Islam itu Indah

Akhir Mei 2006

Mbak Fety, dah dapat kos di Bandung? Kapan rencananya ke Bandung, mbak. Ntar klo ke Bandung sms Asni yah, mbak. Nanti Asni temanin cari kos, begitulah kira-kira bunyi sms yang mampir di handphone saya pada suatu malam.

Dari Asni. Dia pernah menjadi bagian cerita hidup saya selama sebulan ketika saya masih berada di Yogya. Sms dari Asni malam itu adalah sebuah berkah untuk saya. Bagaimana tidak, Allah SWT menakdirkan saya bekerja di Bandung padahal saya tidak mempunyai saudara di Kota Kembang itu. Sayapun juga tidak mengenal Bandung.

Benarlah, dia menepati janjinya. Hari itu, bersama dengan temannya, dia menjemput saya di agen travel. Dia dan temannya pula yang menemani saya berjalan di terik matahari, keluar gang masuk gang, untuk mencari kos yang tepat buat saya. Mereka pula yang menemani saya membeli perlengkapan kos. Bahkan, Asni menawarkan saya menginap saja di kosnya karena dia takut saya kesepian di kos saya yang baru. Mereka memperlakukan saya layaknya saya adalah kakak mereka.

Saat menuju ke kosnya itu, saya baru mengetahui kalau perjalanan dari kosnya menuju ke tempat dia menjemput saya memakan waktu sekitar satu jam. Dia kos di Jatinangor sedangkan tempat agen travel yang membawa saya dari Jakarta menuju Bandung berada di sekitar kampus ITB. Terharu, hanya kata itu yang memenuhi ruang hati saya.

***

Awal Juni 2006

Kereta ekonomi jurusan Jakarta-Serpong yang berangkat dari stasiun Tanah Abang penuh sesak. Saya berdiri di salah satu pojok kereta. Di sekitar sayapun orang-orang dengan beraneka ragam tipe juga berdiri, mencari celah di antara sesama penumpang. Hari itu saya akan ke rumah teman saya, di Serpong. Ceritanya, saya mau menumpang menginap di kosnya, karena keesokan pagi saya mempunyai acara kantor di kantor saya yang baru di Serpong.

”Vi, Fety boleh numpang nginap yah? Masalahnya, hari pertama masuk kerja, Fety ada acara di kantor Serpong. Fety gak punya saudara di Serpong.”, tanya saya pada saat istirahat setelah makan malam, ketika kami masih mengikuti acara orientasi sesama pegawai baru di Depok.

”Ehm, bolehlah.”

”Tapi, saya tidak tahu kosnya Evi di Serpong di mana? dan ke Serpongnya naik apa?”, lanjut saya bertanya.

Tanpa saya meminta dua kali, muslimah yang duduk di hadapan saya itu langsung menerangkan jalur KA yang harus saya tumpangi menuju ke Serpong. Tak lupa pula, dia membuatkan denah menuju ke kosnya, plus, menjelaskan angkutan yang harus saya naiki dari KA Serpong menuju kosnya.

”Nanti, kalo Fety dah sampai di gang kos saya sms atau miscal aja. Ntar saya jemput.”, katanya menutup perbincangan kami malam itu.

Akhirnya, menjelang magrib, saya tiba di kosnya.
”Langsung aja masuk ke kamarnya Mbak Evi, Mbak. Kamarnya Mbak Evi di atas. Hari ini Mbak Evi pulangnya menjelang Isya,” sapa ramah ibu kos Evi pada saya.

Benarlah, menjelang Isya, Evi pulang. Rasa capek dan lelah masih tergambar di wajah ayunya.

”Fet, maaf yah di kamar sendirian. Baru pulang nih dari dinas ke Jakarta. Udah makan malam?udah minum? Kalau belum, kita beli makan yuk!”

Perasaan bersalah tergambar jelas di wajahnya. Tanpa melepas lelah sejenakpun, dia langsung mengajak saya keluar untuk beli makan malam. Dan dia mentraktir saya malam itu.

***

Awal Juni 2006, suatu malam di Bandung

Sebuah pesan masuk ke handphone saya. Dari Nanae, teman saya ketika masih kuliah di Yogya. Sekarang, dia bekerja di sebuah BUMN di kota Bandung.

"Nga, udah di Bandung? Besok kita ketemuan yah?" begitulah bunyi sms-nya malam itu. "Boleh, janjian di depan kampus ITB yah," itulah jawaban dari saya untuknya.

Jadilah, sekitar jam sebelas siang esok harinya saya berjumpa dengan dia di depan kampus ITB.

”Mau ditemanin ke mana nih? Udah beli perlengkapan kos?” tanyanya setelah acara kangen-kangenan antara saya dan dia usai.

”Udah. Terserah deh mau ke mana,” saya tidak bisa menentukan pilihan karena saya baru menetap di Bandung sekitar satu minggu.

”Ok, deh. kalau gitu, kita jalan-jalan aja. Supaya kamu tahu jalan-jalan di kota Bandung,” katanya diiringi dengan senyuman manisnya.

”Eh, Nga, ntar kamu nginap di kosku aja yah,” pintanya.

”Boleh. Tapi, entar sore aku ditemanin pulang ke kos dulu yah untuk ambil baju ganti,” Dan diapun mengiyakan permintaan saya.

Akhirnya, hari itu, Nanae mengajak saya berkeliling Bandung dengan sepeda motornya. Malamnya, saya menginap di kosnya. Dan keesokan harinya, dia mengajak saya ke acara pengajian di daerah Gegerkalong. Menjelang Isya, Nanae mengantar saya pulang ke kos. Dua hari bersamanya, saya benar-benar diperlakukan seperti seorang tamu agung. Semuanya terungkap lewat jamuan makanan, cemilan, tempat tidur dan selimut yang diperuntukkannya untuk saya. Saya tahu, dia ingin saya merasa nyaman selama saya berada di kosnya

***

Pertengahan Juni 2006

”Fet, mau ditolongi ngomong ke Pak Atip tentang masalah uang itu?” tanya teh Ummi, rekan kerja saya di kantor.

”Boleh, teh. Fety malu. Nanti takut salah. Fety kan karyawan baru di sini”, jawab saya

Mendengar jawaban saya, saat itu juga, teh Ummi langsung menelepon Pak Atip dan menanyakan masalah saya ke beliau. Fety malu, Pak, begitulah canda muslimah itu di telepon. Dan selanjutnya, dengan lugas, dia menjelaskan ke Pak Atip mengapa dia membantu saya menanyakan hal itu.

Saya terdiam. Rasa syukur memenuhi segenap ruang hati saya. Pertolongannya siang itu telah membantu saya keluar dari masalah yang selama sekitar satu minggu ini hanya berputa-putar di kepala saya saja

***

Asni. Muslimah itu berasal dari Jakarta. Dia pernah kos di kos saya ketika saya masih Yogya. Hanya satu bulan. Waktu itu, dia memanfaatkan masa liburan kuliahnya dengan berpetualang ke Yogya.

Pertemanan dengan Evi terjadi karena saya dan dia berasal dari fakultas yang sama di suatu universitas ternama di Yogya. Namun, jurusan kita berbeda. Evi kuliah di jurusan kimia sedangkan saya kuliah di jurusan fisika. Dia dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota di Jawa Timur, Madiun. Pertemanan saya dan Evi terjadi karena kami mengambil mata kuliah yang sama di tingkat-tingkat awal saya kuliah.

Hari-hari bersama Nanae saya lalui ketika kami beraktivitas di organisasi kemahasiswaan yang sama ketika kami masih menyandang status mahasiswa. Purworejo, itulah kota tempat orangtuanya bertempat tinggal,
sampai dengan sekarang.

Begitu juga dengan teh Ummi. Saya baru mengenalnya. Dia adalah rekan kerja saya di kantor saya yang baru. Meja kami bersebelahan. Sayapun juga baru mengetahui, kalau muslimah ini berasal dari pulau yang sama dengan pulau kelahiran saya. Kita sama-sama perantauan di Bandung. Dia berasal dari Lampung sedangkan kota kelahiran saya adalah Bengkulu.

Sungguh, saya sangat terharu dengan cara keempat muslimah itu memperlakukan saya. Saya bukanlah saudara sekandung atau saudara sepupu mereka. Di antara kami tidak ada hubungan darah. Saya hanya teman mereka. Bukan teman karib. Hanya teman biasa.

Namun, saya yakin, hanya satu hal yang membuat Evi dan Nanae mau memperlakukan saya layaknya saudara kandung mereka. Hal itu pula yang menjadi alasan bagi Asni dan teh Ummi untuk tulus membantu saya ketika saya sedang berada dalam kesulitan. Islam, itulah jawabannya. Ah, sungguh indahnya ukhuwah dalam Islam. Bukankah antara sesama muslim itu layaknya suatu bangunan yang saling mengokohkan? Tidak mengenal batasan hubungan darah. Tidak mengenal batasan suku. Tidak mengenal batasan ras. Tidak mengenal batasan asal kota kelahiran. Tidak mengenal batasan golongan.

Rabbi, terima kasih Engkau telah mempertemukan hamba dengan saudari-saudari hamba dalam indahnya persaudaraan atas namaMu, hanya doa itu yang mampu terucap di hati saya.

Bandung, pertengahan Juli 2006