Keberhasilan Yang Tertunda


Meskipun kita sudah melakukan sesuatu dengan cara terbaik, hasilnya tetap saja tidak pasti bahkan seringkali bertentangan (Francesco Guicciardini)

Sore itu, saya dan seorang rekan kantor baru pulang dari dinas luar. Saat itu hampir menjelang petang. Tampaknya, sebentar lagi adzan Ashar berkumandang. Saya baru saja menuju ke ruangan di sebelah ruangan saya di lantai tiga gedung kantor kami. Saya lihat seorang rekan kerja sedang menatap layar komputer di hadapannya dengan serius. Sehabis dari dinas luar tadi, saya berada di ruangan seorang rekan yang lain yang berada di lantai empat di gedung yang sama. Ada sedikit keperluan di sana. Mengcopy beberapa file serta mengambil sertifikat sebuah seminar yang memang saya titipkan dengan seorang rekan yang berada di lantai empat itu.

“Mungkin, ini yang terbaik, Fet.”, kata-kata itu menghampiri saya yang baru masuk ke ruangan yang terletak di sebelah ruangan saya. yang Dia tetap fokus dengan layar komputernya. Saya menghampiri kursinya. Ada sendu di wajahnya. Mungkin, sama dengan sendunya langit Bandung sore itu. Namun, entahlah, saya tidak melihat apakah ada tangis atau tidak yang berselimut di wajah yang berbalut kerudung itu. Saya tidak dapat memastikannya.

Saya diam. Belum mengerti maksudnya. Saya mencoba membaca dan mengamati deretan kata yang tertera di layar komputer yang berada di hadapannya. Beberapa menit ada diam di ruang itu.

“Sebelum semuanya terlanjur diurus, Fet.”, kata-katanya berlanjut. Memecah diam saat itu.

Saya belum berkomentar. Namun, akhirnya, mengertilah saya arti kata-katanya. Saat itu saya sudah menuntaskan membaca deretan kata-kata yang terdapat di inbox emailnya. Dari senseinya. Seorang professor dari sebuah universitas terkenal di Jepang. Berisi tentang belum diterimanya dia sebagai master student di universitas tersebut. Ada beberapa sebab yang disebutkan di dalam email tersebut. Sang professor mengganggap rekan saya telat mengirimkan berkas-berkas awal kelengkapan pendaftaran master student di universitas tersebut. Ada juga sebab lain. Research plannya dianggap belum matang. Semuanya telah berakhir. Penjelasan sang sensei lewat email cukup bisa menggambarkan akhir semuanya. Keberhasilan yang tertunda sedang menghampiri rekan saya. Bukan sebuah kegagalan. Hanya tertundanya sebuah keberhasilan pada saat itu.

Rekan saya sudah berusaha keras mempersiapkan semua berkas-berkas yang menjadi persyaratan untuk apply sebagai master student di universitas tersebut. Tidak setengah-setengah. Dengan sepenuh hati. Memang, di awal-awal tawaran itu menghampirinya, ada keraguan yang melanda di hatinya. Bukan apa-apa. Izin sang suami untuk melanjutkan sekolah sudah didapatkannya. Dia hanya ragu dengan bidang studi yang ditawarkan oleh universitas tersebut. Dia belum menguasainya. Hal yang wajar. Bidang studi tersebut sangat berbeda dengan fokus studinya saat dia masih berstatus sebagai seorang mahasiswi di sebuah PTN di Bogor. Skripsinya tentang genetika tumbuhan. Sedangkan untuk master student itu, sang sensei menawarkan bidang lain yang belum pernah dijamahnya, bahkan kulit luarnya sekalipun, Hidrologi. Semangat dari sang suami dan semua rekan-rekan kantorlah yang akhirnya mampu menguatkannya untuk apply sebagai calon master student di universitas terkenal di negeri Sakura itu.

Sekitar sebulan sebelum deadline, dia berusaha memenuhi semua persyaratannya. Tes TOEFL, mentranslate akte kelahiran, mengurus paspor, mentranslate ijazah dan transkrip nilai serta survey ke beberapa sungai yang terdapat di wilayah Cibodas. Semua itu dilakukannya tetap dengan tersenyum, di tengah letihnya dia mengurus sang buah hati yang masih berusia empat bulan. Masih teringat di benak saya. Hari itu tanggal 12 Desember 2006, satu hari sebelum deadline untuk apply persyaratan awal. Saat itu sore. Menjelang adzan magrib di Bandung. Bandung tetap mendung. Bahkan ada rintik-rintik hujan menggenangi tanah Bandung. Tapi, saya dan dia masih berhadapan dengan komputer di kantor. Sore itu semua persyaratan harus dikirim lewat email. Di tengah kepungan adrenalin kelelahan dia masih sempat berguarau. Untuk mengusir sedikit tegang yang melanda kami.

“Kalau tidak ada fety yang menemani sore, pasti aku tidak jadi apply. Mendingan aku mengirim email ke sensei tentang pengunduran diriku sebagai calon master student di laboratoriumnya”, begitulah guraunya sore itu. Saya tersenyum, terus membantuya mengirimkan persyaratan-persyaratan awal itu. Akhirnya selesai juga. Emailpun terkirim. Sore itu kita berpisah, diiringi dengan telepon dari suaminya yang memintanya untuk segera pulang ke rumah karena sang buah hati sudah menangis, menunggu peluk cinta sang bunda.

Namun, kerja keras itu akhirnya berakhir sudah. Berisi tentang penolakan. Secara halus memang.

Keberhasilan yang tertunda tentu pernah menjadi episode-episode kehidupan hampir semua orang. Saya, Anda dan kita semua. Sudah tidak terhitung berapa kali saya mengalami keberhasilan yang tertunda. Dan saya memang tidak ingin menghitungnya. Biarlah hanya sebagai memori yang akan menguatkan saya. Teringat di benak saya, ketika suatu sore di sebuah kota di Jawa Timur. Kota itu adalah kota penghasil apel bagi wilayah timur Jawa. Sore itu juga hujan. Cukup deras. Saat itu, saya sedang berada di sepanjang jalan di universitas negeri terkenal di kota itu. Di tengah hujan, saya berjalan sendirian. Tanpa teman. Ada rintik hujan juga di kedua pelupuk mata saya. Mengenang hangat dan membasahi kedua pipi saya. Rintik hujan di kedua pelupuk mata saya adalah puncak atas segalanya. Kelelahan yang sangat. Kekecewaan yang mendalam. Kepasrahan untuk sebuah takdir. Dan semua hanya bisa saya ungkapkan lewat airmata. Sore itu adalah momen keberhasilan yang tertunda entah yang keberapa dalam perjalanan hidup saya. Hari itu adalah titik akhir dari cita-cita yang telah saya bangun ketika masih mahasiswi semester-semester awal, menjadi dosen. Empat kali sudah keberhasilan yang tertunda itu menyapa saya. Dengan beberapa sebab tentunya. Itu adalah keberhasilan yang tertunda yang sangat mengesankan bagi saya.

Tapi, sudahlah. Bagi saya, setiap keberhasilan yang tertunda yang menyapa saya, mampu mengungkapkan maknanya untuk saya. Bukankah hidup adalah perjuangan? Lalu apakah makna perjuanngan? Perjuangan adalah suatu garis, suatu proses, bukan suatu titik. Yang ada adalah garis mendaki, menurun dan garis mendatar. Pencapaian adalah suatu titik yang segera akan dilalui, akan lenyap atau tumbuh tergantung amal pemeliharaannya. Perjuangan adalah usaha peyempurnaan dan pemeliharaan yang tak kunjung putus selama hayat masih dikandung badan. Begitulah makna perjuangan bagi seorang Prawoto Mangkusasmito. Makna perjuangan di atas adalah nasehat cintanya untuk sang anak terkasih. Dan saya setuju dengan makna itu.

Al-Quran dengan bahasanya yang sangat puitis juga mengungkapkan makna tentang sebuah keberhasilan yang tertunda. Cobalah tengok surat Al-Baqarah pada ayat 216. ”..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”. Begitulah bahasa Al-Quran. Yah, ketika sebuah keberhasilan yang tertunda sedang menyapa kita, Allah memang Maha Mengetahui bahwa hal itu bukanlah yang terbaik untuk episode kehidupan kita saat itu. Mungkin, hal itu akan yang menjadi yang terbaik bagi kita pada episode-episode kehidupan yang akan datang. Namun, bukan berarti kita harus menyerah. Kita tidak pernah tahu saat kapan kita menggapai sebuah keberhasilan. Bukan lagi sebuah keberhasilan yang tertunda. Sebuah keberhasilan yang memang membentuk sebuah wujud yang nyata. Kita hanya perlu melakukan satu hal. Teruslah mencoba dengan cara yang terbaik!

Bandung, akhir Desember 2006