Iman yang Lapuk

Menjelang subuh, hujan yang turun sejak diri hari, masih berguyur cukup deras di luar. Melodi air yang berjatuhan menimpa atap rumah mess kami, memberikan nuansa ketentraman dan kesejukan. Nuansanya bisa membangkitkan memory masa silam, menjadikan orang betah di peraduan dan menjadikan orang enggan beranjak untuk beraktivitas. Terbayang tatkala aku tinggal di daerah banjir di Jakarta, kedatangan hujan sering menimbulkan kekhawatiran akan datangnya banjir. Menyadari demikian, hatiku berdoa, ‘Ya Allah, semoga hujan-Mu ini adalah hujan yang bermanfaat bagi kami’.

Ada sedikit rasa malas menyelimuti diri untuk keluar rumah. Rasa nyaman di dalam, menjadikan kaki ini sedikit berat untuk melangkah. Terlebih mengingat jalan yang akan kulalui pasti tergenang air, badan akan tertimpa air hujan, dan kaki akan tidak nyaman karena tanah becek. Tidak ada cara lain untuk menggerakkan kaki, selain segera membuang rasa malas, membangkitkan optimisme bahwa hujan akan reda atau berkurang curahnya, dan membulatkan tekad untuk menerobos hujan dengan berbagai sarana pelindung hujan yang ada.

Saat azan subuh dikumandangkan, hujan belum reda juga. Namun Alhamdulillah, curah sudah mulai berkurang. Rasanya kami bisa menerobosnya untuk pergi ke masjid. Maka kami pun menyingsingkan sarung atau celana, mengambil pelindung hujan berupa payung, jaket atau kertas koran. Dan meluncurlah kami ke masjid.

Sudah kuduga, aku menjumpai suasana yang berbeda drastis dibanding suasana hari pertama Ramadhan. Masjid yang kemarin penuh dengan jamaah, kini hanya tinggal dua shaf saja. Karpet-karpet yang digelar rapi memenuhi masjid, kosong tanpa keberadaan jamaah di sana. Hanya kemeriahan cahaya lampu masjid yang dinyalakan disemua sudutnya. Jamaah yang datang adalah jamaah yang memang biasa datang di luar bulan Ramadhan.

Hujan berhenti pada siang harinya. Tapi menjelang buka, hujan kembali turun. Sudah kuduga pula, jumlah jamaah shalat maghrib dan shalat isya (tarawih) yang datang berkurang tajam, padahal Ini baru pekan pertama Ramadhan. Nampaknya hujan itulah penyebabnya.

Namun aku berenung, bukan hujan sebagai penyebab sebenarnya. Boleh jadi Allah hendak menguji, dengan hujan yang tidak begitu besar, tanpa petir dan tanpa angin itu, apakah mereka tergerak hatinya menuju masjid atau tidak. Dan rupanya warga lebih memilih shalat di rumahnya masing-masing dibanding harus berbasah-basah sedikit menuju masjid.

Hari yang lain, saat aku shalat dhuhur di masjid lain dalam rangka menghadiri taklim. Aku tanyakan suasana ibadah saat hujan kemarin. Ternyata kondisinya sama. Shaf hanya beberapa baris, dan pemasukkan dana infaq dari jamaah berkurang menjadi seperlimanya. Belakangan kutahu, di masjidku sendiri dana jamaah yang masuk juga berkurang, menjadi kurang dari sepertiganya.

***

Hujan memberi pelajaran kepadaku tentang ‘rasa nyaman’ yang bisa jadi merupakan ujian keimanan. Bagi banyak orang, rasa nyaman yang ditimbulkan oleh hujan, sering menjadikan enggan untuk beraktivitas. Terbukti masjid tempat kami dan beberapa masjid lainnya, yang semula penuh, kemudian menjadi berkurang, karena banyak orang memilih tinggal di rumah dibanding melangkahkan kaki menuju masjid.

Ada kendala ‘jasadiyah’ yang menjadikan mereka canggung dan berat kaki untuk melangkah karena terbayang situasi yang tidak nyaman menimpa jasad mereka. Ada kendala ‘ruhiyah’ yang menjadikan mereka langsung pesimis, enggan dan kehilangan motivasi. Kendala ‘ruhiyah’ Inilah kendala yang sebenarnya, yang bisa jadi karena tiadanya pemahaman atas keutamaan suatu ibadah yang bisa melejitkan motivasi mereka.

Berkait dengan ibadah puasa, seseorang bisa saja mengalami hambatan jasadiyah seperti sakit maag, sedang dalam perjalanan, kondisi hamil, bekerja yang melelahkan, dan lain-lain. Tetapi sebenarnya jika kadarnya tidak terlalu parah, dengan kekuatan ruhiyah atau iman, maka bagi orang-orang tertentu, kondisi-kondisi tersebut bisa diatasi. Bahkan jika kita bercermin pada kehidupan Rasulullah dan sahabat, mereka sanggup berperang dalam kondisi berpuasa di bulan Ramadhan. Apakah rahasianya? Tentu karena kekuatan ruhiyah.

Puasa (ibadah) adalah seruan bagi orang-orang yang beriman (teguh ruhiyahnya) [QS 2:183]. Maka wajar orang-orang inilah yang akan sukses menjalani ibadah puasa dan diampuni dosa-dosanya yang lampau, sebagaimana sabda Rasul, “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan keimanan dan ihtisab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau”. Dan sebaliknya mereka yang berpuasa tanpa bekal iman, boleh jadi puasa yang dilakukannya tidak berarti apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Naudzubillah.

Ternyata hujan menyimpan hikmah yang luar biasa. Boleh jadi Hujan adalah ujian keimanan, apakah keimanan kita kokoh sehingga bergegas untuk beribadah ataukah rapuh sehingga kita bermalas-malasan melakukannya. Dan nampaknya, dengan melihat fenomena yang ada, keimanan kebanyakan kita masih rapuh dan lemah. Padahal ini adalah Ramadhan, dan masih pada awal-awal harinya. Bagaimana jika Ramadhan makin jauh meninggalkan kita?

Makin jauhkah kita dari masjid dan aktivitas ibadah? Andai kita tahu bahwa masjid adalah indikator ketaatan sang hamba kepada khaliknya dan mendatanginya adalah laksana mendatangi sumber kebaikan, tentu kita tidak akan pantang lapuk oleh hujan yang tidak seberapa. Tetapi kebanyakan kita memang banyak yang belum memahami.

Semoga kita dikarunia iman yang tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas. Amin.

Waallahu’alam.