“Jalan Amanah” dari Indonesia untuk Peru

Oleh: Ika Yuniar

“Me gusta este muñeca y la alfrombita,  Tia Ika” (Aku suka boneka dan sajadah ini, Tante Ika), kata Samira sambil tersenyum. Tangan mungilnya memegang erat boneka ala “barbie” berkostum muslimah buatan Indonesia dan sajadah kecil kuning dengan gambar masjid dan serangga daun berwarna merah dengan totol-totol hitam.

Sejenak kemudian, perhatiannya beralih kepada sejumlah buku cerita berbahasa Indonesia yang aku bawa. Tangannya membuka dengan cermat sebuah buku cerita dan membukanya pelan-pelan setiap halaman, mencoba untuk memahami isi ceritanya.

“No entiendo nada Tia” (aku tidak mengerti apa-apa, Tante) katanya sambil memandangku dengan tatapan penuh kebingungan. Aku memahami kebingungannya, karena buku cerita itu berbahasa Indonesia, bukan berbahasa Spanyol, “bahasa ibu” Samira.

“Yo sé, voy a traducirlo para ti (Aku tahu, nanti aku akan menerjemahkannya untukmu), janjiku padanya.
Percakapan singkat aku dengan Samira di masjid Magdalena sore itu membuatku merenung dan berpikir banyak megenai amanah besar yang diemban oleh orang tua muslim di Peru.  Amanah itu adalah bagaimana mereka bisa mendidik anaknya dengan nilai-nilai Islam sejak dini di tengah segala keterbatasan.

Bukan tanpa alasan boneka, sajadah dan buku-buku itu akhirnya sampai ke Peru. Lewat bantuan dua orang teman Indonesia yang berkunjung ke Peru dalam rangka tugas, barang-barang itu menjadi “jalan” untuk mewujudkan amanah tersebut.

Boneka, sajadah dan buku-buku itu akan kami gunakan sebagai materi kelas Islam untuk anak-anak Peru yang kami telah mulai sejak bulan Ramadan yang lalu. Berawal dari kekuatiran bahwa anak-anak muslim Peru, khususnya yang berdomisili di Lima, akan jauh dari nilai-nilai Islam, maka kami beranikan diri untuk memulai kelas Islam secara swadaya.

Hari ketika kami melaksanakan pertemuan pertama untuk membicarakan pelaksanaan kelas tersebut adalah hari di mana aku menyadari betapa besar semangat saudari muslimah Peru-ku untuk tetap mengedepankan identitas Islam yang diyakininya.

Aku mengingat betapa bersemangatnya Sussy, Rayhana, Marwa dan Safiyah ketika berdiskusi tentang materi apa saja yang akan dibawakan. Aku mengingat kerelaan Marwa dengan sukarela untuk membuat hiasan dinding bertuliskan bismillah, alhamdulillah, dan kalimat zikir lainnya untuk diajarkan kepada anak-anak. Aku juga mengingat kerelaan Safiyah untuk membelikan hidung-hidungan badut dan kue untuk meramaikan suasana kelas.

Dan semangat itu masih terlihat di hari-hari ketika kelas kami berlangsung. Hari-hari tersebut menyadarkanku berulang kali, betapa besar semangat saudari muslimah Peru-ku untuk tetap mengedepankan identitas Islam yang diyakininya dan betapa menyentuhnya kepedulian yang mereka tunjukkan untuk menjalankan amanah mereka sebagai orang tua.

Namun, semangat dan kepedulian itu harus dibenturkan dengan berbagai keterbatasan, salah satunya adalah keterbatasan materi ajaran dan alat peraga. Kami tidak memiliki referensi buku ajar yang banyak karena literatur bahan ajar berbahasa Spanyol susah didapatkan. Poster-poster edukatif tentang cara shalat atau cara berwudhu untuk anak-anak yang dengan mudah ditemukan di Indonesia, adalah suatu kemewahan yang tidak terjangkau di sini.

Dari sinilah ide untuk membawa contoh boneka, sajadah dan buku-buku itu bermula. Indonesia menjadi sumber referensi karena mereka percaya bahwa di Indonesia, pendidikan Islam untuk anak-anak pasti lebih maju. Sebagai muslimah Indonesia, aku memang sependapat dengan mereka. Adalah sangat mudah di Indonesia untuk menemukan mainan dan alat peraga edukatif serta buku-buku cerita Islami buat anak-anak.

Alhamdulillah, kreativitas yang dimiliki oleh muslim Indonesia dikagumi oleh saudari muslimah Peru. Aku teringat kata-kata penuh kekaguman yang mereka ucapkan ketika aku menunjukkan foto boneka muslimah yang dibuat di Indonesia dan permintaan mereka supaya aku bisa membawakannya sebagai contoh. “Traenos Ika, podamos hacer lo mismo acá” (bawakan untuk kami, kita bisa buat hal yang sama di sini), pinta Sussy padaku.

Mungkin jika dinilai dengan uang, nilai boneka, sajadah dan buku-buku itu relatif tidak seberapa. Tetapi, barang-barang itu bernilai sangat berharga sebagai “jalan” untuk mengalahkan keterbatasan tersebut dan sekaligus menjadi “jalan” mewujudkan amanah para orang tua muslim Peru untuk mendidik buah hati mereka.
Aku menantikan suasana meriahnya kelas kami nantinya dengan boneka, sajadah dan buku-buku itu. Aku menantikan suasana ketika murid-murid kami bersemangat untuk belajar shalat dengan membawa sajadah warna-warni dan betapa cerahnya wajah mereka ketika akhirnya dapat membaca dan memahami buku-buku cerita Islami dalam bahasa Spanyol.

Dan aku akan sangat menantikan senyum Samira dengan wajah puas ketika ia mengatakan kepadaku, “Ahora, yo entiendo la historia de tu libro, Tia” (sekarang, aku mengerti isi cerita bukumu, Tante).

http://ikayuniar.blogspot.com/