Lelaki di Relung Hati Ibu

Sewindu sudah Bening menemani kehidupan lelaki yang telah Allah karuniakan menjadi imam dalam hidupnya. Bahkan beberapa purnama lagi, usia pernikahannya akan memasuki tahun ke sembilan.

Banyak hal sarat dengan pelajaran berharga yang ia dapatkan selama membersamainya. Butiran-butiran hikmah yang bertaburan di sepanjang ia dan lelaki itu merajut kasih atas landasan cinta karena Allah menjadikan ruang kalbunya dipenuhi rasa syukur.

Dalam sebuah lembaran hari yang dilaluinya, Bening tak dapat melupakan saat menyaksikan raut muka dan getar suara ibu yang telah melahirkan dan membesarkan pasangan jiwanya itu. Dengan mata yang berkaca-kaca dalam gemetar tangan dan suaranya, sang ibu terus-menerus mengucapkan serangkai kalimat.

“Ia selalu ibu rindu, nak…ia selalu dalam relung hati ibu…ibu bangga dan bersyukur Allah menitipkannya pada ibu…”

Bening hanya terdiam ketika ibu dari lelaki yang telah menjadi imamnya itu mengungkapkan isi hatinya.

Tak lama kemudian perempuan lebih dari paruh baya itu meneruskan ucapannya. “Tahukah Engkau Nak, kenapa ia selalu ada dalam relung hati ibu?”

Kali ini Bening menggelengkan kepalanya perlahan sambil menanti kelanjutan ucapan sang ibu. Seolah mengerti apa yang dipikirkan mantunya itu, sang ibu kembali berucap… “Setiap anak memiliki keistimewaan masing-masing dalam hati orangtuanya. Dan, ia menempati relung hati ibu lebih dalam dari saudara-saudaranya”.

Sejenak sang ibu menghentikan ucapannya dan menatap Bening dalam-dalam. “Bukan karena prestasi dunianya atau karena ia bersekolah di negeri orang yang membuat ibu selalu merindu dan bangga padanya, tapi hanya satu hal yang membuatnya istimewa di hati ibu…”

Kembali sang ibu terdiam, butiran sebening kristal meluncur tak tertahankan lagi dari matanya. Ia terbata-bata melanjutkan ucapannya dengan getar suara menahan haru.

“Selama ini ia tak pernah menyakiti perasaan ibu, akhlaknya ini yang membuat ia selalu memenuhi ruang hati ibu”. Serangkai kalimat itu diucapnya berulang-ulang hingga Bening hanya mampu mengucap syukur mengetahui penilaian sang ibu akan imam rumahtangganya itu.

Dalam hatinya, ia pun mengakui ucapan sang ibu. Ya, sepanjang mengayuh biduk bersamanya , tak pernah hatinya tergores oleh tutur kata maupun tingkah laku suaminya. Hatta, pada masakan yang disajikan, tak pernah lisan lelaki itu mencela sekalipun di lidah Bening makanan tersebut terasa aneh. Air muka suaminya hanya sedikit mengernyit ketika keasinan atau merona merah saat pedas tak tertahankan oleh lidahnya.

Terhadap anak-anak, amanah yang dikaruniakan Allah padanya, lelaki itu selalu bersikap lembut penuh kasih. Tak mengherankan bila hati anak-anaknya sangat tertambat dan melekat erat padanya.

Lelaki itu pun tak banyak kata dalam mengajarinya hidup dengan hiasan sabar dan sahaja. Ketika ia kehilangan putra pertama yang dinanti karena Allah hanya menitipkan 2 bulan saja di rahim Bening, wajah lelaki itu tetap jernih, mengalirkan ketenangan dan ketabahan padanya.

Demikian pula saat badai demi badai masalah yang melintasi jalan hidupnya, wajah lelaki itu tetap tenang. Di saat orang lain mungkin menghadapinya dengan marah-marah, menyesali nasib, kecewa bahkan putus asa, lelaki itu tak bergeming dalam badai ujian hidupnya. Gemuruh hatinya atas segala cobaan itu ia tuangkan dalam berbagai kreasi yang hasilnya dinikmati banyak orang.

Ia juga tak banyak kata saat mengajarkan Bening akan rasa khauf (takut) hanya kepada Allah. Ia selalu berhati-hati dengan uang yang diperolehnya dari tempatnya bekerja hingga ia yakin makanan dan minuman yang mengalir dalam darah keluarganya bersumber dari harta yang halal.

Demikian juga dalam menyeleksi tempat makanan atau minuman yang dibeli. Suatu ketika lelaki itu mengajaknya jalan-jalan di sebuah kota belahan Eropa. Setelah sekian lama menyusuri jalan akhirnya ia mengajak Bening membeli dua tangkup donner kebap di sebuah toko kecil nan sempit.

Lalu ia ungkapkan rasa heran pada suaminya kenapa untuk membeli setangkup donner kebap, harus berjalan sejauh itu, padahal di dekat tempat mereka tinggal ada banyak bertebaran toko-toko yang menyajikan makanan tersebut.

Dengan penuh kelembutan, ia pun menjelaskan bahwa di beberapa toko kebap yang dilaluinya, terdapat banyak botol-botol khamr. Ia merasa ragu untuk membeli donner di toko yang menyediakan minuman tersebut. Ya, ia menyangsikan kehalalan daging yang terdapat dalam donner itu jika pemilik toko tak merasa takut menjual minuman yang diharamkan Allah.

***

Dua pasang bola mata milik sang ibu dan dirinya kini semakin sembab. Dalam diam, masing-masing menekuri kenangan-kenangan yang pernah terukir bersama lelaki yang dicintai mereka.

Wajah Bening semakin tertunduk ketika sang ibu dari lelaki yang menjadi imamnya itu terus menerus mengulangi ucapannya tentang sang anak.

“ Wahai ibu, ia tak hanya ada dalam relung hatimu, tetapi ia pun memenuhi semua sudut jiwaku”, bisik hatinya.

www.ratnautami.com