Jika Selarasnya Jiwa

”Jika selarasnya jiwa bukanlah suatu hal yang istimewa, mana mungkin ribuan roman lahir dari tangan para pujangga… Semangat-Semangat! Allahu Ghayatuna… Semoga Allah Memudahkan segalanya…”

Segera kukirimkan sms tersebut kepada salah satu sahabatku di belahan barat pulau jawa sana. Sebentar lagi ia akan menggenapkan separuh dien-nya. Hmm… kutarik nafas panjang saat teringat semuanya.

Andai saja di saat-saat seperti ini aku bisa berada di dekatnya. Setidaknya untuk sekedar memberikan kekuatan dan dukungan di sampingnya.

Tapi biarlah, kukirimkan saja doa dari tempatku sekarang berada. Semoga sms yang kukirimkan hari ini sedikit memberikan pencerah pada kegundahan yang sedang menyelimutinya.

Dia, salah seorang sahabat terbaikku. Dialah yang mengajarkanku apa arti memberi, menyayangi, serta bagaimana bersabar atas segala yang terjadi… Dia, tidak hanya sahabatku, tapi juga murobbiku, guruku. Dia… yang merawatku, membuatkan teh hangat dan indomie telor saat aku demam karena kehujanan sepulang kuliahku, dan bahkan sampai bertahun-tahun ketika hal itu masih terjadi ketika aku bersin-bersin sepulang dari kantorku. Dia bahkan tak segan menyetrikakan bajuku saat aku sedang terburu-buru mengejar sesuatu, padahal dia bukan seorang pembantu.

Dialah yang selalu mendengarkan keluh kesahku. Dia selalu siap untuk diam saat aku marah-marah menumpahkan seluruh kesah tentang teman-teman kuliahku… bahkan sampai tentang masalah-masalah di tempat kerjaku.

Iya, enam tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah kebersamaan. Enam tahun kami bersama dalam satu atap kost-an tercinta. Enam tahun sudah aku mengenal pribadinya yang sungguh istimewa. Teramat istimewa bahkan untuk memiliki sahabat se-egois diriku. Melalui dialah aku belajar apa itu kelembutan. Melalui dia pula aku belajar tentang keikhlasan. Tentang kasih sayang… tentang segalanya.

Dan… sebentar lagi, dia akan memutuskan untuk melanjutkan mengarungi samudera kehidupan bersama ikhwan pilihannya.

Kebersamaan terakhir kami adalah saat ramadhan yang lalu. Saat aku janjian untuk bersamanya i’tikaf di At tin. Saat itu aku sedang ada beberapa urusan di Bogor, sedangkan dia saat itu sudah bekerja di kota kelahirannya, 120 km sebelah barat kota Jakarta. Tapi kami berjanji untuk meluangkan waktu untuk mengenang kebersamaan kami seperti tahun-tahun yang telah lalu…

Masih kuingat saat aku pamitan meninggalkan Jakarta dan At-Tin yang begitu istimewa bagi kamu berdua. ”Hati-hati ya ukh, jaga diri baik-baik. Aku yakin ada banyak hal yang bisa kamu kerjakan di kampung halamanmu. Tetaplah menjadi sahabatku yang nomor satu. Sahabatku yang selalu tersenyum. Sahabatku yang selalu ceria apapun masalah yang tengah melanda. Jaga kejernihan hati dan keikhlasanmu ukh…”

Tak terasa mengalir airmataku saat mengingat pesan-pesannya kala itu. Ah ukhti… andai aku bisa melukiskan rasa terimakasihku padamu. Andai saja engkau tahu, engkaulah wanita kedua setelah ibuku yang begitu perhatian dan menjadi teladan dalam hidupku.

Aku bukanlah siapa-siapa sebelum mengenalmu. Aku hanyalah orang desa yang kasar, yang keras kepala, yang ekspresif, dan tanpa tedeng aling-aling saat menyampaikan sesuatu. Aku adalah seorang yang egois, tak pernah memikirkan perasaan orang lain, tak punya fikih dalam berdakwah, tak punya seni dalam berkomunikasi, dan tak pernah memikirkan akan kubawa kemana hidupku.

Sampai aku mengenalmu. Iya, sampai aku bertemu dirimu. Engkau dengan sabar memolesku. Memahatku. Hingga aku menjadi diri yang sekarang.

Airmata kembali menetes saat mengingat dirinya. Mungkin, untuk orang lain dia bukanlah siapa-siapa. Secara fisik dia mungkin biasa saja. Bahkan mungkin untuk ikhwan-ikhwan yang lebih mementingkan penampilan luar, dia tidak akan masuk ke dalam pilihan pertama atau kedua.

Itulah kenapa aku begitu bahagia saat mendengar ada ikhwan yang telah meminangnya. Iya, hakikatnya memang manusia Allah Ciptakan berpasang-pasangan, aku bahagia… sekali mendengar suara cerianya saat menyampaikan kabar tersebut.

Tapi… ternyata jalan yang ia tempuh tak semudah itu. Calon kelurga sang ikhwan menjadi penghalang. Entah karena sebab apa. Mungkin karena dia kurang cantik, atau kurang kaya, atau entahlah. Akhirnya keluarganya menghadapi sikap-sikap yang kurang berkenan dari sang calon besan. Entah, aku pun tak tahu cerita yang sesungguhnya. Dia tak mau cerita apa-apa, dia cuma bilang ”Alhamdulillah semua proses baik-baik saja”, saat aku menelponnya. Lalu darimana aku tahu cerita ini? Aku tahu kabar ini dari kakaknya yang kebetulan tinggal di kotaku saat ini. Tapi… semoga ini adalah permasalahan yang wajar saja. Permasalahan seperti ini (katanya) kerap hadir pada awal-awal sebuah pernikahan. Tak apa. Aku tahu dia adalah sosok yang tegar. Dia pasti bisa melewati kerikil-kerikil yang menghadang.

Tapi sekalipun begitu, jujur… aku ingin sekali berada di dekatnya saat ini. Tuk sekedar berbagi tawa dan canda lagi.

”Selarasnya jiwa memang suatu hal yang teramat istimewa, karenanya tak semua hati bisa tertaut dan merasakan kasih sayang yang sama… ”

Kembali kukirimkan sms itu untuk sahabat-sahabat terdekatku. Semoga mereka tahu… walaupun seribu peristiwa berlalu… merekalah sahabat-sahabat terbaik yang pernah singgah dalam hidupku…

Sungguh benar kalimatNya dalam Q.S Huud:118-119…

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.

Teriring doa tulus untuk sahabat-sahabatku di belahan manapun mereka berada…

Rabbana… terimakasih atas nikmat ukhuwah yang Engkau augerahkan antara kami semua. Mudahkanlah urusan-urusan sahabat-sahabat hamba di manapun mereka berada… Berikanlah akhir kehidupan yang sebaik-baiknya untuk kami semua… Aamiin. (Tuban-ku, 16 januari 2007)