Kekuatan Kata-Kata

Saya tak menyangka jika dari mulut dia saat ini, yang keluar adalah kalimat-kalimat yang selalu mengandung kebesaran dan keberadaan Allah SWT. Dan ketika menyikapi dirinya yang sampai sekarang masih serba kekurangan, ia tak lagi menanggapinya sebagai keluh kesah seperti masa-masa lalu. Sikap qana’ah, atau menerima apa adanya mulai tercermin dalam setiap langkah hidupnya.

Perjalanan panjang menuju sikap seperti itu, ternyata tak semudah yang saya bayangkan, seperti mudahnya orang membalikkan telapak tangan. Tapi proses menuju sikap qanaa’ah itu membutuhkan liku-liku yang luar biasa susahnya.

Ia mengalami masa remaja ketika cengkeh di daerah saya sedang menjadi komoditi yang luar biasa bagusnya. Bahkan menjadi satu-satunya hasil pertanian yang paling mahal harganya. Saat itu, bapaknya dengan mudah bisa menyekolahkan beberapa anaknya ke kota, saat di kampung saya belum banyak orang menyekolahkan anaknya sampai tingkat sekolah lanjutan atas atau yang sederajat. Sayang sekali, kesempatan emas itu tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh dia.

Dari masa kanak-kanak sampai remaja, ia tidak mendapatkan pelajaran agama sebagus adik atau kakaknya. Ketika kakak dan adiknya ngaji di mushalla bapaknya, dia tak pernah kelihatan ikut belajar. Ketika adik-adiknya begitu getol masuk SLTA dan meneruskan ke kota, ia justru keluar di kelas dua SMP.

Sejak itu hidupnya berguncang-guncang terus. Pernah merantau di beberapa tempat seperti Jakarta, Bogor dan Bandung, tapi tak sesukses teman seangkatannya. Ketika beberapa teman seangkatannya berbondong-bondong masuk pabrik semen terbesar di Indonesia saat itu, ia hanya tahan beberapa hari saja. Alasannya, tidak merantaupun dia masih bisa hidup di kampung sendiri.

Hal-hal seperti itulah yang sangat menjengkelkan orang tuanya. Tak hanya sebatas itu, ketika masuk jenjang perkawinanpun ia masih menjadi sosok yang menjadi buah bibir karena perbuatannya yang selalu tidak umum dengan saudara-saudaranya yang lain..

Ketika anaknya yang pertama baru berusia sekitar tiga tahun, isterinya meninggal. Sepeninggal sang isteri, ia menjadi berkali-kali kawin. Ahirnya ia terlempar dari kampung halaman dan lama tidak pulang. Karena ia telah memperistri seseorang di daerah lain provinsi.

Beberapa waktu lalu, saya sangat rindu dengan dia. Sudah hampir empat tahun saya tidak bertemu muka. Lebih rindu lagi ketika mendengar dan melihat lewat mass media bahwa daerahnya termasuk daerah yang paling parah disapu tsunami.

Alhamdulillah, kami masih diberi kesempatan bertemu oleh-Nya. Ada perubahan sangat besar yang berhasil saya tangkap ketika pertama kali berjumpa kembali dengannya. Penampilan lahirnya yang begitu “nyantri”, sempat mengagetkan saya. Sebab saya belum pernah melihat ia begitu PD dengan baju koko dan kopiah hitamnya. Dan ia memakainya tak sebatas ketika sembahyang saja. Tapi setiap saat.

Saya makin terangguk-angguk ketika semalam suntuk ia berbicara kepada saya tentang kebesaran Allah, keimanan, hari kiamat, takdir, dan posisi dia sekarang terhadap gemerlapnya dunia yang semakin hedonis ini. Sebuah tema yang tak pernah saya dengar dari mulutnya sebelum ini, kecuali tema-tema tentang kesusahan hidup.

Di sebuah kamar kecil, dini hari itu saya seperti mendapat siraman dari ulama shaleh yang begitu takut pada Pencipta-Nya. Kekuatan kata-katanya yang meluncur dari mulutnya, meyakinkan saya bahwa ada kekuatan ruhani di dalamnya. Kekuatan itu adalah keimanan.

Biarpun pagi harinya, saya sampai demam karena tak tidur semalam, dan sakit perut karena terlalu banyak minum kopi, tapi saya betul-betul bersyukur pada-Nya. Karena di tengah kesibukan banyak manusia, membicarakan tentang hedonisme keduniaan, ia justru membawa saya menyelam di kedalaman samudra Illahi.

****
Purwokerto, 06 <[email protected]>