Karena Kita Tak Bisa Memilih Ujian

Saya mengenalnya sebagai ibu yang baik. Ia murah hati. Terhadap tetangganya pun ia paling mudah menolong. Setiap kali memasak dengan porsi yang banyak, ia antarkan ke tetangganya. Bergiliran. Setiap kali pula ada yang membutuhkan beberapa ribu untuk keperluan mendesak, dia adalah tujuan pertamanya.

Dan subhanallah, ia tak pernah mengecewakan orang yang membutuhkan pertolongannya. Bahkan terhadap tukang sayur dan pedagang kecil lain, tukang bubur, tukang jamu, yang sering lewat di depan rumahnya, ia adalah sosok yang disayangi. Karena ia sering berbagi dengan mereka, seragam sekolah bekas anaknya yang masih bagus, sepatu yang kekecilan, beras kering atau apa saja yang ia punya dan sudah tak dipakainya.

Ia juga pelopor pengajian di RTnya. Rajin puasa, selalu sholat dhuha (katanya paginya merasa tak lengkap bila ia tak sholat dhuha) dan diusahakannya tahajjud, meski ia mengaku terkadang tak qiyamullail juga. Pendeknya ia sosok yang baik hati.

Suaminya, adalah bapak yang pendiam, tak banyak bicara, lebih banyak tersenyum. Ia adalah orang pertama yang membuka pintu di gang rumahnya ketika adzan shubuh berkumandang untuk sholat berjamaah di masjid. Begitu pun bila ia di rumah. Sholatnya selalu di masjid. Setiap sore, sesudah ia pulang kantor, ia mandi dan ke masjid untuk sholat maghrib, lalu ia habiskan waktu setelahnya dengan mengaji dan berdzikir sampai sholat Isya. Baru ia pulang ke rumah.

Ia juga bapak yang mudah membantu tetangganya. Membenarkan mesin cuci, pipa selang PAM yang bocor, setrika dan pernak-pernik lain tanpa mau dibayar. Bahkan para ibu yang suaminya sedang pergi ke luar kota dan tiba-tiba sekering listriknya putus, bapak inilah yang biasanya membantu.

Tetapi, beginilah hidup. Semua dari kita tak ada yang bisa memilih ujian. Berkali-kali, salah seorang dari anaknya, berurusan dengan polisi, sejak masih ABG. Urusan perkelahian antar remaja. Padahal sesungguhnya dia ini anak yang pintar. Ia kuliah di PTN terkenal, sudah KKN dan tinggal menyelesaikan skripsinya. Tetapi emosinya memang sering tak terkendali. Bahkan tetangga dekat mereka berkomentar, "Kurang apa sih harmonisnya keluarga itu, kok anaknya ada yang seperti dia?" Luar biasa anak ini.

Entah sudah berapa kali orang tuanya mengeluarkan jutaan uang untuk membebaskannya dari kejaran polisi. Terakhir polisi mencarinya, ia buron, karena disangka membunuh seorang preman bersama gangnya yang mengganggu teman-temannya.

Saya ikut menangis ketika sang ibu menangis usai ia didatangi polisi. "Betapa apesnya hidup saya, Bu, padahal kata polisi, preman ini sudah mau ditangkap, tetapi kok malah keduluan anak saya." Para ibu berdatangan menguatkan hatinya. Mereka mempersaksikan bahwa ia ibu yang baik, tak mungkin mengajarkan kejahatan pada anaknya. Mereka mengingatkannya bahwa ia masih memiliki anak-anak yang lain, yang masih harus ia urus, ia tak boleh menyerahkan hatinya hanya kepada seorang anaknya yang terus menerus bermasalah.

Kami semua tahu, bagaimana pun, sang ibu tak kehilangan kasih sayang meski sang anak masih belum ketemu hingga sekarang.

Tetapi beginilah hidup, kita tak bisa memilih ujian. Ibadah yang kita lakukan tak bisa menjamin bahwa kita akan dapatkan kenyamanan hidup di dunia. Karena titian hidup adalah kumpulan ujian. Allah yang memberinya. Allah pula yang tahu yang terbaik untuk kita. Lulus atau gagalnya kita menghadapi ujian tergantung dari seberapa besar pertolongan Allah, kepercayaan kita kepadaNya, kadar usaha beriringan dengan tawakkal, persepsi keimanan dan masih banyak lagi. Kita memang tak bisa memilih ujian, ini semua kewenangan Allah. Kalau kita bisa memilih, kita pasti memilih yang menyenangkan hati.

Rasulullah pun pernah mengisyarakatnya, adakalanya seseorang hendak diangkat derajatnya oleh Allah, tetapi amal ibadahnya tak mencukupi untuk sampai ke derajat itu, lalu Allah turunkan ujian agar Allah tahu ia mampu bersyukur atau bersabar dan sampailah derajat itu kepadaNya.
Sang ibu, sampai saat ini, berada dalam kondisi tegar.

Setiap pagi, setelah anak-anaknya berangkat ke sekolah, ia membaca dzikir al-Ma’tsurat yang didapatnya dari suvenir pernikahan salah seorang anak teman kantor suaminya, di teras rumahnya sambil memandang ikan-ikan di kolamnya. Ia masih terus tersenyum. Begitupun dengan suaminya. padahal tak semua orang mampu bertahan dengan fitnah yang ditimpakan oleh anaknya kepada orang tuanya. Tapi ia tetap melangkah. Allah senantiasa tahu yang terbaik untuk kita….

[email protected]