Jangan Ragu dengan Rezeki Allah

rezeki1Saya mau pergi ke rumah orang tua saya. Waktu itu, anak saya yang masih berumur lima tahun dan menjelang sekolah TK itu menangis ingin ikut. Awalnya saya tidak berencana untuk membawa dia, namun karena tangisnya tidak mau berhenti, akhirnya saya ajak juga.

Sebelum berangkat, dia saya beri janji. Agar selama perjalanan nanti jangan jajan. Sebab saya sedang tidak punya uang. Saya hanya ada uang untuk ongkos berangkat ke rumah orang tua saya saja. Selebihnya saya tidak punya apa-apa.

Namun, yang namanya anak, walaupun sudah berjanji tidak jajan, begitu melihat berbagai macam barang di pingiran terminal, keinginannya mendadak bangkit. Pertama ia melihat berjejernya para pedagang pakaian. Ia minta dibelikan kaos ala pemain bola dunia. Ia memaksa saya untuk membeli kaos yang bertuliskan salah satu pemain sepak bola Inggris, Beckam. Namun tidak saya kabulkan. Karena saya tidak punya uang untuk itu.

Dengan berbagai cara, ia saya hibur agar tidak minta kaos-kaos itu. Ia segera saya bawa ke tempat di mana banyak berjejer delman. Sebab dengan begitu ia akan lupa karena melihat banyak kuda di situ. Namun sial, ternyata di kompleks itu juga ada pedagang buah yang begitu menarik menata dagangannya. Ia minta dibelikan apel. Permintaan itupun tidak saya kabulkan. Sekedar untuk menghibur dia, saya bisikan kalimat padanya. “Sabar ya… nanti di rumah nenek ada apel.”

Cepat-cepat saya bawa anak saya ke tempat bis jurusan daerah orang tua saya. Ia segera saya ajak naik, dan duduk di depan sendiri, di samping sang sopir. Ia agak terhibur, karena banyak berlalu lalang truk gandeng dan kendaraan tangki pertamina yang besar-besar itu. Sebab ia sangat senang kalau melihat kendaraan besar semacam itu.

Saya lega. Saya lebih tenang karena sudah tidak akan melewati pasar lagi. Dengan demikian anak saya tidak akan minta jajan lagi. Saya duduk sambil merangkul anak saya. Dia begitu nikmat melihat lalu lalangnya kendaraan di depan kami. Ia sudah lupa dengan apa-apa yang ia minta di sepanjang perjalaan tadi

Sebenarnya saya juga merasa kasihan. Seandainya saya punya uang cukup, tentu saya tidak akan berbuat sekejam itu. Tentu saya akan menuruti kehendaknya, walaupun mungkin tidak semua saya turuti. Orang tua mana sih yang tidak ingin memberikan sesuatu kepada anaknya?

Sedang asyik-asyiknya, kami menikmati berbagai macam kendaraan di depan bis yang kami tumpangi, tiba-tiba seorang ibu naik dan duduk persis di sebelah saya. Sebuah keranjang kecil berisi berbagai macam barang dari pasar ada dalam keranjang tersebut.

Kami saling berbasa-basi. Ternyata ia satu jurusan dengan saya. Beberapa menit sebelum bis jalan, perempuan itu menyodorkan tiga buah apel kepada anak saya. Saya kaget. Seolah perempuan itu tahu bahwa anak saya sedang menginginkan apel. Anak saya langsung memakannya dengan lahap. Saya melihat nikmatnya anak saya makan apel itu dengan linangan air mata. Saya tak bisa membelikan buah itu, tapi Allah tahu tentang keinginan anak saya. Sehingga lewat perempuan itu dia dapat menikmati apel. Betul-betul tidak saya sangka sebelumnya. Betul-betul di luar jangkauan nalar saya.

Sampai di rumah orang tua, saya lebih kaget lagi. Saya sama sekali tidak membayangkan saudara-saudara saya akan berkerumun menemui saya. Dan mereka seolah berlomba memberikan uang kepada anak saya. Sampai nenek saya yang seharusnya saya beri uang justru memberikan rupiah kepada anak saya. Seolah mereka tahu bahwa kami sedang tidak mempunyai uang. Seolah mereka tahu bahwa saya ada dalam keadaan sangat kesulitan dalam hal keuangan.

Sepulang dari rumah bapak ibu saya, saku celana dan baju anak saya tak ada yang kosong dari lembaran-lembaran uang. Ahirnya uang itu bisa dipergunakan anak saya untuk membeli baju bola yang sejak lama ia inginkan. Bisa membeli buah apel dan bakso di pasar. Dan yang lebih mengharukan adalah bisa membantu saya untuk mengisi arisan di lingkungan RT saya.

Sambil melihat anak saya menikmati semangkok bakso, saya hanya bisa bergumam, bahwa rizki Allah datang selalu tak terduga. Walaupun saya sedang tidak punya usaha, karena sedang mengalami kebangkrutan, tapi Allah tetap menyodorkan rizki kepada kami.

Sebuah keyakinan tentang ke-maha besar-an Allah, ahirnya tumbuh kembali. Puing-puing kesusahan hidup dan keraguan tentang rizki Allah semakin terpendam. Apalagi kalau mengingat firman Allah, – Dan tak ada suatu binatang melatapun di muka bumi ini melainka Allah lah yang memberi rezekinya-, maka keraguan itu makin tidak ada. Sayang seribu sayang, hamba yang kecil ini masih begitu gampang dan mudah dihinggapi rasa ketakutan tidak kebagian rizki.

****

Purwokerto, Sept 06 <[email protected]>