan janganlah memandang orang yang di atas kalian. Sebab, sesungguhnya hal tersebut lebih mendorong kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR Muslim).

Ini adalah agama yang lurus dan tak ada keraguan di dalamnya. Setiap denyut nadi kehidupan membawa hikmah yang bisa dipetik manfaatnya. Angin berdesir, menjamah hati lalu mengetuk kalbu untuk tak alpa mengucap syukur kepada Ilahi. Laki-laki muazin sekaligus imam salat tadi membuka mata hati ini agar tak mudah meremehkan saudara seiman meski hanya seorang tukang pel sekalipun. Sebab, Allah tak melihat hamba-Nya dari pakaian dan kedudukannya, tapi hati dan ketakwaannya. Langit belum menampakkan cahaya rembulan pada petang itu. Tapi, terang hati ini sudah cukup karena hikmah dari bapak imam salat itu. Cahaya hati memang tak tampak, tapi terangnya mampu mengunduh rasa haru dan ketenangan batin.

[email protected]