Observasi dan pemeriksaan fisik adalah bagian dari prosedur kerja yang kami lakukan untuk menyakini keberadaan suatu hal yang bernilai signifikan dan menjadi bagian utama dari sebuah bisnis.
Beberapa hari yang lalu, kami melakukan observasi fisik ke sebuah pabrik LPG (Liquid Petroleum Gas) di sebuah kawasan di Jawa Barat, tidak jauh dari pantai utara Jawa. Bagi kami, kunjungan tersebut sangat berarti. Selain berguna untuk memastikan keberadaan pabrik LPG yang menjadi topangan bisnis perusahaan klien kami, kami juga belajar memahami seluk-beluk pemprosesan gas dan memahami potensi terpendam dari sebuah sumur yang mengandung minyak dan gas hasil eksplorasi.
Ketika kami mencapai lokasi, ternyata lokasi pabrik LPG itu berdekatan dengan sumur minyak milik perusahaan pertambangan minyak nasional. Nampaknya, lokasi pabrik itu sengaja dibikin berdekatan untuk menghemat investasi/biaya yang harus dikeluarkan berkait dengan pemipaan (piping) yang menghubungkan pabrik LPG dengan sumber bahan bakunya. Perlu diketahui bahwa belanja modal yang harus dikeluarkan untuk membuat pipa yang mengalirkan gas dari sumur minyak ke pabrik LPG adalah belanja yang cukup besar per meternya. Jadi semakin pendek jarak pipa, maka penghematan semakin bisa diperoleh.
Mungkin, kita bisa membayangkan investasi yang cukup besar dari pendirian pabrik ini hanya dari belanja pemipaan, belum belanja modal yang harus dikeluarkan untuk peralatan compresor, condensor, dan alat-alat berbasis teknologi tinggi lain yang sangat mahal. Semua itu harus diperhitungkan dengan masa kontrak beli-jual gas yang dibuat dan aliran kas yang bisa diperkirakan selama masa kontrak itu. Jika tidak cermat dalam melakukan kalkulasi semua itu, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka perusahaan akan terancam kerugian di masa depan.
Sebagaimana layaknya pada lahan eksplorasi minyak lainnya, saya menyaksikan kobaran api yang cukup besar yang berasal dari titik sumur pengeboran minyak. Kobaran itu muncul sebagai dampak dari gas yang tersembur yang merupakan produk sampingan dari minyak. Nah, gas yang merupakan produk samping dari pengeboran minyak inilah yang dialirkan ke pabrik LPG untuk dipilah-pilah sesuai dengan kandungan-kandungannya.
Ada unsur gas yang bisa dijadikan Lean Gas (LNG). Gas ini dipompa ke stasiun pengumpul yang berjarak 35 km dari pabrik LPG. Dari stasiun pengumpul ini, Lean Gas disalurkan ke industri-industri yang menjadi customer perusahaan. Industri-industri itu menggunakan Lean Gas sebagai bahan bakar mesin-mesin industrinya.
Sebagian dari Lean Gas itu dikompres sehingga berubah menjadi bentuk gas lain yang bisa ditabungkan. Namanya CNG, Compressed Natural Gas. CNG ini dibawa truk-truk pengangkut untuk disalurkan ke industri-industri yang cukup jauh yang tidak mungkin disalurkan dengan menggunakan pipa. Biasanya industri yang menggunakannya adalah industri-industri yang berada di kota lain yang tidak memiliki akses langsung terhadap Lean Gas.
Unsur gas lain, diproses oleh pabrik LPG sehingga menghasilkan LPG. LPG inilah yang dikemas dalam tabung-tabung kemudian didistribusikan ke masyarakat sebagai bahan bakar untuk memasak keperluan rumah tangga atau digunakan oleh industri dalam skala kecil atau mikro.
Kembali ke soal kobaran api yang berasal dari gas buang pengeboran minyak tadi, pada kesempatan bertemu dengan kepala pabrik LPG, saya menanyakan perihal tersebut kepadanya,
“Pak, gas yang berasal dari pengeboran minyak itu kan sudah disalurkan ke pabrik LPG ini, kok semburannya masih tetap besar?”
“Itu tandanya bahwa gas yang dihasilkan dari sumur itu cukup besar, dan pabrik LPG ini –karena berkapasitas kecil, hanya bisa menyerap sebagian kecil saja”.
Sebelum saya bertemu kepala pabrik itu, saya sudah mendengar informasi bahwa bisnis yang memproses gas buang hasil pengeboran minyak sejak dahulu tidak pernah/jarang dilirik oleh para investor, terutama investor domestik. Orang hanya berfokus kepada minyak dan pemrosesannya, sedangkan terhadap gas yang menyertai minyak, banyak pihak yang membiarkannya terbuang percuma sebagaimana tercermin pada kobaran api di sumur-sumur eksplorasi minyak. Ada dua alasan, bisa jadi karena nilainya tidak signifikan dibanding minyak yang menjadi primadona atau karena tidak adanya investor yang berminat terhadap pemprosesan gas yang saat itu belum populer. Kabarnya, beberapa pabrik asing yang telah menanam investasinya, namun hasilnya hampir 100% diekspor ke negaranya.
Kini, setelah pemerintah menggalakkan penggunaan gas (terutama LPG), maka prospek bisnis pemprosesan gas pun menjadi semakin tinggi. Maka alangkah sayangnya jika gas yang keluar dari sumur minyak tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk diproses menjadi LPG atau CNG atau disalurkan ke industri dalam bentuk Lean Gas.
Berkait dengan itu, saya pun bertanya kepada kepala pabrik yang katanya mantan karyawan perusahaan pertambangan minyak milik pemerintah,
“Pak, LPG yang dihasilkan dari pabrik ini kan selalu terserap habis oleh pasar. Selaku kepala pabrik yang mengetahui betul potensi gas dari sumur minyak di sebelah sana, apakah tidak ada niatan untuk mengembangkan kapasitas pabrik atau kenapa tidak ada perusahaan lain yang membangun pabrik yang serupa untuk menyerap gas yang terbuang di sana?”
Secara tidak terduga saya mendapat jawaban yang cukup mengejutkan,
“Bapak coba lapor ke polisi. Laporkan bahwa perusahaan itu (yang mengeksplorasi minyak), telah menghambur-hamburkan kekayaan negara!”
Lebih lanjut ia menandaskan,
“Ini serius. Asal Bapak tahu saja, bahwa gas yang terbuang setiap harinya itu bernilai satu mobil Kijang Innova, bahkan bisa dua!. Coba bayangkan jika dijejer, sebulan sudah berapa meter, setahun sudah berapa kilometer. Padahal itu sudah bertahun-tahun, Pak!”
“Kami sudah punya rencana untuk meningkatkan kapasitas pabrik ini sehingga bisa menyerap gas yang terbuang di sana. Tapi tidak diizinkan, Pak!”
Yah, pada akhirnya saya menyadari bahwa kendala masuk dari bisnis migas ini selain karena padat teknologi dan padat modal, juga karena padat nuansa politis. Saya memperkirakan potensi gas yang terbuang dari kobaran api di sumur minyak itu sekitar Rp 300 juta-400 juta setiap harinya. Padahal hal itu sudah berlangsung sekitar tujuh tahun sejak sumber migas itu ditemukan dan menyembur dari sana. Jadi sudah sekitar 767 milyard hingga 1.022 Milyard kekayaan yang terbuang dari satu sumur. Atau jika dikonversi menjadi Kijang Innova seperti yang dituturkan oleh kepala pabrik, jika dijejer, sudah mencapai 11,5 km hingga 23 km.
Kepala pabrik menuturkan bahwa kapasitas gas yang tersembur dari sumur yang saya lihat itu tidaklah besar dibandingkan sumur lain di daerah lain, bahkan terbilang kecil. Bisa dibayangkan jika ada ratusan sumur yang tersebar di penjuru nusantara, dan sebagian dari mereka memiliki kapasitas gas yang lebih besar hingga tujuh atau empat belas kali lipat, betapa besar potensi kekayaan alam yang terbuang percuma jika tidak diback-up dengan pabrik pemprosesan gas.
Kita baru bicara tentang potensi gas, belum minyaknya. Membayangkan semua itu, terbetik sebuah kesyukuran atas anugerah Tuhan atas potensi alam di negeri ini. Betapa Allah SWT begitu melimpah dengan kekayaan rezeki yang dimiliki-Nya. Namun hati saya menjadi miris tatkala menyaksikan realita yang sungguh-sungguh mencerminkan ironi. Mayoritas dari penduduk negeri ini berada di bawah garis kemiskinan. Bukan semata-mata karena faktor pribadi, tetapi lebih banyak karena faktor mismanagement secara kolektif.
Melihat fakta-fakta tentang terbuangnya potensi kekayaan alam itu, kepala pabrik yang berbincang dengan saya menyatakan kegeramannya. Ia geram karena menyaksikan ada potensi kekayaan/harta tetapi ia tidak kuasa untuk meraihnya. Padahal sebagai kepala pabrik dan mantan karyawan perminyakan, ia sudah memiliki mobil pribadi dan mobil dinas berupa Kijang Innova. Dan saya yakin, tingkat kehidupannya sudah cukup lumayan. Nah, bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki apa-apa dan hidup ala kadarnya? Mungkin sebagian dari mereka adalah kita. Apakah cukup dengan geram? Wallahua’lam. Yang jelas saya termenung cukup lama dan secara spontan saya berucap: astaghfirullah al adzim, karena sangat mungkin ada andil kesalahan dari kita atas terjadinya ironi tersebut.
Wallahua’lam bishshawaab