Jeritan Pengamen Cilik

Berikut adalah sekedar cerita pengamen cilik yang jeritannya mungkin kalah keras oleh teriakan caleg atau capres yang sedang kampanye Pemilu.

**********

Pagi itu, hujan turun rintik-rintik ketika seorang bocah kecil tanpa alas kaki, berdiri di pinggir jalan. Rambutnya yang acak-acakan, dibiarkannya melambai diterpa angin. Sesekali tangannya yang mungil mengusap wajahnya yang basah terkena rintikan hujan. Dari gerakan matanya, terlihat dia sedang mengawasi kendaraan yang lalu-lalang di depannya.

Tidak lama kemudian, sebuah angkot jurusan terminal Baranang Siang yang kutumpangi, mendekatinya. Mobil itu berjalan merayap di tengah padatnya lalu lintas kota Bogor. Para penumpang yang berpakaian rapih, duduk berderet memenuhi mobil yang berwarna hijau muda tersebut.

"Hups…!" desis bocah itu saat melompat naik ke dalam angkot. Kemudian dia duduk di pintu mobil, tepat di depanku, dengan posisi badannya menghadap ke luar.

Hening sejenak, lalu dia mulai bicara.

"Selamat pagi tuan dan nyonya! Maaf mau numpang ngamen untuk sekedar cari makan" ucapnya tanpa sedikitpun menoleh pada penumpang.

Dikeluarkannya alat musik sederhana, yaitu sebuah ‘kecrek’ yang terbuat dari kaleng tutup botol yang dipakukan pada sepotong kayu, lalu dengan iringan gemerincing kaleng, dia mulai bernyanyi. Dari mulutnya yang mungil meluncurlah sebuah lagu kenangan yang pernah dipopulerkan oleh Franky Sahilatua.

"Berjalan di lorong pertokoan, di Surabaya yang panas
debu-debu ramai beterbangan, dihempas oleh bis kota…"

Dia bernyanyi penuh semangat. Suaranya kencang seperti menjerit. Berisik memang, namun aku dan penumpang lainnya bersabar menunggu sampai pertunjukkan itu usai.

Sejak awal kehadirannya, mataku tak berkedip memandangi dia yang duduk di depanku. Gerak-geriknya kuperhatikan dengan baik. Perasaan kecewa mulai muncul dalam benakku.

"Hmmm… harusnya jam segini dia ada di sekolah, tapi kenapa malah ngamen?" batinku dalam hati dengan penuh tanya.

Aku kecewa karena pengamen tersebut tidak lain adalah adik asuhku sendiri. Dia adalah Topan, salah seorang bocah ‘drop out’ yang sering mangkal di sebuah mesjid samping kampusku.

Pertemuan antara aku dan Topan sering terjadi saat salat dhuhur dan ashar tiba. Topan biasanya berdiri di luar mesjid untuk menjaga sandal atau sepatu punya orang-orang yang akan melaksanakan salat. Dari upah menjaga sepatu tersebut, Topan mendapatkan uang recehan untuk sekedar jajan.

Masih terbayang di ingatanku saat pertama kali menyapa Topan.

"Kamu kelas berapa?" tanyaku sambil memakai sepatu.

"Saya tidak sekolah Kak…" jawab Topan dengan tatapan kosong.

"Loh… kenapa?" selidikku penasaran.

"Saya tidak punya uang untuk bayar SPP, beli buku dan seragam sekolah…" tutur Topan menjelaskan alasan kenapa dia putus sekolah.

Aku terdiam mendengar jawaban tersebut. Sebuah jawaban yang merupakan cerita abadi dari ribuan bahkan mungkin jutaan anak miskin yang terus berlanjut di bumi pertiwi. Mereka terpaksa harus putus sekolah karena tidak punya biaya.

Aku pandangi wajah mungil itu dengan sebuah tatapan simpatik dan penuh persahabatan.

"Kamu masih mau sekolah?" tanyaku dengan perasan ingin tahu.

"Mau Kak…" jawab Topan lirih dengan kepala menunduk.

Singkat cerita, Topan kembali masuk sekolah. Sejak saat itu pula aku punya adik baru. Untuk mengejar ketinggalan pelajarannya, sepulang sekolah dia belajar lagi di beranda mesjid. Terutama mengulang pelajaran membaca dan berhitung. Aku cukup puas melihat usahanya dan kemajuan dia dalam belajar.

Namun kejadian di angkot pagi itu, benar-benar di luar perkiraanku. Topan yang harusnya ada di sekolah tiba-tiba kujumpai berada di jalanan sedang mengamen. Ya, sebagai manusia biasa aku merasa kecewa padanya, karena dia bolos sekolah. Hal tersebut akan berdampak pada pendidikannya yang semakin ketinggalan jauh dari kawannya.

Saat itu Topan tidak menyadari kalau dirinya sedang mengamen di depanku. Dia terus bernyanyi menyampaikan jeritan hatinya. Di akhir lagu ‘bis kota’ yang dia nyanyikan, sebuah lirik ditambahkannya sebagai penutup…

"kalau kami kurang sopan mohon kami dimaafkan
karna kami kurang pendidikan

kalau kami ganggu anda yang berpendidikan
salam kami pengamen jalanan"

Selesai bernyanyi, badan topan berbalik menghadap penumpang. Kemudian dia mengeluarkan bungkus permen yang sudah kosong dari saku celananya, sebagai penampung uang recehan. Sesaat kemudian, tangan kecil mungil menjulur ke penumpang, memohon belas kasihan dari mereka agar mau memberikan sekedar uang recehan, lalu…

"Kakak… !?!" ucapnya kaget, saat sepasang mata kecil itu beradu pandang dengan mataku yang menatap dirinya tajam. Wajah Topan terlihat pucat mengekspresikan perasan terkejutnya bercampur dengan rasa malu dan bersalah.

"Ssssttt…. !" aku menempelkan telunjuk pada bibirku, memberikan isyarat agar Topan tidak bicara. Lalu aku keluarkan uang dan memasukannya pada bungkus plastik yang dipegangnya. Tidak lama kemudian, dia membalikkan badan dan turun saat mobil berhenti di lampu merah.

********

Hari berikutnya, aku mendatangi SD tempat Topan belajar. Namun sayang, dia tidak ada di sekolah. Aku terkejut ketika diberi tahu kalau Topan sudah seminggu tidak masuk kelas.

"Hmmm… bandel juga tuh anak" gumamku dalam hati sambil pamit untuk mencari Topan.

Siang itu aku putuskan untuk mencari Topan di rumahnya. Mungkin bukan rumah, lebih tepat disebut bedeng yang berada di pinggir sungai kecil yang kotor dan bau. Bedeng tersebut terbuat dari batako yang menempel pada rumah orang lain. Ukurannya dua kali empat meter. Dihuni oleh enam orang anggota keluarga.

Ketika tiba di rumah Topan, aku dipersilakan masuk oleh ibunya. Di sana ada ibu, tiga anak balita dan seseorang yang tengah berbaring lemah beralaskan tikar. Dia adalah bapaknya Topan yang bernama pak Ujang. Profesi pak Ujang adalah tukang parkir di pasar Bogor.

"Bapak kenapa Bu?" tanyaku pelan.

"Dia sakit batuk dan demam" jawab ibu itu.

"Sudah ke dokter?"

"Sudah Kak, sudah dua kali ke Puskesmas, namun belum sembuh juga. Kata dokter harus istirahat yang banyak." ucapnya menjelaskan.

Hening sejenak…

"Topan kemana ya Bu? Dia hari ini tidak sekolah." tanyaku lagi.

"Iya, semenjak Bapaknya sakit, Topan menggantikan Bapaknya mencari uang. Dia pergi ngamen tiap hari sejak seminggu yang lalu" jawab ibunya.

Seperti diguyur air es, badanku dingin mendengar penjelasan ibunya Topan. Anak sekecil itu harus berkelahi dengan waktu, mencari nafkah untuk keluarganya. Padahal umurnya belum genap sembilan tahun. Terbayang betapa berat tugas Topan.

Tidak lama kemudian aku pamit. Aku beritahu dia kalau lusa, aku akan meninggalkan Bogor dan aku berharap bisa ketemu Topan terlebih dulu sebelum pergi. Lewat ibunya, aku menitip pesan agar Topan menemui diriku di Mesjid besok siang.

Keesokan harinya, saat selesai salat dhuhur, Topan menemuiku di mesjid. Dengan muka yang lusuh dan terlihat letih dia berbicara.

"Kak kemarin ke rumah ya?"

"Iya, aku mencarimu. Kamu kemana aja?"

"Saya ngamen kak…" ujar dia lirih

Aku tahu dia ngamen untuk menggantikan tugas ayahnya mencari nafkah. Mataku mulai sembab, tidak lama kemudian air mataku meleleh membasahi pipiku.

"Topan, kakak mau pamitan. Kakak sudah selesai kuliahnya" kataku pelan.

Anak itu terdiam sesaat, lalu…

"Kakak akan pergi dari sini?" tanyanya lirih.

"Iya, kakak tidak akan tinggal di Bogor lagi. Kakak dapat kerjaan jauh sekali"

Hening sejenak, hanya isakan tangis dan lelehan air mataku yang bicara…

"Kak maafkan Topan ya… kakak pasti kecewa karena Topan bolos sekolah. Topan mau berterimakasih pada kakak… "

Kali ini aku tak kuat lagi menahan tangis. Bagaikan bendungan pecah, airnya mengalir deras membasahi pipiku. Sambil menangis… kupeluk dia erat sekali…
Itulah pelukan terkahir di hari perpisahan dengannya.

Topan…
Demi bertahan hidup, teruslah menjerit….

Menjeritlah yang keras, sampai semua orang tahu keberadaanmu atau waktu menguburmu dalam ketiadaan.

********* TAMAT *********

Penulis adalah peneliti di UPT Biomaterial LIPI yang sedang kuliah S3 di Kyoto University.