Jika Hasan dan Husein Dua Mata Sayyidina Ali, Maka Muhammad adalah Dua Tangannya

Setelah itu Ali bin Abi Thalib menikah lagi dengan seorang wanita dari Bani Hanifah bernama Khaulah binti Ja’far bin Qais Al-Hanafiyah.

Perkawinan itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Muhammad dan diberi julukan Abu Al-Qasim dengan restu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya.

Namun demikian orang-orang terbiasa memanggilnya Muhammad Al-Hanafiyyah untuk membedakan dari kedua saudaranya, Hasan dan Husain. Ibu keduanya adalah Fathimah Az-Zahra.

Sedangkan ibu beliau dari Al-Hanafiyah. Kemudian nama itulah yang banyak dikenal sejarah.

Muhammad Al-Hanafiyyah lahir pada akhir masa khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq . Beliau tumbuh dan dibesarkan di bawah bimbingan sang ayah, Ali bin Abi Thalib.

Dari ayahnya itu ia mewarisi ketekunan ibadahnya, sifat zuhud, keberanian dan kekuatannya di samping kefasihan lidahnya.

Siang hari, beliau menjadi pahlawan di medan perang dan menjadi tokoh dalam jajaran para ulama. Di malam hari beliau adalah rahib di saat mata manusia tidur terlelap.

Ayah beliau telah menggemblengnya di tengah kancah peperangan yang diikutinya. Dipikulkan kepadanya beban-beban berat yang tidak pernah dipikulkan kepada kedua saudara-saudaranya, Hasan dan Husain.

Dengan demikian, dia tidak pernah malas atau lemah semangatnya.

Beliau pernah ditanya, “Mengapa Anda selalu diterjunkan ke medan-medan yang berbahaya dan memikul beban melebihi kedua kakakmu, Hasan dan Husain?”

Dengan tawadhu’ beliau menjawab, “Sebab, kedua kakakku ibarat kedua mata ayahku, sedangkan kedudukanku adalah ibarat kedua tangannya. Maka ayah menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”

Ketika terjadi perang Shiffin yang meletus antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Muawiyah bin Abi Sofyan, Muhammad Al-Hanafiyah memegang panji-panji ayahnya.

Tatkala perang berkobar, korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Terjadilah suatu peristiwa yang kemudian diriwayatkan sendiri olehnya. Beliau menuturkan kejadiannya:

“Ketika berada di Shiffin kami bertempur melawan sahabat sendiri, Muawiyah. Kami saling bunuh, hingga kami menduga tidak akan ada lagi yang tersisa dari kami ataupun mereka. Aku menjadi sedih dan gelisah karenanya.”

“Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari belakangku, ‘Wahai saudara-saudara muslimin…ingat Allah…Allah…wahai saudara muslimin untuk siapa lagikah wanita dan anak-anak kita? Untuk siapa agama dan kehormatan ini? Siapakah nanti yang akan menghadapi Romawi dan golongan orang Dailam?..Wahai saudara-saudara muslimin…Allah…Allah, sisakan orang dari kalian, wahai saudara-saudara muslimin…!’

Seketika itu aku tersadar dan berjanji tidak akan mengangkat dan menghunus senjata lagi melawan seorang muslim pun sejak hari itu…”