Keberkahan dan Profesionalisme

Saya pernah berkesempatan mempresentasikan sistem informasi rumah sakit di kawasan Ungaran dan Ambarawa. Banyak pengalaman menarik. Namun, bagi saya, yang paling meninggalkan kesan adalah salah satu obrolan kami dengan direktur salah satu rumah sakit tersebut.

Pak direktur yang dokter tersebut terlihat sangat perhatian terhadap pengembangan sumber daya manusia. Salah satu buktinya adalah upaya beliau ‘menyekolahkan’ seorang anak buahnya untuk mendalami ilmu rakit merakit komputer.

Singkat cerita, anak buah tadi usai mengikuti training yang biayanya beliau sebutkan jutaan rupiah tersebut. Apa yang terjadi kemudian?

Ternyata, setelah itu, komputer-komputer yang jumlahnya tidak banyak di rumah sakit tersebut jadi lebih sering bermasalah. Ada saja komponen yang harus diganti. Di sisi lain, anak buah tadi juga membuka bisnis jual beli komputer, dengan segmen dokter-dokter dan karyawan lain di rumah sakit itu. Namun selalu saja ada masalah dengan komputer yang mereka beli. Ada saja komponen yang harus diganti.

Pak direktur, pada mulanya, tidak langsung curiga. Namun akhirnya beliau melakukan cross check. Ketika suatu saat terjadi lagi masalah dengan komputer, beliau mengundang ahli komputer dari pemda. Ternyata disimpulkan bahwa komputer yang dikatakan rusak tersebut baik-baik saja.

Selanjutnya bisa ditebak. Pak direktur segera mengambil langkah-langkah pencegahan, anak buah yang berkhianat tadi dimutasi ke bagian lain. Aksesnya ke ruang komputer dihalangi. Sebab, setiap kali anak buah tadi keluar dari ruang komputer, selalu ada saja komputer yang rusak.
Tamatlah karir si anak buah tadi. Para langganannya juga menjadi tidak percaya lagi.

Ada kenyataan mendasar yang sederhana dari cerita di atas. Kemampuan teknis semata tidak cukup sebagai syarat sukses. Moralitas, seperti amanah dan kejujuran, merupakan syarat mutlak lainnya.

Jujur, amanah, tepat janji, merupakan ciri mukmin sejati. Hal ini berlaku untuk seluruh disiplin kehidupan. Saya menyebutnya sebagai bagian mutlak profesionalisme, yang berlaku dalam kehidupan keluarga, rumah tangga, pekerjaan, da’wah, politik, aktifitas sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya.

Hal ini terwujud misalnya dalam soal ketepatan waktu. Jam karet dan janji yang meleset adalah cacat serius dalam profesionalisme. Dampaknya adalah memudarnya kepercayaan orang lain terhadap kita.

Orang lain itu mungkin anak kita, yang diam-diam sering kecewa dengan sering mangkirnya si orang tua dari janjinya. Atau mungkin klien, yang meragukan profesionalitas kita karena terlambatnya kita menyerahkan hasil pekerjaan. Atau atasan kita, yang sering mendapati kita gagal menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Atau mungkin bawahan kita, yang menilai kita cedera janji, karena gaji yang sering terlambat, atau janji dan harapan perusahaan yang terlalu mudah diucapkan namun tak kunjung terwujud.

Namun ketidakjujuran, ketidakmampuan menepati janji, terkadang bukanlah karena itikad buruk. Maksudnya, bisa jadi kita tidak mampu menepati janji karena kelemahan kita dalam mengukur diri, dan bukan bermaksud untuk bersikap curang.

Misalnya, kita mungkin begitu saja berjanji kepada anak kita untuk pulang sore, hanya sekedar untuk menyenangkan hatinya. Kita tidak merasa perlu menengok ke agenda kerja untuk mengukur volume kerja pada hari itu.

Pada episode lain, kita mungkin mudah saja menyanggupi permintaan klien, dengan harapan mendapatkan proyek, tanpa benar-benar mengukur kemampuan diri dalam menyelesaikan proyek tersebut. Atau bisa jadi kita mengiyakan saja tenggat waktu yang ditetapkan atasan, tanpa benar-benar mengetahui kesanggupan kita untuk memenuhi tenggat waktu tersebut. Dalam kasus-kasus seperti ini, mungkin kita tidak berniat ingkar janji, namun hasil akhirnya adalah sama.

Kenyataan lainnya yang sering kita temui adalah mudahnya kita berlindung di balik kata Insya Allah. Kita mengucapkan hal itu bukan dengan keyakinan untuk memenuhi janji, namun justru sebaliknya, sebagai taktik untuk berkelit, karena kita pada dasarnya kurang yakin mampu memenuhi janji tersebut.

Akibatnya, sering kita temui di masyarakat, jika berjanji diiringi dengan ucapan Insya Allah, akan langsung dicurigai akan tidak mampu memenuhi janji tersebut. Padahal, biarlah saya ulangi sekali lagi, Insya Allah hanya diucapkan dengan keyakinan kesanggupan untuk memenuhi janji tersebut, seraya menyadari bahwa ada hal-hal di luar kuasa kita, yang kita serahkan kepada Allah untuk memberikan jalan keluar. Seharusnya, tak perlu berjanji jika memang tak yakin sanggup memenuhi. Cukup katakan bahwa kita tak berani menjanjikan, dan jangan berlindung di balik kata Insya Allah.

Kembali ke awal tulisan tentang anak buah yang tidak amanah tadi, karirnya yang kini terhenti merupakan akibat dari ketidakprofesionalannya sendiri. Caranya menjalani profesi tidak membawa keberkahan dalam hidupnya.

Ketidakberkahan adalah isyarat ketidakbahagiaan. Begitulah yang akan terjadi pada setiap individu yang tidak amanah.

Namun, selalu ada pintu tobat. Bukankah Allah Maha Penerima Tobat hambaNya yang serius dalam bertobat?

Sabruljamil.multiply.com